A. Pendahuluan
Dinamika pendidikan Islam sedang menghadapi arus zaman yang semakin
kompleks, dan dinamis. Arus gelombang zaman yang datang dapat menggulung siapa
saja yang tidak bisa bertahan dan beradaptasi dengan baik. Bertahan dan
beradaptasi menjadi sebuah keharusan dilakukan lembaga pendidikan Islam demi
menjaga nilai-nilai normative sebagai landasan etik pendidikan Islam
yang khas, di samping beradaptasi membuka diri terhadap perubahan yang datang,
dengan mengambil secara selektif apa saja yang terbaik dan digunakan untuk
memajukan dunia pendidikan Islam.
Sejak masa pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam di
dunia Islam telah sukses dengan baik berkonstribusi terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan manusia. Dengan demikian, pendidikan Islam hanya
tinggal menjemput ‘cerita kesuksesan’ tersebut dan mewujudkan kembali di zaman
ini dengan semangat yang progressif. Sebuah ungkapan inspiratif
mengemukakan bahwa “sejarah pasti akan berulang”. Terwujudnya kembali sebuah
sejarah tidaklah mustahil, apabila semua syarat-syarat sejarah di masa lalu itu
sudah terpenuhi dengan baik. Jadi bukan tidak mungkin Pendidikan Islam akan
kembali berjaya dengan memberikan konstribusi besar untuk zamannya. Kita pernah
mendengar pendidikan Islam seperti Kuttab, Rumah Ulama, Perpustakaan,
Observatorium, Bait al-Hikmah sebagai pustaka sekaligus tempat pengembagan ilmu
pengetahuan dan Madrasah Nizamiyah.
Semua lembaga pendidikan Islam tersebut berkelindan dengan zamannya dan
memberikan sumbangsih yang besar untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan kemajuan
ummat manusia hingga hari ini. Walaupun ‘kembang api’ kemajuan tidak lagi
digerakkan Islam dan peradabannya, namun percikan itulah yang telah memberikan
inspirasi kemajuan dunia Barat melalui transformasi ilmu pengetahuan dari
peradaban Spanyol Islam dan kepulauan Sisilia Italia.
Pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang saat ini tentu siap saja
menjadi lokomotif penggerak ilmu pengetahuan Islam, salah satunya Madrasah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam sudah sangat familiar dalam kosakata
sejarah pendidikan Islam, di antaranya Madrasah Nizamiyah di Bagdad. Melalui
Madrasah Nizamiyah lahir tokoh ilmuan Islam serba bisa seperti Imam al-Ghazali
(w.1111), melalui lembaga tersebut bertambah teguhlah faham Islam sunni di
dunia Islam dan menjadi model institusi pendidikan tinggi di dunia Barat.
Menjadi harapan bersama tentunya, supaya Madrasah yang serupa kembali
menjajalkan sejarahnya yang indah di bumi Indonesia ini.
Membicarakan Madrasah di Indonesia tentunya tak luput dari harapan di
atas, walaupun belum sepenuhnya terwujud namun, usaha ke arah itu tentu saja telah dilakukan hingga hari ini.
Makalah ini terbagi kepada tiga bagian yaitu: bagian pendahuluan, bagian
pembahasan; bagian ini, pembahasan akan difokuskan pada; Pengertian Madrasah,
Perkembangan Madrasah di Indonsia,
Tokoh Pendiri Madrasah di Indonesia, Fasilitas dan Metode Pendidikan di
Madrasah, bagian Kesimpulan dan soal-soal latihan.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Madrasah dan sejarah Madrasah di dunia Islam
Kata ‘madrasah’ berasal dari kosakata bahasa Arab, darasa,
yadrusu, darsan, Madrasah, yang berarti tempat belajar. Madrasah selanjutnya
menjadi lembaga pendidikan umum bercirikan khas keagamaan, sudah masuk sebagai
bagian dari Sistem Pendidikan Nasional yang pengelolaannya berada di bawah
Kementerian Agama Republik Indonesia[1].
