A.
Pendahuluan
Pendidikan
Islam dan ilmu pengetahuan mencapai titik kulminasi pada zaman Khalifah
al-Makmun (813-833 M). Puncak kejayaan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
sepenuhnya didukung oleh penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan. al-Makmun
sendiri sangat menyukai ilmu kalam dan sekaligus menjadi pendukung
aliran mu’tazilah hingga wafatnya. Setelah meninggalnya al-Makmun
digantikan oleh putranya al-Muktashim (833-842 M) sampai kepada khalifah
al-Watsiq (842-847 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M)[1]
kondisi pendidikan Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan bisa disebutkan
masih stabil tidak menurun kemudian tidak pula menanjak.
Periode
kemunduran ini dipicu oleh kurang stabilnya pusat kekuasaan (istana), karena
adanya intrik politik istana yang membuat konsentrasi untuk pengembangan
pendidikan dan ilmu pengetahuan umum untuk peradaban terpecah, tapi situasi
tersebut masih bisa dikendalikan oleh khalifah yang berkuasa. periode sebelum
watafnya al-Mutawakkil masih dianggap stabil untuk pengembangan pendidikan
Islam dan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi,
pertikaian politik di kalangan istana, setelah wafatnya khalifah al-Mutawakkil
antara dua putranya al-Mustashir (861-862 M) dan al-Muktasim (862-866 M), telah
mulai babak baru kemunduran pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan secara umum
perdaban Abbasiyah. Seperti dikatan Montgomery (dalam siti Mayam), setelah naik
tahtanya al-Mutawakkil sampai masuknya kekuasaan Buaihi (334-447 M/945-1055 M)[2] peradaban Abbasiyah, tidak pernah berubah
menjadi maju[3].
Karena, sepanjang masa itu, khalifah-khalifah tidak lagi mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap peradaban Abbasiyah yang dipegangnya[4].
Banyaknya
campur tangan para Jenderal Turki untuk menentukan kebijakan kerajaan, sehingga
berimbas kepada banyaknya bidang kemunduran yang dialami kerajaan (daulah)
Abbasiyah, salah satunya adalah bidang pendidikan Islam dan Ilmu pengetahuan.
Tabiat serdadu Turki yang mempengaruhi Istana atau kerajaan sangat mempengaruhi
perkembangan peradaban secara signifikan, sebab tabiat mereka lebih tepat untuk
medan pertempuran bukan untuk pengaturan pemerintahan dan administrasi negara
(untuk sementara). Dapat dikatakan peran yang dilakon tersebut adalah mainan baru, yang sebenarnya masih asing bagi
mereka walaupun ada juga yang telah lama tinggal bersama khalifah di kerajaan,
sebagai pengawal istana, namun itu belum anggap cukup. Intervensi-intervensi kebijakan khalifah
sangat kentara sekali, sehingga khalifah hanya sebagai simbol saja, yang tidak
banyak memainkan peran penting untuk kerajaan.
Oleh sebab
itu, untuk urusan perkembangan pendidikan dan ilmu pengatahuan khususnya
penanda kemajuan zaman yang telah dirintis para khalifah sebelumnya mulai
meredup secara berangsur-angsur namun pasti. Yang demikian itu nampak jelas
sebagai akibat kurangnya perhatian penguasa dalam pengembangan pendidikan Islam
dan ilmu pengetahuan. Di samping itu semangat keilmuan sudah mulai
berangsur-angsur surut, karena mulai minimnya apresiasi dari penguasa.
