16/12/2016

PENDIDIKAN ISLAM ZAMAN KEMUNDURAN ISLAM (AKHIR ABBASYAH)



A. Pendahuluan
Pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan mencapai titik kulminasi pada zaman Khalifah al-Makmun (813-833 M). Puncak kejayaan pendidikan dan ilmu pengetahuan, sepenuhnya didukung oleh penguasa yang mencintai ilmu pengetahuan. al-Makmun sendiri sangat menyukai ilmu kalam dan sekaligus menjadi pendukung aliran mu’tazilah hingga wafatnya. Setelah meninggalnya al-Makmun digantikan oleh putranya al-Muktashim (833-842 M) sampai kepada khalifah al-Watsiq (842-847 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M)[1] kondisi pendidikan Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan bisa disebutkan masih stabil tidak menurun kemudian tidak pula menanjak.
Periode kemunduran ini dipicu oleh kurang stabilnya pusat kekuasaan (istana), karena adanya intrik politik istana yang membuat konsentrasi untuk pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan umum untuk peradaban terpecah, tapi situasi tersebut masih bisa dikendalikan oleh khalifah yang berkuasa. periode sebelum watafnya al-Mutawakkil masih dianggap stabil untuk pengembangan pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, pertikaian politik di kalangan istana, setelah wafatnya khalifah al-Mutawakkil antara dua putranya al-Mustashir (861-862 M) dan al-Muktasim (862-866 M), telah mulai babak baru kemunduran pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan secara umum perdaban Abbasiyah. Seperti dikatan Montgomery (dalam siti Mayam), setelah naik tahtanya al-Mutawakkil sampai masuknya kekuasaan Buaihi (334-447 M/945-1055 M)[2]  peradaban Abbasiyah, tidak pernah berubah menjadi maju[3]. Karena, sepanjang masa itu, khalifah-khalifah tidak lagi mempunyai kekuasaan mutlak terhadap peradaban Abbasiyah yang dipegangnya[4].
Banyaknya campur tangan para Jenderal Turki untuk menentukan kebijakan kerajaan, sehingga berimbas kepada banyaknya bidang kemunduran yang dialami kerajaan (daulah) Abbasiyah, salah satunya adalah bidang pendidikan Islam dan Ilmu pengetahuan. Tabiat serdadu Turki yang mempengaruhi Istana atau kerajaan sangat mempengaruhi perkembangan peradaban secara signifikan, sebab tabiat mereka lebih tepat untuk medan pertempuran bukan untuk pengaturan pemerintahan dan administrasi negara (untuk sementara). Dapat dikatakan peran yang dilakon tersebut adalah  mainan baru, yang sebenarnya masih asing bagi mereka walaupun ada juga yang telah lama tinggal bersama khalifah di kerajaan, sebagai pengawal istana, namun itu belum anggap cukup.  Intervensi-intervensi kebijakan khalifah sangat kentara sekali, sehingga khalifah hanya sebagai simbol saja, yang tidak banyak memainkan peran penting untuk kerajaan.
Oleh sebab itu, untuk urusan perkembangan pendidikan dan ilmu pengatahuan khususnya penanda kemajuan zaman yang telah dirintis para khalifah sebelumnya mulai meredup secara berangsur-angsur namun pasti. Yang demikian itu nampak jelas sebagai akibat kurangnya perhatian penguasa dalam pengembangan pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan. Di samping itu semangat keilmuan sudah mulai berangsur-angsur surut, karena mulai minimnya apresiasi dari penguasa.
Bentangan masa yang disebut zaman kemunduran Bani Abbasiyah sebenarnya lebih panjang dari zaman kemajuan sebelumnya, sejak periode al –Mutawakkil (847-861 M) sampai 1258 M ketika jatuhnya kota Bagdad ketangan bangsa Mongol Tatar. Dengan demikian, lebih dari masa empat abad lamanya zaman kemunduran berlangsung, faktor utama adalah ketidakstabilan kekuasaan dan pengaruh yang ditimbulkan pengawal istana raja oleh tentara belian dari turki dan Persia[5].
adapun ruanglingkup kajian ini berkisar seputar; Menjelaskan Kondisi perkembangan pendidikan Islam Zaman kemunduran Abbasiyah, Menyebutkan Tokoh-tokoh ilmuan dan konstribusinya dalam Pendidikan Islam Abbasiyah, Lembaga Pendidikan Islam zaman kemunduran Abbasiyah, dan Menjelaskan Klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang zaman Kemunduran Abbasiyah, kesimpulan dan soal-soal latihan.
setelah mengikuti materi ini, mahasiswa diharapkan menguasai beragam informasi tentang kondisi dan masalah-masalah yang menyebabkan kemunduran pendidikan Islam dan Ilmu pengetahuan era Abbasiyah.