Sebagaimana sejarah berdirinya Pesantren dan Madrasah juga berkembang di
Indonesia dari bentuknya yang sederhana, yaitu pengajian di masjid-masjid,
langgar, dan surau. Berawal dari bentuknya yang sederhana ini berkembang
menjadi Pesantren. persinggungan dengan sistem madrasi, model pendidikan
Islam mengenal pola pendidikan Madrasah yang klasikal. Madrasah ini pada
mulanya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Dalam perkembangan
selajutnya, sebagian Madrasah diberikan mata pelajaran umum, dan sebagian
lainnya tetap mengkhususkan diri pada pengajaran ilmu-ilmu agama dan bahasa
Arab. Pada tahap perkembangan selanjutnya Madrasah yang mencukupkan diri untuk
pengajaran bahasa ilmu-ilmu agama dan Arab disebut madrasah Diniyah[2],
sedangkan Madrasah yang telah mengintegrasikan mata pelajaran ilmu-ilmu agama
dan umum disebut Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah. Madrasah Tsanwiyah
dan ‘Aliyah ini di samping dikelola oleh pemerintah juga dikelola
masyarakat.
Secara historis munculnya Madrasah di dunia Islam sudah mulai sejak
zaman dinasti Abbasiyah di Bagdad. Sebagaimana yang diungkapkan Abuddin Nata
bahwa Madrasah di masa klasik dapat disebut lembaga pendidikan keagamaan
menengah dan agak tinggi yang secara khusus mengajarkan ilmu-ilmu agama yang
beradasarkan paham atau aliran tertentu (sunni)[3].
Untuk menyebarkan faham keagamaan sunni di masa Abbasiyah maka mendorong
pertumbuhan Madrasah secara terorganisir dan terlembagakan. Sebelum adanya
Madrasah, pusat transmisi pengetahuan dilangsungkan di seputar masjid dan rumah
guru dalam bentuk; halaqah, majlis al-tadris, dan kuttab[4].
Menurut sejarawan Taqi al-Din al-Fasi al-Makki al-Maliki (775-832
H/1373-1428 M), selain Madrasah Nizamiyah di Bagdad, Madrasah pertama di Makkah
adalah Madrasah al-Ursufiyah yang dirikan pada 571H/1175 M oleh ‘Afif Allah Muhammad
al-Ursufi (w.595 H/1196 M) di dekat Pintu Umrah, bagian selatan Masjid
al-Haram. Sedangkan di Madinah, jumlah Madrasah tidak sebanyak di Makkah.
Al-Fasi mengungkapkan bahwa Sultan Ghiyats al-Din (A’zham Syah dari Bengal)
mendirikan sebuah Madrasah di Madinah yang dibangun hampir bersamaan dengan
Madrasah Makkah, yang terletak di dekat kawasan Bab al- Salam, Masjid Nabawi.
Al-Sakhawi juga menyebutkan beberapa Madrasah lain di Madinah, yakni Madrasah
Qa’it Bey, al-Basithiyah, al-Zamaniyah, al-Sanjariyah, al-Syahabiyah, dan
al-Mazhariyah[5].
Keterkaitan pertumbuhan dan perkembangan Madrasah di dunia Islam (Timur
Tengah) dengan di Indonesia bisa dilihat dengan banyaknya petualang intelektual
Indonesia di masa lalu menuntut ilmu ke Timur Tengah, dengan pengalaman mereka
belajar di sana setelah sekembalinya ke Indonesia mereka mendirikan lembaga
yang serupa untuk mengajar Islam ke masyarakat di mana mereka tinggal. Selain itu, menurut Martin van Bruinessen
(dalam Mastuki, M.Ishom el-Saha) menjelaskan, pada tahun 1874 seorang wanita
India bernama Shaulah al-Nisa membiayai pembangunan sebuah Madrasah di Makkah
dan mewakafkan tanah untuk memeliharanya. Madrasah itu diberi nama
Shaulatiyyah. Madrasah ini menjadi bagian gerakan reformis pendidikan Islam di
India. Madrasah ini dianggap modern karena adanya kelas, mata pelajaran tetap
dan ujian reguler. Pada Madrasah ini
lebih 100 orang Indonesia yang belajar, di samping, orang-orang Indonesia
mempuyai Madrasah sendiri yang bernama Dar al-‘Ulum al Diniyah, setelah terjadi
konflik penggunaan bahasa Indonesia di Madrasah Shaulatiyah. Muhsin al-Musawwa,
seorang sayyid kelahiran Palembang, yang menjadi Rektor yang pertama[6].
Dari pengalaman pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah tentunya
tidak sulit untuk melacak dari mana asal usul pendidikan madrasah di Indonesia
kemudian.