Bentangan
masa yang disebut zaman kemunduran Bani Abbasiyah sebenarnya lebih panjang dari
zaman kemajuan sebelumnya, sejak periode al –Mutawakkil (847-861 M) sampai 1258
M ketika jatuhnya kota Bagdad ketangan bangsa Mongol Tatar. Dengan demikian,
lebih dari masa empat abad lamanya zaman kemunduran berlangsung, faktor utama
adalah ketidakstabilan kekuasaan dan pengaruh yang ditimbulkan pengawal istana
raja oleh tentara belian dari turki dan Persia[5].
adapun
ruanglingkup kajian ini berkisar seputar; Menjelaskan Kondisi perkembangan pendidikan Islam Zaman kemunduran Abbasiyah, Menyebutkan Tokoh-tokoh ilmuan dan konstribusinya dalam Pendidikan
Islam Abbasiyah,
Lembaga Pendidikan Islam zaman kemunduran Abbasiyah, dan Menjelaskan
Klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang zaman Kemunduran Abbasiyah,
kesimpulan dan soal-soal latihan.
setelah
mengikuti materi ini, mahasiswa diharapkan menguasai beragam informasi tentang
kondisi dan masalah-masalah yang menyebabkan kemunduran pendidikan Islam dan
Ilmu pengetahuan era Abbasiyah.
B.
Pembahasan
1. Kondisi perkembangan pendidikan Islam zaman kemunduran Abbasiyah,
Tidak banyak
informasi yang bisa didapatkan, mengenai perkembanga masa awal kemunduran dan
penguhujung kemunduran Bani Abbasiyah ini. Tapi yang jelas factor polemik
perbutan kekuasaan adalah yang paling senter berkembang, sehingga pemikiran
untuk tetap menjaga dan membangkit kemajuan peradaban yang khususnya bidang
pendidikan dan Ilmu pengetahuan hampir dikatakan menurun drastis.
Dua bangsa
yang saling memperebutkan hati khalifah menunjukan ketidakstabilan pihak
kekuasaan yaitu khalifah. dua kekuatan yang ada saling bertarung untuk
memperebutkan posisi perdana menteri disentral kekuasaan Abbasiyah di Bagdad.
Titik jenuh
masyarakat Abbasiyah telah pula memberikan respon yang kurang positif dengan
timbulnya keorganisasian sufi yang mengedapan akhirat semata. Para pendirinya
yang berpengaruh tidak peduli lagi dengan urusan dunia (harta, pangkat,
kekusaan dan bahkan semua aspek pendidikan dan keilmuan) yang sedang
diperebutkan banyak kalangan. Masa
bodoh semacam itu, merembes kepada kurang diperhatikannya perkembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan Islam. Memang, para ilmu pengetahuan terkadang
berlomba untuk ikut pula mendapatkan perhatian penguasa, ujung-ujung jabatan.
Kemudian
ditambah perang urat syaraf antara golongan teologi dikalangan umat sangat
dahsyat, serta tidak luput pertikaian antara penganut mazhab. baik sesama
mazhab sunni maupun sunni dan syi’ah.
Kompleks
sekali permasalahan yang dihadapi bani Abbasiyah di samping para khalifah yang
naik dan turun sangat lemah, ketergantungan mereka kepada para tentara bayaran
asing sangat tinggi hanya dipergunakan untuk menguasai rakyat sendiri. Sehingga
sikap cuek sudah hal yang dianggap wajar untuk zamannya, walaupun itu tetap
disayangkan sekali.
sebenarnya,
para ilmuan muslim masih ada yang hidup pada masa kemunduran ini seperti ibnu
Sina, dan al –Hayan, namun diera ini,
eksplorasi keilmuan dan pendidikan Islam tidak begitu bersinar seperti
sebelumnya.
2. Tokoh-tokoh ilmuan dan konstribusinya dalam Pendidikan
Islam Abbasiyah.
Tokoh ilmuan tetap lahir dan memberikan
pencapain yang berarti zaman tersebut diantara lahirnya para filosof dan ilmuan
aqliah lainya seperti [6];
a. Abd
al-Rahman Sufi, salah seorang ahli fisika yang paling cemerlang di zamanya, dia
adalah sahabat karib, Amir Ad-Dawlah dari bani Buwaihi, dengan berbagai
argument dia disebut Agustus kedua Bangsa Arab.
b. Ad-Dawlah,
di samping seorang Amir, ia juga seorang sarjana fisika, ia pernah mendatangkan
ke istanaya, orang-orang terpelajar untuk ambil bagian dalam diskusi ilmiah
c. Al-Kafi dan
Abu al Wafa’ dua ahli dalam ilmu perbintangan, Ilmu Alam, dan Ilmu Pasti,
mereka memperlajari dan menulis tentang perjalanan planet-planet di angkasa.