B. Pembahasan
1.    Kondisi perkembangan pendidikan Islam zaman kemunduran Abbasiyah,
Tidak banyak informasi yang bisa didapatkan, mengenai perkembanga masa awal kemunduran dan penguhujung kemunduran Bani Abbasiyah ini. Tapi yang jelas factor polemik perbutan kekuasaan adalah yang paling senter berkembang, sehingga pemikiran untuk tetap menjaga dan membangkit kemajuan peradaban yang khususnya bidang pendidikan dan Ilmu pengetahuan hampir dikatakan menurun drastis.
Dua bangsa yang saling memperebutkan hati khalifah menunjukan ketidakstabilan pihak kekuasaan yaitu khalifah. dua kekuatan yang ada saling bertarung untuk memperebutkan posisi perdana menteri disentral kekuasaan Abbasiyah di Bagdad.
Titik jenuh masyarakat Abbasiyah telah pula memberikan respon yang kurang positif dengan timbulnya keorganisasian sufi yang mengedapan akhirat semata. Para pendirinya yang berpengaruh tidak peduli lagi dengan urusan dunia (harta, pangkat, kekusaan dan bahkan semua aspek pendidikan dan keilmuan) yang sedang diperebutkan banyak kalangan.   Masa bodoh semacam itu, merembes kepada kurang diperhatikannya perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Memang, para ilmu pengetahuan terkadang berlomba untuk ikut pula mendapatkan perhatian penguasa, ujung-ujung jabatan.
Kemudian ditambah perang urat syaraf antara golongan teologi dikalangan umat sangat dahsyat, serta tidak luput pertikaian antara penganut mazhab. baik sesama mazhab sunni maupun sunni dan syi’ah.
Kompleks sekali permasalahan yang dihadapi bani Abbasiyah di samping para khalifah yang naik dan turun sangat lemah, ketergantungan mereka kepada para tentara bayaran asing sangat tinggi hanya dipergunakan untuk menguasai rakyat sendiri. Sehingga sikap cuek sudah hal yang dianggap wajar untuk zamannya, walaupun itu tetap disayangkan sekali. 
sebenarnya, para ilmuan muslim masih ada yang hidup pada masa kemunduran ini seperti ibnu Sina,  dan al –Hayan, namun diera ini, eksplorasi keilmuan dan pendidikan Islam tidak begitu bersinar seperti sebelumnya.

