BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum
merdeka, Negara Indonesia merasakan banyaknya jajahan-jajahan Bangsa Belanda.
Pada bulan April 1595, Belanda memulai pelayaran menuju Nusantara dengan empat
buah kapal dibawah pimpinan Cornelis De Houtman. Dalam pelayarannya menuju ke Timur,
Belanda menempuh rute Pantai Barat Afrika-Tanjung Harapan-Samudera Hindia-Selat
Sunda-Banten.
Pada
saat itu, Banten berada dibawah pemerintahan Maulana Muhammad (1580-1605).
Kedatangan Cornelis De Houtman, pada mulanya diterima baik oleh masyarakat
Banten dan juga diizinkan untuk berdagang di Banten. Namun, karena sikap yang
kurang baik sehingga orang Belanda diusir dari Banten.
Begitu
pula dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, banyak Pergerakan-Pergerakan Nasional,
seperti terbentuknya organisasi-organisasi keagamaan, dengan maksud ingin
memerdekakan Bangsa Indonesia dari penjajah. Organisasi keagamaan diantaranya, Serikat
Islam (SI) yang dibentuk pada tanggal 16 Oktober 1905 Masehi, yang dahulu
bernama Serikat Dagang Islam (SDI) pelopornya adalah H. Samanhudi. Pada kongres
pertama SDI di Solo tahun 1906, namanya ditukar menjadi Serikat Islam.
Organisasi keagamaan SI ini dengan cepat mendapat sambutan baik di daerah
Banten, yang terkenal kepanatikannya terhadap Agama Islam. Hampir semua ulama
di Banten masuk organisasi ini, akan tetapi bagi kepemimpinan SI dianggap
kurang berani, mereka menghendaki kepemimpinan yang lebih tegas lagi, keadaan
ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui cara infiltrasi.
Pada
tahun 1926, Banten menjadi ajang pemberontakan komunis yang mencemaskan
Pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan itu mempunyai semangat kuat anti
kolonial dan anti priyayi. Pimpinan pemberontakan terdiri dari tiga unsur,
yaitu : Para Ulama, Kaum Komunis Setempat dan Jawara. Koalisi ini pertama-tama
didasarkan atas kebencian mereka terhadap Pemerintah Kolonial dan Pamongpraja.
Pemberontakan tersebut gagal, empat orang pelakunya digantung, 99 orang
diasingkan ke Digul, Irian Barat, dan ratusan lainnya dimasukkan penjara untuk
waktu yang lama. Luka-luka yang dalam itu sangat membekas, akibatnya ialah
kebencian mereka yang tak kunjung padam terhadap orang-orang Belanda dan Pangrehpraja.[1]
Pada
masa Pendudukan Jepang, Penduduk Banten banyak yang bersedia bekerja sama
dengan Jepang. Dengan alasan, orang Jepang mempropogandakan Bangsa Indonesia,
mengakui bahwa mereka dari benua yang sama yaitu benua Asia. Pada masa ini
kedudukan dua kelompok sosial yang dominan disana yaitu Ulama dan Pangrehpraja
mengalami perubahan yang mencolok. Pada masa Perang Pasifik (7 Desember 1941 –
2 September 1945), Islam diangkat dalam kedudukan resmi yang penting, yang
pada masa sebelumnya dianggap sepi. Oleh
karena itu, dampak dari perang pasifik ialah sekutu menjajah bangsa Indonesia. KH.
Achmad Chatib (Labuan) dan KH. Syam’un (Cilegon) diangkat menjadi komandan
Batalyon Peta yang berkedudukan di Banten. Ulama lainnya diangkat dalam
kedudukan resmi yang kebanyakan dalam badan-badan yang berurusan dengan
soal-soal keagamaan dan sosial. Salah satunya adalah ulama Pandeglang yaitu
Mama KH. Moch Chaedar Zuhri yang ikut serta memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
Oleh
karena itu, dari latar belakang di atas kami tertarik untuk mengangkat judul
tentang “Upaya Mama Dalam Pusaran Perjuangan Kemerdekaan”.
B. Perumusan Masalah
Menurut
Sutrisno Tiadi (1973:3) “masalah adalah kejadian yang menimbulkan pertanyaaan
bagaimana dan kenapa”.
Perumusan
masalah merupakan salah satu tahap diantara sejumlah tahap penelitian yang
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian. Tanpa
perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan bahkan
tak akan membuahkan hasil apa-apa.[2]
Dari
pernyataan di atas, penulis dapat mengkaji perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah singkat KH. Moch Chaedar
Zuhri?