penemuannya mengenai solstisi musim panas dan equinox musim
gugur, amat banyak menambah pengetahuan manusia.
d. Ibnu Sina
(980-107 M) selain sebagai filosof ia juga seorang Dokter pengarang
ensiklopedia dalam ilmu kedokteraaan yang terkenal dengan nama Al-Qanun Fi
al-Thib. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, berpuluh-puluh
kali cetak da digunakan di Eropa hingga Abad XVII. Banyak karanganya yang
terkenal seperti bahasanya tentang fisika, Metafisika dan Matematikan yang
terdiri 18 jilid.
e. Jabir ibn
Hayyan terkenal dengan bapak ilmu Kimia. dan Abu Bakar Zakaria al-Razi (865-925
M), pengarang buku besar tentang Al-Kimia yang baru dijumpai Abad XX lalu.
f. Abu Raihan
Muhammd al Baituni, seorang ahli dalam ilmu Fisika, sebelum Galileo, telah
mengemukakan teori tentang bumu berputar pada asnya.
g. Abu Hamid
Muhammad ibn al-Ghazali (1059-1111 M) seorang yang ahli ilmu filsafat, fikih,
tasauf, teolog, tafsir, sya’ir-sya’ir arab[7]
dan lainya. Karyanya bidang filsafat tahafutu al falasifah dan untuk
kajian tasauf buku Ihya ‘Ulumuddin[8].
h. Abul Ma’ali
al-Juwaini (w.478 H), seorang ahli ilmu fikih, dan Mantik[9].
yang kemudian menjadi guru Imam al-Ghazali, sekaligus sebagai Rektor Madrasah
Nizamiyah di Bagdad.
3.
Lembaga Pendidikan Islam zaman kemunduran
Abbasiyah
Di masa
Abbasiyah di bawah pengaruh Buwaihi gerakan intelektual atau pendidikan masih
diperhatikan untuk lintas disiplin ini terbukti para pengeran dan
wazir-wazirnya mendukung penuh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan[10].
Para ilmuan di undang oleh pangeran dan perdana menteri datang ke istana,
mereka terdiri atas astrolog, dan dokter. Putra Perdana Menteri Mu’izz Daulah
adalah seorang yang aktif dalam
kehidupan kultural keilmuan dan pendidikan Islam. Al-Habsy seorang Gubernur
Bashrah, membangun sebuh perpustakaan yang memiliki koleksi buku sebanyak
15.000 jilid. Putra Mu’izz lainya, Bakhiyar (Izz Daulah), terlepas dari
kegagalannya sebagai seorang raja, adalah seorang penyair. Begitu juga ‘Adhud
Daulah terkenal sebagai pelindung terbesar ilmu pengetahuan[11].
Abu Muhammad
al-Muhallabi seorang wazir Buwaihi, adalah seorang budayawan yang cerdas. sebagai
seorang ahli prosa, dan sya’ir, yang fasih dalam bahasa Arab dan Persia, dia
mengumpulkan sarjana-sarjana terkemuka dan penyair-penyair terkenal di
sekelilingnya. Selanjutnya Shahin Ibn Abbad adalah seorang teolog. Kemudian
Wazir Syapur Ibn Ardasyir mendirikan Rumah Sakit (Dar al’Ilm: Academy of
Learning) yang sangat terkenal pada waktu itu. Sebuah Institusi syi’ah mendirikan
perpustakaan yang sangat baik dan memiliki koleksi buku sebanyak 100.000 jilid.
Perpustakaan ini di dirikan pada 381 H/991 M atau 383 H/993 M, berlokasi di Bain
al-Suran, wilayah bagian perkampungan Karkh. Namun perpustakaan ini
dihancurkan oleh tentara Seljug
pada 451 H/1059 M[12].