2. Perkembangan
Madrasah di Indonsia
Selain pengalaman belajar orang Indonesia di Timur Tengah dalam
mengelola pendidikan Madrasah di Indonesia, juga sebagai respon, bahkan upaya
tandingan terhadap pendidikan modern yang diselenggarakan pemerintah kolonial
Belanda dalam bidang pendidikan dan lainnya sangat diskriminatif[7].
Belanda hanya memberikan pendidikan yang bermutu kepada bangasanya, dan
sebagian kecil untuk orang Indonesia yang menjadi kaki tangannya. Madrasah
lahir di Indonesia selain respon spontan juga sebagai upaya untuk memberikan
pendidikan yang unggul kepada ummat Islam pada khususnya, dan bangsa Indonesia
umumnya. Hal ini, misalnya dapat dilihat pada Madrasah Adabiyah School yang
didirikan oleh Abdullah Ahmad pada 1897 di Padang Sumatera Barat. Sebagai
pendidikan umum, selain diajarkan ilmu
agama Islam, di Madrasah Adabiyah School diajarkan ilmu-ilmu umum seperti
matematika, ilmu bumi. bahasa Belanda, bahasa Arab, dan berbagai keterampilan
lainnya[8].
Selanjutnya Madras School yang didirikan di Sungayang,
Batusangkar pada tahun 1910, tiga tahun berikutnya terpaksa ditutup karena
kekurangan tempat. Namun kemudian Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School
sebagai kelanjutan Madras School tahun 1918. Madrasah lain yang telah
muncul sebelum kemerdekaan antara lain; Madrasah Muhammadiyah yang berdiri di
Yogyakarta tahun 1918, Arabiyah School di Ladang Laweh tahun 1981,
Sumatera Thawalib tahun 1921 di Padang Panjang, Madrasah Diniyah Putri tahun
1923 di Padang Panjang, Madrasah Salafiyah tahun 1916 di Tebuireng Jombang-Jawa
Timur[9].
Setelah kemerdekaan Indonesia 1945, dinamika pendidikan Islam di Negara
yang baru terbentuk mengalami dinamika yang cukup berarti, terlebih setelah
terbetuknya Kementrian Agama yang mulai resmi berdiri Januari 1946. Di mana lembaga pemerintahan
ini memperjuangkan pendidikan Islam secara politis, dengan dibentuknya suatu
bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan Agama[10].
Pada tanggal 27 Desember 1945 Badan Pekerja Komite Nasinal Pusat (BPKNP)
mendorong untuk memberikan bantuan kepada madrasah negeri maupun swasta.
Sebagaimana yang disebutkan dalam klausal BPKNP bahwa Madrasah dan Pesantren
pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat
jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah
pula mendapatkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntutan dan bantuan dari
pemerintah[11].
Pendidikan Madrasah dilembagakan sebagai model pendidikan nasional,
pemerintah melalui Kementrian Agama menetapkan sistem pendidikan madrasah
kepada tiga tingkatan, yaitu;
a. Madrasah
Ibtidaiyah, lama studinya 6 tahun,
b. Madrasah
Tsanawiyah Pertama, lama studinya 4 tahun,
c. Madrasah
Tsanawiyah Atas, lama studinya 4 tahun.
Perkembangan Madrasah yang cukup penting terjadi pada masa Orde Baru
dengan didirikannya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam
Negeri (PHIN). Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk mencetak tenaga
professional yang siap mengembangkan Madrasah sekaligus ahli dalam bidang
keagamaan[12].
Pada tahun 1982 keluar Surat Keputusan (SKB) 3 Menteri yang menetapkan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam
sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30 % di samping
mata pelajaran umum. Sementara Madrasah mencakup tiga tingkatan, yaitu;
a. Madrasah
Ibtidaiyah, setingkat Sekolah Dasar (SD)
b. Madrasah
Tsanawiyah, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
c. Madrasah
Aliyah, setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)
SKB tiga Mentri di atas juga bagian langkah strategis untuk menyetarakan
pendidikan Madrasah dengan pendidikan umum lainnya. Ditambah dengan keluarnya
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, telah menunjukan
perkembangan yang luar biasa di mana pendidikan Madrasah sepenuhnya telah
menjadi bagian integral sistem pendidikan Nasional Indonesia. Semua hak dan
kewajiban secara penuh telah dimiliki Madrasah dengan pendidikan umum lainnya.