2.      Tokoh-tokoh ilmuan dan konstribusinya dalam Pendidikan Islam Abbasiyah.
Tokoh ilmuan tetap lahir dan memberikan pencapain yang berarti zaman tersebut diantara lahirnya para filosof dan ilmuan aqliah  lainya seperti [6];
a.    Abd al-Rahman Sufi, salah seorang ahli fisika yang paling cemerlang di zamanya, dia adalah sahabat karib, Amir Ad-Dawlah dari bani Buwaihi, dengan berbagai argument dia disebut Agustus kedua Bangsa Arab.
b.    Ad-Dawlah, di samping seorang Amir, ia juga seorang sarjana fisika, ia pernah mendatangkan ke istanaya, orang-orang terpelajar untuk ambil bagian dalam diskusi ilmiah
c.    Al-Kafi dan Abu al Wafa’ dua ahli dalam ilmu perbintangan, Ilmu Alam, dan Ilmu Pasti, mereka memperlajari dan menulis tentang perjalanan planet-planet di angkasa. penemuannya mengenai solstisi musim panas dan equinox musim gugur, amat banyak menambah pengetahuan manusia.
d.    Ibnu Sina (980-107 M) selain sebagai filosof ia juga seorang Dokter pengarang ensiklopedia dalam ilmu kedokteraaan yang terkenal dengan nama Al-Qanun Fi al-Thib. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, berpuluh-puluh kali cetak da digunakan di Eropa hingga Abad XVII. Banyak karanganya yang terkenal seperti bahasanya tentang fisika, Metafisika dan Matematikan yang terdiri 18 jilid.
e.    Jabir ibn Hayyan terkenal dengan bapak ilmu Kimia. dan Abu Bakar Zakaria al-Razi (865-925 M), pengarang buku besar tentang Al-Kimia yang baru dijumpai Abad XX lalu.
f.     Abu Raihan Muhammd al Baituni, seorang ahli dalam ilmu Fisika, sebelum Galileo, telah mengemukakan teori tentang bumu berputar pada asnya.
g.    Abu Hamid Muhammad ibn al-Ghazali (1059-1111 M) seorang yang ahli ilmu filsafat, fikih, tasauf, teolog, tafsir, sya’ir-sya’ir arab[7] dan lainya. Karyanya bidang filsafat tahafutu al falasifah dan untuk kajian tasauf buku Ihya ‘Ulumuddin[8].
h.    Abul Ma’ali al-Juwaini (w.478 H), seorang ahli ilmu fikih, dan Mantik[9]. yang kemudian menjadi guru Imam al-Ghazali, sekaligus sebagai Rektor Madrasah Nizamiyah di Bagdad.