Kemudian
ketika Seljuq menguasai kekuasaan Abbasiyah, perkembagan lembaga
pendidikan Islam yang disebut sebagai Madrasah sekelas universitas atau
pergurun tinggi didirikan dengan disain pembelajaran terbaik muncul di zaman
kemunduran Abbasiyah ini.
Madrasah
Nizamiyah dirikan oleh Nizal Al-Mulk seorang perdana menteri Seljuq, yang
berkuasa pada masa Sultan Alp Arselan (1065-1067 M) dan anaknya Sultan Malik
Syah. di Madrasah inilah al-Ghazali pernah mengajar selama empat tahun
(1091-1095 M). Selain al-Gazali, gurunya al-Imam Haramain al Juwaini juga
pernah mengabdi di Madrasah ini.
Masa
kemunduran ini kekeuasaan dipegang sepenuhnya oleh sultan-sultan Seljuq
(Turki), sedangkan khalifah hanya sebatas symbol kekhalifahan. Perkembangan
lembaga pendidikan baik di Istana,
Kuttab Perpustakaan dan sebagainya tidak banyak para ahli sejarah yang
menjelaskan, mereka hanya banyak menjelaskan Madrasah Nizamiyah ini sebagai
lembaga yang dianggap universitas pertama yang menjadi tipe pengembangan
universitas-universitas di dunia kemudian hari[13].
Madrasah
Nizamiyah berdiri dilatarbelakangi oleh[14] :
a.
Faktor Pendidikan.
Pendirian
Madrasah Nizamiyah merupakan konsekwensi logis dari pertambahan murid pada masa
perkembangan dan pertumbuhan Islam. karena jumlah murid yang terus bertambah
maka system pendidikan pu harus berubah, dari berorientasi kepada individual ke
sifatnya massal.
b.
Faktor Politik
Pendirian
Madrasah Nizamiyah, di samping factor pendidikan, juga dilatarbelakangi factor
politik. seperti diketahui, sebelum Seljuq berkuasa Abbasiyah sedang
dikuasai Buwaih. Dinasti ini menganut aliran Syi’ah dan mereka berusaha
menanamkan pengaruh aliran itu ke tengah-tengah masyarakat melalaui propaganda
aktivitas pendidikan. Seljug sendiri beraliran sunni , antara
keduanya mempunyai idielogi yang jauh berbeda.
Adapun
kurikulum, yang dikembangkan di Madrasah Nizamiyah beroientasi kepada
penyebaran paham Sunni. Orientasi ini sebagai counter taktis
untuk memimanilisir paham Syi’ah di masyarakat.
Menurut
Mahmud Yunus (dalam Ramayulis) rencana praktis pengajaran di Madrsah Nizamiyah,
pada saat itu didominasi oleh pengajaran ilmu-ilmu keagamaan atau ilmu-ilmu Syari’ah[15].
di Madrasah Nizamiyah pengajaran ilmu seperti kedoteran, falak, fisika, dan
ilmu aqliah lainya tidak diajarkan.
Untuk
mendukung tujuan pengajaran, perdana menteri Nizam al-Mulk menetapkan pendidik
dengan kualifikasi yang mumpuni di bidang syariah. Semua ulama terkenal
yang beraliran sunni di datangkan
ke Madrasah Nizamiyah. Untuk meraih tujuan praktis Madrasah, cabang-cabangnya
didirikan di seantaro kekuasaan Abbasiyah, seperti; Bagdad, Nisyabur, Isfahan,
Heart, Merw, Mosul dan Khuristan. Dan di antara para Pendidik yang telah
mengabdikan ilmunya menurut Syalabi sebagai berikut [16]:
No
|
Nama Dosen
|
Tahun Wafat
|
Madrasah Nizamiyah tempat mengabdi
|
1.
|
Abu Ishaq Asy-Syrazi
|
476 H
|
Bagdad
|
2.
|
Abu Nashr Ash Shabbagh
|
477 H
|
Bagdad
|
3.
|
Imam al-Haramain Abul Ma’ ali Yusuf
Al-Djawaini
|
478 H
|
Nisyabur
|
4.