Dengan pengakuan tersebut,
memberikan keleluasaan kepada Madrasah untuk menciptakan pendidikan yang
berkualitas, dinamis dan kreatif. Kerinduan kepada cita-cita kebangkitan dunia
Islam melalui institusi madrasah telah menguatkan harapan bersama, bahwa
panggung sejarah telah terbuka lebar kepada umat Islam untuk menjejalkan
kembali kejayaan peradaban Islam melalui lembaga pendidikan Islam madrasah.
Salah satu syarat akan berjayanya kembali peradaban Islam hari ini telah dalam
genggaman, tergantung apakah umat Islam mampu melihat peluang yang ada serta
memanfaatkannya dengan menyatukan tekad dan membulatkan semangat bekerjasama
sekaligus sama-sama bekerja, bahu membahu mewujudkan tamaddun islamiyah.
3. Tokoh
pendiri Madrasah di Indonesia
Pendidikan Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan yang tertua di
dunia dan di Indonesia. Madrasah telah dikenal langsung oleh orang Indonesia di
tempatnya muncul di Timur Tengah. Dengan pengalaman mereka dapatkan selama
pendidikan di Timur Tengah memberikan pengaruh kuat kepada dinamika
perkembangan pendidikan Madrasah di Indonesia.
Di Indonesia Madrasah telah muncul jauh sebelum kemerdekaan Negera
Republika Indonesia. Kemunculan Madrasah didorong oleh kebutuhan yang mendesak
untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada penduduk pribumi Indonesia.
Tokoh pembaharu pendidikan Islam di Indonesia sebelum kemerdekaan telah
berupaya sekuat kemampuan mereka membangun Madrasah di daerahnya masing-masing.
Adapun tokoh pendiri madrasah di Indonesia antara lain:
a. Syaikh
Abdullah Ahmad tahun 1907 di Padang Panjang mendirikan Adabiyah School
namun belum genap setahun gagal berkembang dan pindah ke Padang. Pada tahun
1915 madrasah Adabiyah mendapat pengakuan dari Belanda dan berubah menjadi Holland
Inlandsche School (HIS)[13].
b. Syaikh Thaib
Umar tahun 1910 mendirikan Sekolah Agama (Madras School) di Sungayang
Batu Sangkar. Tahun 1913 ditutup, namun pada tahun 1918 didirikan kembali oleh
Mahmud Yunus[14].
c. Zainuddin
Labai El Yunusy mendirikan Diniyah School atau Madrasah Diniyah pada
tanggal 10 Oktober 1915 di Padang Panjang[15].
d. KH. Ahmad Dahlan
mendirikan Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1918[16].
Sampai hari ini jumlah Madrasah Muhammadiyah yang ada di Indonesia untuk
tingkat Tsanawiyah sebanyak 535 buah, Madrasah Aliyah sebanyak 172 buah[17].
e. Syaikh Abbas
pada tahun 1918 mendirikan Arabiyah School di Ladang Lawas[18].
f.
Syaikh Abdul Karim Amrullah pada tahun 1921
mendirikan Madrasah Sumatera Thawalib di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Padang
Japang, Sungayang, Batu Sangkar dan
Maninjau[19].
g. Rangkayo Rahmah El Yunusia pada tahun 1923
mendirikan Diniyah Putri pertama untuk Indonesia di Padang Panjang[20].
h. KH. Hasyim
Asy’ari pada tahun 1916 mendirikan Madrasah Tebu Ireng, Jombang-Jawa Timur[21].
Tokoh di atas adalah pioner pendirian Madrasah di Indonesia, dengan
jasa-jasa yang mereka lakukan itu, telah menempatkan mereka dalam landscap
pahlawan Pendidikan Nasional Indonesia.
4. Fasilitas
dan Metode pendidikan di Madrasah
a. Fasilitas
Madrasah
Pendidikan Madrasah muncul sebagai tanggapan muslim Indonesia di
pendudukan bangsa Belanda, di mana tipologi Madrasah sebenarnya mengikuti pola
sekolah Balanda yang ada, yang kemudian dimasukan mata pelajaran agama Islam.
Sebagaimana usaha yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan untuk menawarkan pengajaran
agama Islam di sekolah Belanda secara door to door. Menarik untuk
dilihat ketika sistem pendidikan Belanda yang meniadakan pelajaran agama di
sekolah, para guru Belanda menilai pengajaran agama di sekolah suatu yang
menggelikan karena bagi mereka agama bukanlah suatu kebutuhan bagi perkembangan
peserta didiknya. Agama cukup urusan pribadi atau tanpa agama sekalipun, itu
sudah hal yang biasa di negeri mereka Belanda.