3.         Lembaga Pendidikan Islam zaman kemunduran Abbasiyah
Di masa Abbasiyah di bawah pengaruh Buwaihi gerakan intelektual atau pendidikan masih diperhatikan untuk lintas disiplin ini terbukti para pengeran dan wazir-wazirnya mendukung penuh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan[10]. Para ilmuan di undang oleh pangeran dan perdana menteri datang ke istana, mereka terdiri atas astrolog, dan dokter. Putra Perdana Menteri Mu’izz Daulah adalah seorang yang aktif  dalam kehidupan kultural keilmuan dan pendidikan Islam. Al-Habsy seorang Gubernur Bashrah, membangun sebuh perpustakaan yang memiliki koleksi buku sebanyak 15.000 jilid. Putra Mu’izz lainya, Bakhiyar (Izz Daulah), terlepas dari kegagalannya sebagai seorang raja, adalah seorang penyair. Begitu juga ‘Adhud Daulah terkenal sebagai pelindung terbesar ilmu pengetahuan[11].
Abu Muhammad al-Muhallabi seorang wazir Buwaihi, adalah seorang budayawan yang cerdas. sebagai seorang ahli prosa, dan sya’ir, yang fasih dalam bahasa Arab dan Persia, dia mengumpulkan sarjana-sarjana terkemuka dan penyair-penyair terkenal di sekelilingnya. Selanjutnya Shahin Ibn Abbad adalah seorang teolog. Kemudian Wazir Syapur Ibn Ardasyir mendirikan Rumah Sakit (Dar al’Ilm: Academy of Learning) yang sangat terkenal pada waktu itu.  Sebuah Institusi syi’ah mendirikan perpustakaan yang sangat baik dan memiliki koleksi buku sebanyak 100.000 jilid. Perpustakaan ini di dirikan pada 381 H/991 M atau 383 H/993 M, berlokasi di Bain al-Suran, wilayah bagian perkampungan Karkh. Namun perpustakaan ini dihancurkan oleh tentara Seljug  pada 451 H/1059 M[12].
Kemudian ketika Seljuq menguasai kekuasaan Abbasiyah, perkembagan lembaga pendidikan Islam yang disebut sebagai Madrasah sekelas universitas atau pergurun tinggi didirikan dengan disain pembelajaran terbaik muncul di zaman kemunduran Abbasiyah ini. 
Madrasah Nizamiyah dirikan oleh Nizal Al-Mulk seorang perdana menteri Seljuq, yang berkuasa pada masa Sultan Alp Arselan (1065-1067 M) dan anaknya Sultan Malik Syah. di Madrasah inilah al-Ghazali pernah mengajar selama empat tahun (1091-1095 M). Selain al-Gazali, gurunya al-Imam Haramain al Juwaini juga pernah mengabdi di Madrasah ini.
Masa kemunduran ini kekeuasaan dipegang sepenuhnya oleh sultan-sultan Seljuq (Turki), sedangkan khalifah hanya sebatas symbol kekhalifahan. Perkembangan lembaga pendidikan  baik di Istana, Kuttab Perpustakaan dan sebagainya tidak banyak para ahli sejarah yang menjelaskan, mereka hanya banyak menjelaskan Madrasah Nizamiyah ini sebagai lembaga yang dianggap universitas pertama yang menjadi tipe pengembangan universitas-universitas di dunia kemudian hari[13].
Madrasah Nizamiyah berdiri dilatarbelakangi oleh[14] :
a.         Faktor Pendidikan.
Pendirian Madrasah Nizamiyah merupakan konsekwensi logis dari pertambahan murid pada masa perkembangan dan pertumbuhan Islam. karena jumlah murid yang terus bertambah maka system pendidikan pu harus berubah, dari berorientasi kepada individual ke sifatnya massal.
b.         Faktor Politik
Pendirian Madrasah Nizamiyah, di samping factor pendidikan, juga dilatarbelakangi factor politik. seperti diketahui, sebelum Seljuq berkuasa Abbasiyah sedang dikuasai Buwaih. Dinasti ini menganut aliran Syi’ah dan mereka berusaha menanamkan pengaruh aliran itu ke tengah-tengah masyarakat melalaui propaganda aktivitas pendidikan. Seljug sendiri beraliran sunni , antara keduanya mempunyai idielogi yang jauh berbeda.
Adapun kurikulum, yang dikembangkan di Madrasah Nizamiyah beroientasi kepada penyebaran paham Sunni. Orientasi ini sebagai counter taktis untuk memimanilisir paham Syi’ah di masyarakat.
Menurut Mahmud Yunus (dalam Ramayulis) rencana praktis pengajaran di Madrsah Nizamiyah, pada saat itu didominasi oleh pengajaran ilmu-ilmu keagamaan atau ilmu-ilmu Syari’ah[15]. di Madrasah Nizamiyah pengajaran ilmu seperti kedoteran, falak, fisika, dan ilmu aqliah lainya tidak diajarkan.
Untuk mendukung tujuan pengajaran, perdana menteri Nizam al-Mulk menetapkan pendidik dengan kualifikasi yang mumpuni di bidang syariah. Semua ulama terkenal yang beraliran sunni  di datangkan ke Madrasah Nizamiyah. Untuk meraih tujuan praktis Madrasah, cabang-cabangnya didirikan di seantaro kekuasaan Abbasiyah, seperti; Bagdad, Nisyabur, Isfahan, Heart, Merw, Mosul dan Khuristan. Dan di antara para Pendidik yang telah mengabdikan ilmunya menurut Syalabi sebagai berikut [16]:
No
Nama Dosen
Tahun Wafat
Madrasah Nizamiyah tempat mengabdi
1.
Abu Ishaq Asy-Syrazi
476 H
Bagdad
2.
Abu Nashr Ash Shabbagh
477 H
Bagdad
3.
Imam al-Haramain Abul Ma’ ali Yusuf Al-Djawaini
478 H
Nisyabur
4.
Abul Qasim Al-‘Alawy Ad-Dabbusi
482 H
Bagdad
5.
Abu Bakar Muhammad Ibnu Tsabit al-Chudjandi
483 H
Isfahan
6.
Muhammad Ibnu Tsabit Asy-Syafi’i
483 H
Isfahan
7.
Abu Bakr Asy-Syasi
485 H
Herat
8.
Muhammad Ibnu ‘Ali Ibnu Hamid
495 H
Herat
9.
Abu Muhammad Ath-Thabary
495 H
Bagdad
10.
Abdurahman Ibnu Ma’mun
498 H
Bagdad
11.
Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syirazi
500 H
Bagdad
12.
Abu Zakaria Yahya Al-Chatib At-Tabrizi
502 H
Bagdad
13.
Al Kaya Al-Hirasi
504 H
Bagdad
14.
Abu Hamid Al-Ghzali
505 H
Bagdad dan Nisyabur
15.
‘Ali Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ali Fashihi
516 H
Bagdad
16.
Abul Fathi Ibnu Burhan
518 H
Bagdad
17.
Abu Sa’id Abu Sa’id Al Bazzar
520 H
Bagdad
18.
Ahmad Al-Ghazali
520 H
Bagdad
19.
Ahmad Maihani
527 H
Merw
20.
Mu’inuddin Sa’id Ibnu Bazzaz
538 H
Bagdad
21.
Mauhub Ibnu Ahmad Al-Djawaliqi Al-Bagdad
539 H
Bagdad
22.
Muhammad Ibnu Yahya
548 H
Nisyabur
23.
Abu Sa’id Ahmad Ibnu Abi Bakr
551 H
Isfahan
24.
Syarafuddin Yusuf Ad-Dimasyqi
557 H
Bagdad
25.
Asy-Syakh Abun Najib
563 H
Bagdad
26.
Jusuf Ad-Dimasqi
563 H
Khuristan
27.
Rdhiyuddin Al-Qazwini
575 H
Bagdad
28.
Abu Barakat Al-Anbari
577 H
Bagdad
29.
Abul Khair Isma’il Al-Qazwini
581 H
Bagdad
30.
Abu Thalib Al-Mubarak
585 H
Bagdad
31.
Muhyiddin Abu Hamid
586 H
Mosul
32.
Majuddin Abu ‘Ali Yahya Ibnur  Rabi’
606 H
Bagdad
33.
Yahya Ibnu Qosim
616 H
Bagdad
34.
Bahauddin Ibnu Syaddad
632 H
Bagdad
35.
Najamuddin al-Badzirai
655 H
Bagdad
36.
Abul Mnaqib a-zindjani
656 H
Bagdad
37.
Syamsuddin al-Kabsyi
665 H
Bagdad
38.
Nashiruddin Al-Faruqi
672 H
Bagdad
39.
Madjuddin Ibnu Dja’far
682 H
Bagdad
40.
Syarafuddin Asy-Syahristani
291 H
sebagai asisiten di Bagdad
41.
Muhammad Ibnu al-‘Aqili
Permulaan Abad 8
Bagdad
42.
‘Abdullah Ibnu Baktasy
Akhir Abad 8
Bagdad
43.
Al-Fairuz Abadi
817 H
Asisten di Nisyabur