2. Apa sajakah upaya dan perjuangan KH. Moch
Chaedar Zuhri dalam mengusir penjajah di Tanah Banten?
C. Tujuan Penelitan
1 Untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran
Sosiologi dan untuk mengetahui sejarah KH. Moch Chaedar Zuhri
2 Untuk mengetahui upaya dan perjuangan KH. Moch
Chaedar Zuhri dalam mengusir penjajah di Tanah Banten
D. Sistematika Penulisan
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Sistematika Penulisan
BAB
II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Perjuangan
B. Peran Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan
BAB
III UPAYA MAMA DALAM PUSARAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN
A. Sejarah Singkat KH. Moch Chaedar Zuhri
B. Upaya dan Perjuangan KH. Moch Chaedar Zuhri
dalam Mengusir Penjajah di Tanah Banten
BAB
IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A. Pengertian Perjuangan
Perjuangan
berarti sesuatu yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam sebuah
perjuangan terdapat berbagai macam hambatan, semakin kita sering mengalami
berbagai masalah, maka akan semakin kuat pula kita. Arti perjuangan adalah
usaha dan kerja keras dalam meraih hal yang baik sebagai kunci menuju kesuksesan.
Perjuangan juga merupakan suatu usaha untuk meraih sesuatu yang diharapkan demi
tercapainya kemuliaan dan kebaikan. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat
Al-baqarah : 218 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang
mengharapkan rahmat Allah. Allah maha pengampun, maha penyayang.”
Pada
masa penjajah, perjuangan adalah segala sesuatu yang dilakukan dengan
pengorbanan, peperangan dan diplomasi untuk memperoleh kemerdekaan dan untuk
mempertahankannya. Perjuangan mempunyai arti luas, sehingga apa yang
dilaksanakan oleh pahlawan-pahlawan di Nusantara merupakan peristiwa-peristiwa
dalam perjuangan Nasional Indonesia.
Dalam
konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia upaya untuk membebaskan diri dari
cengkraman kedzoliman, kesewenang-wenangan dan penindasan penjajah bangsa lain,
jajahan hasil bumi, eksploitasi manusia dalam bentuk kerja paksa (Rodi),
tuntutan umpeti atau pajak dari rakyat yang diluar kemampuan, monopoli
perdagangan. Adalah contoh mengapa leluhur bangsa ini berjuang, berjuang dari
sebuah kesadaran bahwa ada hak dalam hidup ini yang diambil paksa oleh orang
lain, demi meraih kembali hak itu tidak ada pilihan kecuali berjuang.[3]
B. Peran Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan
Dalam
perjuangan kemerdekaan, peran ulama tak dapat diabaikan. Setidaknya ada
beberapa jasa utama yang telah diberikan para ulama untuk perjuangan
kemerdekaan. Pertama, menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
penjajah. Diberbagai pesantren, madrasah, ceramah, organisasi, dan pertemuan
lainnya, para ulama menanamkan kesadaran dihati rakyat akan ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan penjajah tersebut.[4]
Pengaruh
para ulama diakui oleh penjajah, Thomas S. Raffles, Letnan Gubernur EIC yang
memerintah pada tahun 1811-1816 di Indonesia berkata ”Karena mereka-mereka
begitu dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar
memberontak, dan mereka menjadi alat paling berbahaya ditangan penguasa pribumi
yang menentang kepentingan pemeritah kolonial. ‘Pendeta Islam’ itu ternyata
merupakan golongan yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan.
Mereka umumnya berdarah campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam
jumlah besar berkeliling dari negara satu ke negara lain, di Pulau-Pulau Timur.
Akibat intrik dan hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk
menyerang atau membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan
pengacau.”
Kedua,
memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah Belanda. Para ulama dimasa
penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk
menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota.
Ketiga,
mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat
besar pengaruhnya dalam membangkitkan perlawanan. Perang melawan penjajah
dianggap jihad fisabilillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama.
BAB
III
UPAYA
MAMA DALAM PUSARAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN
A. Sejarah Singkat K.H Moch Chaedar Zuhri
KH.