KH. Ahmad Dahlan berhasil dengan baik menarik minat peserta didik
sekolah Belanda untuk mengikuti pelajaran Agama Islam di sekolahnya. Dalam pada
itu, KH. Dahlan mendirikan sendiri Madrasah Muhammadiyah 1918 di Yoyakarta
untuk menarik minat penduduk di kalangan Islam Priyayi dan Abangan
di Kota Yogyakarta. Trend pendidikan ala Belanda bagi mereka
(Priyayi dan Abangan) menjadi sebuah gengsi tersendiri bila bisa masuk dan
belajar di dalamnya. Oleh karena itu, KH. Dahlan mendirikan sekolah model
Belanda dengan mengajarkan ilmu-ilmu Islam di samping pelajaran umum. Dari
model sekolah Belanda dengan memasukan pelajaran Agama Islam itu, maka
disebutlah sebagai Madrasah. Sebenarnya Madrasah yang didirikan di Indonesia
sebelum kemerdekaan ialah prototype pendidikan Belanda dengan segala
sistemnya. Mulai sistem managemen serta pendekatan pembelajaran yang klasikal.
Bedanya hanya satu, yakni madrasah sudah ‘diislamkan’ dengan masuknya muatan
pembelajaran agama Islam di dalamnya.
Jadi, kalau dilihat fasilitas yang dimiliki Madrasah tentu tidak jauh
beda dengan sekolah Belanda, atau mungkin jauh kalah gagah bangunannya dari sekolah
Belanda. Jika dibandingkan dengan pesantren yang memiliki fasilitas-fasilitas
tertentu mulai yang sederhana hingga yang sangat mapan, misalnya; ada rumah
kiyai, masjid, asrama, sekolah, kantin dan sebagainya, sedangkan madrasah hanya memiliki gedung
belajar dan sebuah ruang musalla atau masjid untuk kegiatan ibadah. Kemudian
para tenaga pendidik tidak mempunyai tempat penginapan di madrasah itu, tetapi
mereka pulang ke rumah masing-masing, sebagaimana juga halnya para peserta
didiknya. Untuk menambah pelajaran agama lanjutan biasa dilaksanakan pada
pengajian-pengajian di langgar, masjid, surau dan muenasah di dekat tempat tinggal peserta didik berada.
Atau sekaligus para guru Madrasah menyediakan waktu di sore hingga malam
memberikan tambahan pelajaran agama di rumahnya atau di tempat-tempat yang
biasa dilaksanakan pengajian seperti mushalla, masjid, langgar, surau atau
sebagainya.
Atau ada juga di antara peserta didik yang belajar penuh waktu, di nama
di siang hingga zuhur belajar di madrasah dan pada waktu zuhur setelah
istirahat pergi mondok ke Pesantren terdekat di kampungnya hingga sore atau
malam. Kegiatan seperti itu, sudah biasa dilakukan oleh sebagian peserta didik
di masa lalu, sampai hari ini pun di tempat-tempat tertentu di Jawa atau di luar
pulau Jawa masih eksis dilakukan.
b. Metode
Pendidikan di Madrasah
Madrasah yang didirikan di Jawa atau di luar Sumatera, tepatnya di Ranah
Minang yang terbanyak munculnya pendidikan Madrasah adalah fotokopi pendidikan
Belanda, namun tentu saja dibedakan dengan hadirnya ilmu-ilmu keislaman di
dalamnya. Selain itu, semuanya hampir sama, seperti proses pembelajaran yang
dilaksanakan di kelas, meja dan bangku, papan tulis, jumlah peserta didik
perkelas terbatas hanya untuk beberapa peserta didik saja, sistem naik kelas,
dan ujian yang dilaksanakan secara reguler.
Merujuk kepada metode yang digunakan untuk pendidikan sistem klasikal
akan ditemui metode yang beragam. Tentu berbeda dengan metode pendidikan di
Madrasah banyak digunakan metode yang beragam serta bervariasi, seperti;
ceramah, tanya jawab, diskusi, rihlah ilmiyah, studi banding, metode seminar,
demostrasi, role playing, dan masih banyak metode lainya.
Di dalam pendidikan Islam kemudian dikembangkan juga, metode seperti; tarhib
wa taghib, metode kisah, metode uswah dan sebagainya.