       Melihat komposisi pengajar diberbagai Madrasah Nizamiyah baik di pusat Bagdad atau cabang-cabangnya. menunjukan keterkaitan pemikiran tradional Asy-‘As’aryah yang mendasarkan  diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pendidikan umat Islam yang berorientasi sufitik[17]. Pola pendidikan ini sangat memperhatikan aspek bathiniah dan akhlak atau budi pekerti manusia. Sedangkan pola pendidikan yang menerapkan pola pendidikan rasional dengan pendekatan empiric tidak berkembang. Tipikal dari pola pendidikan ini sangat memperhatikan intelektual dan penguasaan materi[18].
       Beberapa analisis yang dikemukan oleh Samsul Nizar mengenai titik balik kemunduran pendidikan Islam khususnya atau perdaban umumnya adalah :
Pertama, telah berlebihannya Filsafat Islam yang bersifat sufistik. Kehidupan sufi berkembang dengan cepat. Keadaan frustasi yang merata di kalangan umat Islam yang menyebabkan manusia yang kembali tuhan dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan tuhan. Madrasah-madrasah yang berkembang menjadi zawiyat-zawiyat untuk mengadakan nadat, merintis jalan untuk kembali dan menyatu dengan tuhan di bawah bimbingan dan otoritas sufi[19]. Kedua, sedikitnya kurikulum Islam, kemunduran dan merosotnya mutu pendidikan dan pengajaran   pada masa ini tampak jelas, dengan sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran umum di Madrasah-madrasah, perhatian terhadap ilmu alam telah tergeser pada pinggir yang jauh, tidak banyak/tidak sama sekali diajarkan di madrasah. adapun ilmu-ilmu keagamaan yang berkembang adalah; tafsir, hadis, fikih, dan usul fikih, ilmu kalam, serta teologi.[20] Sedangkan untuk Madrasah tertentu ilmu kalam yang diajarkan telah pula dicurigai[21].
Ketiga, Tertutupnya pintu ijtihad, diera kemunduran ini pintu ijtihad telah dianggap tertutup, sehingga sekolah-sekolah yang dikenal pada masa sebelumnya, selain Madrasah yang didirikan Nizam al-Mulk telah tidak dipergunakan lagi. Artinya semangat intelektual lintas disiplin sudah statgan, kecuali untuk ilmu-ilmu agama yang terus dipacu sekedarnya. Pendidikan hanya banyak dilaksanakan di rumah-rumah ulama dengan menekankan pada pemikiran sufistik kepada anak didiknya. Para ulama periode ini enggan untuk berijtihad karena anggapan pintu ijtihad telah tertutup[22].
c.         Potret Perkembangan Madrasah Nizamiyah.
Usaha yang dilakukan Nizam al-Mulk dengan membangun Madrasah Nizamiyah mendapat respon positif dari masyarakat. Dalam usaha yang paling mengesankan ialah seorang perdana menteri sekelas Nizam al-Mulk ikut membina langsung proses pembelajaran yang terjadi di kelas, Nizam al-Mulk biasa bertukar pikiran dengan mahasiswa dalam kunjungannya ke Madasah Nizamiyah baik di Bagdad maupun cabang-cabang lainya.
Melihat kesungguhan pemerintah masyarakat ikut pula mendirikan Madrasah dibeberapa tempat di antara tang terkenal adalah Madrasah Nizamiyah Nisyapur dan Nizamiyah Bagdad.
Madrasah Nizamiyah Nisyapur didirikan oleh Nizam al Mulk untuk Al-Juwaini yang memimpin dan menjadi dosen (Mudarris/Guru Besar), selama 3 dekade sampai wafatnya pada 478 H/1085 M. Menurut Ibn Khallikan (w.681 H/1282 M) berdiri sekitar 440 H/1050 M[23]. Dengan 43 orang Rektor yang memimpinnya[24].
Sedangkan Madrasah Nizamiyah Bagdad dimulai pembangunan menurut al-Jawzi pada 457 H/1065 M. Beberapa bangunan tua di pinggiran sungai Tigris diruntuhkan, lahu bahan materilanya digunakan untuk membangun Madrasah ini. Dua tahun setelah selesai diresmikan penggunaanya. Menurut Syalabi Madrasah ini menyediakan perpustakaan yang luas, banyak kitab-kitab keagamaan di dalamnya. Fasilitas asrama, pemberian Beasiswa dan biaya operasional Madrasah tentunya disediakan oleh penguasa.  Dana wakaf terkumpul mencapai 15. 000 dinar pertahun. Jumlah yang telah mencukupi untuk menutupi semua kebutuhan operasional Madrasah dalam setahun[25].
Selanjutnya, pola dasar pembangunan Nizamiyah menurut Charles Michael Staton, Madrasah ini terpisah dari bangunan masjid[26]. Berarti pendidikan tinggi ini telah mengambil bentuk maju model universitas modern. Kegiatan pembelajaran disediakan khusus hampir mirip dengan bentuk klasikal.