|
Abul Qasim Al-‘Alawy Ad-Dabbusi
|
482 H
|
Bagdad
|
5.
|
Abu Bakar Muhammad Ibnu Tsabit
al-Chudjandi
|
483 H
|
Isfahan
|
6.
|
Muhammad Ibnu Tsabit Asy-Syafi’i
|
483 H
|
Isfahan
|
7.
|
Abu Bakr Asy-Syasi
|
485 H
|
Herat
|
8.
|
Muhammad Ibnu ‘Ali Ibnu Hamid
|
495 H
|
Herat
|
9.
|
Abu Muhammad Ath-Thabary
|
495 H
|
Bagdad
|
10.
|
Abdurahman Ibnu Ma’mun
|
498 H
|
Bagdad
|
11.
|
Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syirazi
|
500 H
|
Bagdad
|
12.
|
Abu Zakaria Yahya Al-Chatib At-Tabrizi
|
502 H
|
Bagdad
|
13.
|
Al Kaya Al-Hirasi
|
504 H
|
Bagdad
|
14.
|
Abu Hamid Al-Ghzali
|
505 H
|
Bagdad dan Nisyabur
|
15.
|
‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ali Fashihi
|
516 H
|
Bagdad
|
16.
|
Abul Fathi Ibnu Burhan
|
518 H
|
Bagdad
|
17.
|
Abu Sa’id Abu Sa’id Al Bazzar
|
520 H
|
Bagdad
|
18.
|
Ahmad Al-Ghazali
|
520 H
|
Bagdad
|
19.
|
Ahmad Maihani
|
527 H
|
Merw
|
20.
|
Mu’inuddin Sa’id Ibnu Bazzaz
|
538 H
|
Bagdad
|
21.
|
Mauhub Ibnu Ahmad Al-Djawaliqi Al-Bagdad
|
539 H
|
Bagdad
|
22.
|
Muhammad Ibnu Yahya
|
548 H
|
Nisyabur
|
23.
|
Abu Sa’id Ahmad Ibnu Abi Bakr
|
551 H
|
Isfahan
|
24.
|
Syarafuddin Yusuf Ad-Dimasyqi
|
557 H
|
Bagdad
|
25.
|
Asy-Syakh Abun Najib
|
563 H
|
Bagdad
|
26.
|
Jusuf Ad-Dimasqi
|
563 H
|
Khuristan
|
27.
|
Rdhiyuddin Al-Qazwini
|
575 H
|
Bagdad
|
28.
|
Abu Barakat Al-Anbari
|
577 H
|
Bagdad
|
29.
|
Abul Khair Isma’il Al-Qazwini
|
581 H
|
Bagdad
|
30.
|
Abu Thalib Al-Mubarak
|
585 H
|
Bagdad
|
31.
|
Muhyiddin Abu Hamid
|
586 H
|
Mosul
|
32.
|
Majuddin Abu ‘Ali Yahya Ibnur Rabi’
|
606 H
|
Bagdad
|
33.
|
Yahya Ibnu Qosim
|
616 H
|
Bagdad
|
34.
|
Bahauddin Ibnu Syaddad
|
632 H
|
Bagdad
|
35.
|
Najamuddin al-Badzirai
|
655 H
|
Bagdad
|
36.
|
Abul Mnaqib a-zindjani
|
656 H
|
Bagdad
|
37.
|
Syamsuddin al-Kabsyi
|
665 H
|
Bagdad
|
38.
|
Nashiruddin Al-Faruqi
|
672 H
|
Bagdad
|
39.
|
Madjuddin Ibnu Dja’far
|
682 H
|
Bagdad
|
40.
|
Syarafuddin Asy-Syahristani
|
291 H
|
sebagai asisiten di Bagdad
|
41.
|
Muhammad Ibnu al-‘Aqili
|
Permulaan Abad 8
|
Bagdad
|
42.
|
‘Abdullah Ibnu Baktasy
|
Akhir Abad 8
|
Bagdad
|
43.
|
Al-Fairuz Abadi
|
817 H
|
Asisten di Nisyabur
|
Melihat komposisi pengajar
diberbagai Madrasah Nizamiyah baik di pusat Bagdad atau cabang-cabangnya.
menunjukan keterkaitan pemikiran tradional Asy-‘As’aryah yang
mendasarkan diri pada wahyu yang
kemudian berkembang menjadi pola pendidikan umat Islam yang berorientasi
sufitik[17].