Jadi, konteks Madrasah sesungguh memiliki perbedaan yang mendasar
dibanding metode Pesantren. Akan tetapi perkembangan Madrasah hari ini telah
mengalami perkembangan yang cukup berarti di mana integrasi sistem Madrasah dan Pondok Pesantren digabungkan
sekaligus sehingga munculah sekolah-sekolah seperti Pondok Modern, sekolah
Islam terpadu dan sebagainya. Di satu sisi sekolah tersebut menggunakan sistem
klasikal dengan metode modern tetapi
juga melaksanakan kegiatan ala pesantren dengan menggunakan metode sorrogan,
wetonan dan sebagainya, di samping sekolah tersebut menggunakan fasilitas
ala pesantren seperti memiliki rumah kiyai, asrama penginapan, masjid dan
sebagainya.
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Madrasah adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang memberikan porsi
pendidikan Islam dan ilmu-ilmu umum secara berimbang, proses pendidikan
dilaksanakan secara klasikal. Selanjutnya keberadaan madrasah di Indonesia
sepenuh telah diakui serta menjadi bagian Lembaga Pendidikan Nasional yang
pengelolaanya berada di bawah Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI).
Perkembangan Madrasah di dunia Islam telah ada semenjak zaman Dinasti Abbasiyah
di Bagdad, kemudian berkembang di dunia Islam lainnya termasuk di Indonesia.
Perkembangan Madrasah di Indonesia dibawa
oleh para pelajar yang pulang dari Timur Tengah, dengan pengalaman belajar di
sana setelah kembali ke tanah air mereka terinspirasi mendirikan lembaga pendidikan
yang sama untuk memberikan pendidikan yang lebih modern. Di samping itu
Madrasah berdiri di Indonesia sebagai respon spontan orang-orang terpelajar
Indonesia terhadap pendidikan Belanda yang hanya memberikan kesempatan
pendidikan yang berkualitas kepada bangsa Belanda serta anak-anak kaki tangan
Belanda saja.
Sistem pendidikan Madrasah sepenuhnya
mengikuti pola sekolah Belanda yang memakai sistem klasikal, namun kemudian
diberikan sebuah ciri khas pendidikan Islam dengan memasukan pengajaran ilmu-ilmu
keagamaan di dalamnya.
Madrasah sebagaimana Pesantren sangat
terkenal sebagai pendidikan khas Jawa, sedangkan Madrasah pada konteks lahirnya
lebih khas Ranah Minang Kabau Sumatera Barat. Lembaga pendidikan Madrasah
seperti cendawan tumbuh di musim hujan di Sumatera Barat, seperti di Padang
Panjang, Bukit Tinggi, Sungayang Batu Sangkar dan sebagainya. Akan tetapi
Madrasah telah pula didirikan di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan dan KH.
Hasyim Asy’ari di Jawa Timur. Kemudian tokoh pendiri Madrasah lainnya seperti;
Syaikh Thaib Umar Zainuddin Labai El Yunusy Syaikh Abbas, Syaikh Abdul Karim
Amrullah, dan Rangkayo Rahmah El Yunusiah.
Fasilitas dan metode pendidikan yang
digunakan di Madrasah tidak jauh berbeda dengan sekolah belanda yang memiliki
gedung belajar, tempat ibadah seperti mushalla atau masjid, sistem pembelajaran
di madrasah dilakukan secara klasikal. Sedangkan metode pembelajaran
menggunakan metode modern seperti; diskusi, Tanya jawab, seminar, demonstrasi,
role playing dan sebagainnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen Agama RI Direktorat Jendral
Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah, Jakarta:
Depag RI, 2003
Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual
Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren,
Jakarta: Diva Pustaka, 2003
Nata, Abuddin, Sejarah Sosial
Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2012
Nizar, Samsul, sejarah Pendidikan Islam
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2007
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2012
Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam
di Indonesia Abad 20 Pergumulan Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012
[1]
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya,
( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 298
[2] Departemen
Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan
Madrah Diniyah, (Jakarta: Depag RI,
2003), h. 21-22
[4] Mastuki,
M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala
Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2003),
Seri I, h. 3-4
[9] Samsul
Nizar, sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 292-293
[13] Samsul
Nizar, sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, Op.Cit, h. 292
[17] Arief
Subhan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20 Pergumulan Modernisasi
dan Identitas, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) h. 144
[18] Samsul
Nizar, sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia, Op.Cit, h. 293
No comments:
Post a Comment