Moch Chaedar Zuhri atau lebih populer dengan sebutan Mama Edang, beliau adalah
salah satu pejuang kemerdekaan dari
Tanah Banten. KH. Moch Chaedar Zuhri lahir di Petir, 12 April 1923 dari
pasangan KH. Zuhri dan Hj. Mahdiati. Ketika masih kecil Mama banyak mengenyam
berbagai pendidikan, dari mulai SR (Sekolah Rakyat) atau yang sekarang lebih
dikenal dengan SD (Sekolah Dasar) yang berbasis pengetahuan umum di Petir atau
sekarang lebih terkenal dengan SD Petir I. Setelah lulus SD, Mama langsung
melanjutkan pendidikannya ke pesantren Khoiriyah, Tanah Abang (Jakarta) sebelum
merdeka, yang pada saat itu belum ada SMP (Sekolah Menengah pertama) atau MTs
(Madrasah Tsanawiyah). Kemudian Mama pindah ke Pesantren Cilaku (Cianjur) yang
tidak lama kemudian Mama pindah ke Plered (Karawang) selama tiga tahun. Selang
beberapa tahun kemudian, Mama menikah dengan seorang wanita cantik bernama Hj.
Hamdanah yang dijodohkan oleh mertua Mama yaitu KH. Azhari, dan melangsungkan
pernikahan pada hari Jum’at, 10 Maret 1941 dan dikaruniai sembilan anak, yang
terdiri dari enam perempuan dan tiga laki-laki.
B.
Upaya dan Perjuangan KH. Moch Chaedar Zuhri dalam Mengusir Penjajah di Tanah
Banten
KH.
Moch Chaedar Zuhri, lahir pada tanggal 12 April 1923. Ini tandanya, beliau sempat
mengalami sendiri masa-masa penjajahan. Pada tahun 1941, beliau pergi ke sebuah
kampung yang bernama Cimeong dengan tujuan untuk menikahi ibu Hj. Hamdanah yang
dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Setelah beliau menikah, beliau tidak
langsung hidup bersama dengan sang isteri, layaknya seperti suami isteri
biasanya. Akan tetapi, beliau ikut memperjuangkan kemerdekaan dalam mengusir
penjajah khususnya di Tanah Banten. Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada tahun
1942, pasukan Jepang menyerbu daerah Jawa Barat. Yaitu di daerah Banten (Teluk
Banten) dan Eretan Wetan (Cirebon)[5],
dengan tujuan untuk menguasai kekayaan-kekayaan yang ada di Indonesia,
khususnya daerah Jawa Barat. Dengan alasan inilah KH. Moch Chaedar Zuhri rela berjuang untuk negara. Ketika
pasukan Jepang mulai menyebar ke daerah Banten, khususnya daerah Baros, pasukan
Jepang menyebar untuk menjajah daerah tersebut. Mama dan para kiai lainnya
berusaha untuk menyelamatkan diri dan masyarakat lainnya. Karena pada waktu
itu, kiai adalah salah satu pejuang yang dituju oleh penjajah-penjajah. Kiai
mempunyai keistimewaan lain, bukan tenaga yang dipakai untuk menyerang
penjajah, tetapi para kiai menggunakan ilmunya untuk menyerang para penjajah.
Begitupun Mama, beliau tidak ikut langsung dalam penyerangan melawan penjajah,
akan tetapi beliau dan para kiai lainnya menggunakan ilmu dan berdo’a kepada
Allah SWT dalam menyerang para penjajah.
Provinsi
Banten memiliki dua kekuatan dalam menyerang penjajah. Pertama, peran para kiai
yang dipimpin oleh KH. Achmad Chatib (Labuan) sebagai pimpinannya, dan KH. Moch
Chaedar Zuhri ikut sebagai anggotanya dalam peran kiai tersebut. Kedua, peran para
jawara yang dipimpin oleh KH. Syam’un (Cilegon). Peran jawara ini ikut langsung
bertempur melawan penjajah, dan ketika penjajah datang, pada saat itu kiai yang
dituju oleh para penjajah. Dengan alasan, kiai mempunyai kekuatan lain dalam
menyerang penjajah. Mama dan para kiai lainnya pergi ke Gunung Karang (Kadu
Engang) untuk menyembunyikan diri dari penjajah dan disana Mama dan para kiai
lainnya berdo’a dan berharap agar negara ini terbebas dari penjajah.