Pola pendidikan ini sangat memperhatikan aspek bathiniah dan akhlak atau budi
pekerti manusia. Sedangkan pola pendidikan yang menerapkan pola pendidikan
rasional dengan pendekatan empiric tidak berkembang. Tipikal dari pola
pendidikan ini sangat memperhatikan intelektual dan penguasaan materi[18].
Beberapa analisis yang
dikemukan oleh Samsul Nizar mengenai titik balik kemunduran pendidikan Islam
khususnya atau perdaban umumnya adalah :
Pertama, telah berlebihannya Filsafat Islam yang
bersifat sufistik. Kehidupan sufi berkembang dengan cepat. Keadaan
frustasi yang merata di kalangan umat Islam yang menyebabkan manusia yang
kembali tuhan dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan tuhan.
Madrasah-madrasah yang berkembang menjadi zawiyat-zawiyat untuk
mengadakan nadat, merintis jalan untuk kembali dan menyatu dengan tuhan
di bawah bimbingan dan otoritas sufi[19].
Kedua, sedikitnya kurikulum Islam, kemunduran dan merosotnya mutu
pendidikan dan pengajaran pada masa ini
tampak jelas, dengan sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran umum di
Madrasah-madrasah, perhatian terhadap ilmu alam telah tergeser pada pinggir
yang jauh, tidak banyak/tidak sama sekali diajarkan di madrasah. adapun
ilmu-ilmu keagamaan yang berkembang adalah; tafsir, hadis, fikih, dan usul
fikih, ilmu kalam, serta teologi.[20]
Sedangkan untuk Madrasah tertentu ilmu kalam yang diajarkan telah pula
dicurigai[21].
Ketiga, Tertutupnya pintu ijtihad, diera kemunduran ini pintu ijtihad telah
dianggap tertutup, sehingga sekolah-sekolah yang dikenal pada masa sebelumnya,
selain Madrasah yang didirikan Nizam al-Mulk telah tidak dipergunakan lagi.
Artinya semangat intelektual lintas disiplin sudah statgan, kecuali untuk
ilmu-ilmu agama yang terus dipacu sekedarnya. Pendidikan hanya banyak
dilaksanakan di rumah-rumah ulama dengan menekankan pada pemikiran sufistik
kepada anak didiknya. Para ulama periode ini enggan untuk berijtihad karena
anggapan pintu ijtihad telah tertutup[22].
c.
Potret Perkembangan Madrasah Nizamiyah.
Usaha yang
dilakukan Nizam al-Mulk dengan membangun Madrasah Nizamiyah mendapat respon
positif dari masyarakat. Dalam usaha yang paling mengesankan ialah seorang
perdana menteri sekelas Nizam al-Mulk ikut membina langsung proses pembelajaran
yang terjadi di kelas, Nizam al-Mulk biasa bertukar pikiran dengan mahasiswa
dalam kunjungannya ke Madasah Nizamiyah baik di Bagdad maupun cabang-cabang
lainya.
Melihat
kesungguhan pemerintah masyarakat ikut pula mendirikan Madrasah dibeberapa
tempat di antara tang terkenal adalah Madrasah Nizamiyah Nisyapur dan Nizamiyah
Bagdad.
Madrasah
Nizamiyah Nisyapur didirikan oleh Nizam al Mulk untuk Al-Juwaini yang memimpin
dan menjadi dosen (Mudarris/Guru Besar), selama 3 dekade sampai wafatnya
pada 478 H/1085 M. Menurut Ibn Khallikan (w.681 H/1282 M) berdiri sekitar 440
H/1050 M[23].
Dengan 43 orang Rektor yang memimpinnya[24].