4.     Ilmu pengetahuan yang berkembang zaman Kemunduran Abbasiyah
Perkembangan Ilmu Pengatahuan sejalan dengan perkembangan pendidikan. Bertambah jumlah lembaga pendidikan maka bertambah pula ilmu pengetahuan yang yang ada. Begitu pula sebaliknya bertambah sedikit lembaga pendidikan akan bertambah pula ilmu pengetahuan yang dihasilkan atau berkembang. Perkembangan lembaga pendidikan Islam adalah bagian yang mendasar untuk perkebangan ilmu pengetahuan. Sedangkan  dukungan semua pihak terutama penguasa terhadap pendidikan sangat menentukan kemajuan pendidikan Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengatahuan di era kemunduran Abbasiyah dari dua dinasti yang mempengaruhi Abbasiyah yaitu Dinasti Buaihi dan Seljuq dapat diuraikan sebagai berikut :
a.         Masa Dinasti Buaihi
Pada masa dinasti Buaihi perkembangan ilmu pengetahuan masih ter-integral (tidak terjadi dikotomis ilmu aqliah dan agama). Para penguasa Buaihi masih memberikan suppor untuk perkembangan ilmu pengetahuan aqliah dan agama, walaupun tidak sesemarak periode sebelumnya. di antara ilmu yang berkembang adalah; fisika, ilmu bintang (astronomi), matematika, ilmu Alam, Ilmu medis (kedokteran), dan ilmu Kimia. Untuk ilmu aqliah berkembang, fikih yang beorientasi aliran Syi’ah, dan teologi[27].