Pada
masa penjajah, Mama ikut dalam organisasi Masyumi dan organisasi Hizbullah
(Barisan Pemuda Islam) yang tujuannya untuk Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah
merdeka, maka Mama KH. Moch Chaedar Zuhri duduk dalam roda pemerintahan di
kecamatan Baros. Mama yang berkecimpung dalam dunia pemerintahan nampaknya
kurang beliau nikmati, karena adanya para santri dan masyarakat yang selalu
menunggu dan membutuhkan siraman rohani dari Mama KH. Moch Chaedar Zuhri, baik
di pondok maupun madrasah serta di masjid disekitar kampung dimana beliau
tinggal. Dengan tuntutan seperti itulah, Mama mengajukan permohonan untuk
pensiun muda di wilayah kementrian penerangan. Dan al-hamdulillah permohonan
tersebut dikabulkan, yang akhirnya Mama tekun menekuni dunia pesantren, berkiprah
dengan masyarakat dan para santri untuk mendidik dan mencerdaskan bangsa, lewat
pendidikan pondok pesantren.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
kami banyak meneliti dalam segi wawancara kepada beberapa orang yang mengetahui
tentang KH. Moch Chaedar Zuhri, beliau adalah salah satu pejuang dari Tanah
Banten yang ikut memperjuangkan Tanah Air dari penjajah, rela berjuang untuk negara.
Ketika pasukan Jepang mulai menyebar ke daerah Banten, khususnya daerah Baros.
KH.
Moch Chaedar Zuhri ikut sebagai peran kiai yang dipimpin oleh KH. Achmad Chatib
dalam melawan penjajah. Ketika penjajah datang, dan pada saat itu para kiai
yang dituju oleh penjajah. Dengan alasan inilah Mama pergi ke Gunung Karang
(Kadu Engang) untuk menghindari penjajah. Disana Mama dan para kiai lainnya
berdo’a dan berharap agar negara ini terbebas dari penjajah.
Pada
masa penjajah, Mama ikut dalam organisasi Masyumi dan organisasi Hizbullah
(Barisan Pemuda Islam) yang tujuannya untuk Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah
merdeka, maka Mama KH. Moch Chaedar Zuhri duduk dalam roda pemerintahan di
kecamatan Baros. Mama yang berkecimpung dalam dunia pemerintahan nampaknya
kurang beliau nikmati, karena adanya para santri dan masyarakat yang selalu
menunggu dan membutuhkan siraman rohani dari Mama KH. Moch Chaedar Zuhri, baik
di pondok maupun madrasah serta di masjid disekitar kampung dimana beliau
tinggal. Dengan tuntutan seperti itulah, Mama mengajukan permohonan untuk
pensiun muda di wilayah kementrian penerangan. Dan al-hamdulillah permohonan
tersebut dikabulkan, yang akhirnya Mama tekun menekuni dunia pesantren. Berkiprah
dengan masyarakat dan para santri untuk mendidik dan mencerdaskan bangsa, lewat
pendidikan pondok pesantren.
B. Saran-Saran
Dari Karya
Tulis ini penulis memberikan saran kepada :
1. Pemerintah
Diharapkan
bagi pemerintah memberikan suatu penghargaan kepada para pejuang yang telah
rela berkorban untuk negara, salah satunya KH. Moch Chaedar Zuhri sebagai pejuang
dari Tanah Banten.
2. Masyarakat
Penulis
berharap masyarakat dapat meneladani sikap Mama Chaedar yang penuh semangat
dalam memperjuangkan Tanah Air dari para penjajah.
3. Pembaca
Penulis
menyarankan kepada pembaca agar selalu mengenang jasa-jasa para pejuang dan
dapat meneladaninya. Sebab, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah (JAS
MERAH), karena jika kita melupakan sejarah maka kita akan kembali mengulangi
sejarah tersebut.
LAMPIRAN :
DAFTAR
PUSTAKA
Arulteam,
blongspot.com/2012/03 Page. Perumusan Masalah. Jum’at, 26/02/2016 09:00
WIB
Lubis H. Nina. 2003. Banten
Dalam Pergumulan Sejarah. LP3ES Indonesia. Hal.145
[1] www. Google.com Sejarah Banten. Kamis, 17/03/2016 13:30 WIB
[2] Arulteam, blongspot.com/2012/03 Page. Perumusan Masalah.
Jum’at, 26/02/2016 09:00 WIB
[3] www. Google.com. Sejarah Bangsa. Senin, 14/03/2016 15:00 WIB
[4] www. Google.com. Sejarah Bangsa. Jum’at, 04/03/2016 14:30 WIB
[5] Nina H. Lubis. 2003. “Banten Dalam Pergumulan Sejarah”.
LP3ES Indonesia. Hal.145
No comments:
Post a Comment