Sedangkan
Madrasah Nizamiyah Bagdad dimulai pembangunan menurut al-Jawzi pada 457 H/1065
M. Beberapa bangunan tua di pinggiran sungai Tigris diruntuhkan, lahu bahan
materilanya digunakan untuk membangun Madrasah ini. Dua tahun setelah selesai
diresmikan penggunaanya. Menurut Syalabi Madrasah ini menyediakan perpustakaan
yang luas, banyak kitab-kitab keagamaan di dalamnya. Fasilitas asrama,
pemberian Beasiswa dan biaya operasional Madrasah tentunya disediakan oleh
penguasa. Dana wakaf terkumpul mencapai
15. 000 dinar pertahun. Jumlah yang telah mencukupi untuk menutupi semua kebutuhan
operasional Madrasah dalam setahun[25].
Selanjutnya,
pola dasar pembangunan Nizamiyah menurut Charles Michael Staton, Madrasah ini
terpisah dari bangunan masjid[26].
Berarti pendidikan tinggi ini telah mengambil bentuk maju model universitas
modern. Kegiatan pembelajaran disediakan khusus hampir mirip dengan bentuk
klasikal.
4. Ilmu pengetahuan yang berkembang zaman
Kemunduran Abbasiyah
Perkembangan
Ilmu Pengatahuan sejalan dengan perkembangan pendidikan. Bertambah jumlah
lembaga pendidikan maka bertambah pula ilmu pengetahuan yang yang ada. Begitu
pula sebaliknya bertambah sedikit lembaga pendidikan akan bertambah pula ilmu
pengetahuan yang dihasilkan atau berkembang. Perkembangan lembaga pendidikan
Islam adalah bagian yang mendasar untuk perkebangan ilmu pengetahuan.
Sedangkan dukungan semua pihak terutama
penguasa terhadap pendidikan sangat menentukan kemajuan pendidikan Islam dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan
ilmu pengatahuan di era kemunduran Abbasiyah dari dua dinasti yang mempengaruhi
Abbasiyah yaitu Dinasti Buaihi dan Seljuq dapat diuraikan sebagai berikut :
a.
Masa Dinasti Buaihi
Pada masa
dinasti Buaihi perkembangan ilmu pengetahuan masih ter-integral (tidak terjadi
dikotomis ilmu aqliah dan agama). Para penguasa Buaihi masih memberikan
suppor untuk perkembangan ilmu pengetahuan aqliah dan agama, walaupun
tidak sesemarak periode sebelumnya. di antara ilmu yang berkembang adalah;
fisika, ilmu bintang (astronomi), matematika, ilmu Alam, Ilmu medis
(kedokteran), dan ilmu Kimia. Untuk ilmu aqliah berkembang, fikih yang
beorientasi aliran Syi’ah, dan teologi[27].
b.
Masa Dinasti Seljuq
Masa Seljuq
berkuasa ilmu pengetahuan berkembang hanya untuk ilmu-ilmu kegamaan saja dan
sedikit ilmu Alam (nampaknya sudah mulai memasuki bentuk dikotomis ilmu
pengetuhuan walaupun tidak sepenuhnya). Pengembangan ini karena adanya motivasi
politik antara aliran Sunni dan Syi’ah.
Penggalakan aktivitas keilmuan melalui pendidikan sekelas Madrasah
Nizamiyah adalah bentuk nyata dari pengaruh politik untuk mempertahankan
keberlangsungan aliran sunni di kekuasaan Abbasiyah. Ilmu pengetahuan
yang diajarakan di Madrasah Nizamiyah berorientasi ilmu keagamaan dan sedikit
ilmu kealaman. Menurut Mahmud Yunus kurikulum (matapelajaran) yang diajarkan di
Madrasah Nizamiyah adalah ; Al-Qur’an, Sastra Arab, Sejarah Nabawiyah, Fikih,
Ushul Fikih dengan menitik beratkan pada mazhab Syafi’I dan teologi Asy-‘Ariyah[28].
Kemudian
menurut Mahmud Yunus seperti; kajian-kajian Islam, Ilmu Hisab, Faraid,
Penelitaian Tanah, Sejarah Sastra, Kesehatan, cara memelihara binatang,
bercocok tanam, dan beberapa segi dari sejarah kealaman[29].