b.        Masa Dinasti Seljuq 
Masa Seljuq berkuasa ilmu pengetahuan berkembang hanya untuk ilmu-ilmu kegamaan saja dan sedikit ilmu Alam (nampaknya sudah mulai memasuki bentuk dikotomis ilmu pengetuhuan walaupun tidak sepenuhnya). Pengembangan ini karena adanya motivasi politik antara aliran Sunni dan Syi’ah.  Penggalakan aktivitas keilmuan melalui pendidikan sekelas Madrasah Nizamiyah adalah bentuk nyata dari pengaruh politik untuk mempertahankan keberlangsungan aliran sunni di kekuasaan Abbasiyah. Ilmu pengetahuan yang diajarakan di Madrasah Nizamiyah berorientasi ilmu keagamaan dan sedikit ilmu kealaman. Menurut Mahmud Yunus kurikulum (matapelajaran) yang diajarkan di Madrasah Nizamiyah adalah ; Al-Qur’an, Sastra Arab, Sejarah Nabawiyah, Fikih, Ushul Fikih dengan menitik beratkan pada mazhab Syafi’I dan teologi Asy-‘Ariyah[28].
Kemudian menurut Mahmud Yunus seperti; kajian-kajian Islam, Ilmu Hisab, Faraid, Penelitaian Tanah, Sejarah Sastra, Kesehatan, cara memelihara binatang, bercocok tanam, dan beberapa segi dari sejarah kealaman[29]. Samsul Nizar Menambahkan untuk komposisi kurikulum di Nizamiyah (masa dinasti Seljuq) sebagai berikut ; Tafsir, hadis, ilmu Kalam dan teologi[30]. Djamaludin Darwis menyebutkan dari al-Makdisi kompoisis kurikulum Nizamiyah ialah ; Al-Qur’an, Hadis, ‘Ulmu al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, Fiqih dan Ushul Fiqih[31]. Oleh Albert Hourani (Djamaludin Darwis) Madrasah ini didirikan mengajarkan al-Qur’an dan Hadis tetapi tujuan utamanya adalah pengajaran Fiqih.