Samsul Nizar Menambahkan untuk komposisi kurikulum di Nizamiyah (masa dinasti
Seljuq) sebagai berikut ; Tafsir, hadis, ilmu Kalam dan teologi[30].
Djamaludin Darwis menyebutkan dari al-Makdisi kompoisis kurikulum Nizamiyah
ialah ; Al-Qur’an, Hadis, ‘Ulmu al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, Fiqih dan Ushul
Fiqih[31].
Oleh Albert Hourani (Djamaludin Darwis) Madrasah ini didirikan mengajarkan
al-Qur’an dan Hadis tetapi tujuan utamanya adalah pengajaran Fiqih.
C.Kesimpulan
Pendidikan
Islam Zaman Kemunduran Islam (Akhir Abbasyah) mengalami statganitas dan
menurun secara drastis, karena perhatian penguasa tidak banyak dicurahkan untuk
pengembangan bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Perhatian
penguasa banyak terfokus keranah politik, bagaimana mempertahankan kekuasaan.
Tarik- menarik pengaruh kekuasaan di pusat pemerintahan Bagdad antara dinasti Seljuq
dan Buaihi bisa dikatakan sebagai penyebabnya. atas pengaruh kedua dinasti
yang mendominasi Abbasiyah, khalifah hanyalah sebagai symbol atau boneka yang
tidak punya power atas kuasa kekuasaan yang diembannya sebaga seorang penguasa
Abbasiyah.
Untuk pengembangan keilmuan di
masa dinasti Seljuq dan Buaihi ini ilmu tidak banyak jumlah, di antara ilmuan
yang terlahir di zaman ini adalah ; Abd al-Rahman Sufi, Ad-Dawlah, Al-Kafi dan Abu al
Wafa’, Ibnu Sina, Jabir ibn Hayyan, Abu Raihan Muhammd al Baituni, Abu Hamid
Muhammad ibn al-Ghazali, Abul Ma’ali al-Juwaini. sedangkan lembaga pendidikan
yang ada diantaranya ; Perpustakan, Madrasah Nizamiyah dan Istana di zaman
Buaihi.
Ilmu pengetahuan yang berkembang adalah ;
fisika, ilmu bintang (astronomi), matematika, ilmu Alam, Ilmu medis
(kedokteran), Penelitaian Tanah, Sejarah Sastra, cara memelihara binatang,
bercocok tanam, dan beberapa segi dari sejarah kealaman dan ilmu Kimia. Untuk
ilmu aqliah berkembang, fikih, ushul fikih yang beorientasi aliran Syi’ah,
dan teologi, tafsir al-Qur’an, ‘Ulumu al-Qur’an, Hadis, Tasauf, Sastra Arab,
Sejarah Nabawiyah, kajian-kajian Islam, Ilmu Hisab, Faraid, dan ilmu kalam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amin, Samsul Munir, Sejarah Perdaban
Islam, Jakarta : Amzah, 2009
Darwis, Djamaludin, Dinamika Pendidikan
Islam sejarah, Ragam dan Kelembagaan. Semarang : RaSAIL, 2010, Cet. 2
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah,Terj; Khoirul Amru Harap dan Achmad Faozan,
Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet.3
Maryam, Siti dkk, Sejarah peradaban
Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III
Nata, Abuddin, Sejarah Sosial
Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2012
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensklipedia
Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching, 2010, Edisi revisi
Staton, Charles Michael, Pendidikan
Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi
dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, Tt
[7] Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar
Islam Sepanjang Sejarah,Terj; Khoirul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta
: Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet.3, h. 362
[8] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensklipedia Tokoh
Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching, 2010, Edisi revisi, h. 3
[10]Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h. 226
[13] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, Penerj. H. Afandi dan Hasan
Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994, h. 45
[31]Djamaludin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam
sejarah, Ragam dan Kelembagaanh. Semarang : RaSAIL, 2010, Cet. 2, h.10
No comments:
Post a Comment