C.Kesimpulan
Pendidikan Islam Zaman Kemunduran Islam (Akhir Abbasyah) mengalami statganitas dan menurun secara drastis, karena perhatian penguasa tidak banyak dicurahkan untuk pengembangan bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Perhatian penguasa banyak terfokus keranah politik, bagaimana mempertahankan kekuasaan. Tarik- menarik pengaruh kekuasaan di pusat pemerintahan Bagdad antara dinasti Seljuq dan Buaihi bisa dikatakan sebagai penyebabnya. atas pengaruh kedua dinasti yang mendominasi Abbasiyah, khalifah hanyalah sebagai symbol atau boneka yang tidak punya power atas kuasa kekuasaan yang diembannya sebaga seorang penguasa Abbasiyah.
Untuk pengembangan keilmuan di masa dinasti Seljuq dan Buaihi ini ilmu tidak banyak jumlah, di antara ilmuan yang terlahir di zaman ini adalah ; Abd al-Rahman Sufi, Ad-Dawlah, Al-Kafi dan Abu al Wafa’, Ibnu Sina, Jabir ibn Hayyan, Abu Raihan Muhammd al Baituni, Abu Hamid Muhammad ibn al-Ghazali, Abul Ma’ali al-Juwaini. sedangkan lembaga pendidikan yang ada diantaranya ; Perpustakan, Madrasah Nizamiyah dan Istana di zaman Buaihi.
Ilmu pengetahuan yang berkembang adalah ; fisika, ilmu bintang (astronomi), matematika, ilmu Alam, Ilmu medis (kedokteran), Penelitaian Tanah, Sejarah Sastra, cara memelihara binatang, bercocok tanam, dan beberapa segi dari sejarah kealaman dan ilmu Kimia. Untuk ilmu aqliah berkembang, fikih, ushul fikih yang beorientasi aliran Syi’ah, dan teologi, tafsir al-Qur’an, ‘Ulumu al-Qur’an, Hadis, Tasauf, Sastra Arab, Sejarah Nabawiyah, kajian-kajian Islam, Ilmu Hisab, Faraid, dan ilmu kalam.
 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amin, Samsul Munir, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009

Darwis, Djamaludin, Dinamika Pendidikan Islam sejarah, Ragam dan Kelembagaan. Semarang : RaSAIL, 2010, Cet. 2

Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Terj; Khoirul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet.3

Maryam, Siti dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III

Nata, Abuddin, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensklipedia Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching, 2010, Edisi revisi

Staton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi  dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt


[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, h. 142
[2] Siti Maryam, dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III, h. 113
[3] Ibid,h. 109
[4]Ibid
[5] Ibid
[6] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, 132-134

[7] Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Terj; Khoirul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet.3, h. 362
[8] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensklipedia Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching, 2010, Edisi revisi, h. 3
[9] Ibid
[10]Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h. 226
[11] Ibid, h. 227
[12] Ibid
[13] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi  dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994, h. 45 
[14] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 139-140
[15] Ibid,h. 140
[16] Ahmad syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt, h. 241-242
[17] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003,h. 190
[18] Ibid
[19] Ibid,h.191
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid                                                                     
[23] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,Op.cit, h. 142
[24] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 241
[25] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,Op.cit, h. 143
[26] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Op.cit,h. 47
[27] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,Op.cit, h. 132-133
[28] Ibid, h. 140
[29] Ibid
[30] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,Op.cit, h. 191
[31]Djamaludin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam sejarah, Ragam dan Kelembagaanh. Semarang : RaSAIL, 2010, Cet. 2, h.10

No comments: