16/12/2016

PENDIDIKAN MASA BANI UMAWIYAH



A. Pendahuluan
           
Pendidikan Islam setelah pindah ke Madinah terus mengalami perkembangan dan kemajuan dengan bertambahnya kuan­titas peserta didik, tempat pendidikan, jumlah tenaga pendidik, pertambahan materi-materi ajar dan metode-metode pendidikan yang digunakan. Perkembangan yang signifikan terjadi pada masa Bani Umawiyah (661-743 M) berkuasa selama 90 tahun[1], bisa disebut periode I kemudian periode II mulai tahun (711-1492 M) di Andalusia (Spanyol) yang secara alamiah melanjutkan per­kem­­bangan pendidikan pada masa Khulafa –ar-Rasyidin.
Para pengembang awal pendidikan Islam masa Umawiyah adalah mereka yang masih hidup pada masa Umawiyah berkuasa. Semangat pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan lahir dari rahim ulama yang mempelajari al-Qur’an al-Karim. Dorongan untuk mencari ilmu dan menelaah alam, dalam bahasa wahyu pertama Iqra’ (bacalah). Membaca bisa dalam artian rangkaian huruf-huruf yang dikenal semua peradaban manusia, atau membaca tanda-tanda alam (ayat-ayat). Pendeknya membaca yang tersurat dan yang tersirat.
Lompatan perkembangan ilmu pengetahuan melalui proses pendidikan yang dilakukan para ulama baik dengan dukungan penguasa atau tidak telah melahirkan ilmu-ilmu baru di bidang eksak, sastra, filsafat maupun keagaman. Seiring perkem­bangan ilmu pengetahuan, maka lembaga pendidikan Islam juga ikut berkembang.
Dalam bab ini menyajikan topic: Perkembangan Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah, Tokoh-tokoh Ilmuan dan Konstribusi­nya dalam Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah, Lembaga Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah, Klasifikasi Ilmu Pengetahuan yang Berkembang Masa Bani Umawiyah, Kesimpulan dan Soal-soal Latihan.

B.   Pembahasan
1.    Perkembangan Pendidikan Islam Masa Umawiyah
Pada masa Daulah (Dinasti) Bani Umayyah pendidikan Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan, namun bersifat desentralisasi dan tidak memiliki standar umur. Kajian keilmuan pada periode ini berpusat di Damaskus, Kuffah, Makah, Madinah, Mesir, Cordova, Damsyik, Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir)[2]. Adapun aspek-aspek kemajuan pendidikan Islam yang mengalami peningkatan signifikan yang disorot dalam bab ini dalam bidang kurikulum dan metode pendidikan, diantaranya dapat diuraikan pada pembahasan berikut:
a.         Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Bani Umawiyah
Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam meng­gunakan kata Al-Maddah untuk pengertian kuri­kulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu[3].
Seiring perjalanan waktu pengertian kurikulum mulai ber­kembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi[4]. Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa bani Umawiyah:
1)        Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk tingkat penghabisan, kecuali Al-Qur’an yang terdapat pada kurikulum. Kedua, kesukaran antara mem­beda­kan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan. Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di Kuttab dan berakhir di diskusi halaqah (melingkar). Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di lembaga Kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping Al-Quran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.
2)        Kurikulum Pendidikan Tinggi
Perguruan tinggi Islam yang ada bukan berarti seperti yang dibayangkan hari ini, namun subtansinya kajian-kajian keilmuan yang dipelajari dilakukan oleh seorang peserta didik dan dosen/pendidik lebih mendalam. Kalau kita hubungkan tingkat keseriusan para pencari ilmu dari tingkat lain dibawahnya, maka pada tingkat perguruan tinggi waktu itu lebih giat menggali ilmu-ilmu yang ada. Para ilmuan telah terbiasa menggunakan metode eksprimen, observasi, trial and error dan berfikir analitik untuk ilmu filsafat dan metafisika.
Berbicara kurikulum pendidikan tinggi yang ada waktu itu, ragamnya sangat bervariasi tergantung kepada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga pendidik/dosen tidak mewajib­kan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu[5].
Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah pendidikan tinggi dan berpindah dari sebuah pendidikan tinggi ke pendidikan tinggi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-Quran dan agama. Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan yaitu, jurusan ilmu-ilmu agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum al-aqliyah)[6].

b.        Metode-metode Pendidikan Islam pada Masa Bani Umawiyah
Pendidikan Islam di masa Dinasti Umawiyah tampaknya masih didominasi oleh metode bayani, terutama selama abad I H di mana pendidikan bertumpu dan bersumber pada nash-nash agama yang kala itu terdiri atas Al-Qur’an, sunnah, ijmak, dan fatwa sahabat. Metode bayani dalam pendidikan Islam kala itu lebih bersifat ekspla­natif, yaitu sekedar menjelaskan ajaran-ajaran agama saja karena tingkat perkembangan ilmu-ilmu aqliah belum menjadi prioritas.
Secara khusus, metode ceramah dan demonstrasilah yang banyak digunakan dalam institusi-institusi pendidikan yang ada di zaman itu, baru pada masa-masa akhir pemerintahan Umawiyah metode burhani mulai berkembang di dunia Islam, seiring dengan giatnya penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab[7].
Metode burhani /Tahlili (analitik) adalah metode yang telah dipakai pada zaman Aritoteles (lahir 384 SM) dengan pendekatan silogisme yang memakai istilah preposisi-preposisi[8]. Metode burhani diperkenalkan pertama kali oleh Al Kindi (801-873 M). Selanjutnya metode tersebut mencapai puncaknya ketika berada ditangan Ar-Rozi (865-925 M) dan Al- Farabi (872-950 M)[9] pada masa Bani Abbasiyah (tahun 132-656 H/750-1258 M)[10]
Selain metode burhani, metode karya wisata (rihlah ilmiyah) dan penugasan sangat berkembang masa ini. Para ilmuan berlomba-lomba pergi ke wilayah yang pernah dinaungi peradaban Yunani untuk mendapat buku-buku klasik kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab[11].
Metode pendidikan Islam di bidang kajian keagamaan masih menggunakan metode kisah, amtsal, hukuman, pembiasaan, keteladan, diskusi, halaqah, ganjaran, dan tanya jawab. Penggunaan metode tersebut karena materi-materi keislaman sarat dengan hukum praktis untuk kehidupan sehari-hari.
2.        Tokoh-tokoh Ilmuan dan Kontribusinya dalam Pendidikan Islam Masa Umawiyah.
Banyak tokoh–tokoh ilmuan yang telah memberikan sumbangsih terhadap pendidikan Islam masa dinasti Umawiyah. Berkembangnya pendidikan Islam bukan dalam artian pembaharuan lembaga-lembaga, metode dan materi seperti pembaharuan pendidikan dunia modern yang kita kenal dewasa ini, namun lebih bersifat pembaharuan yang berkonotasi integrasi ilmu umum dan Islam seperti yang pernah dilakukan Muhammad Abduh (lahir1849 M), dengan memasukkan mata pelajaran berhitung, aljabar, sejarah Islam, bahasa dan sastra, dan prinsip-prinsip geometri dan geografi ke dalam kurikulum al-Azhar. Dari segi metode perkuliahan yang bertele-tele yang dikenal dengan nama Syarah al-Hawasyi, diusahakan dihilangkan dan diganti dengan metode pengajaran yang sesuai dengan perkem­bangan zaman[12].
Perkembangan pendidikan Islam pada masa Umawiyah menanjak dari sebelumnya, yaitu dari yang belum ada menjadi ada; bukan memperbaiki yang telah ada, serta menyisipi yang telah ada. Perkembangan pendidikan Islam identik dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dimana ada ilmuan di sana dan pendidikan Islam. Walaupun yang menjadi ilmuan tersebut bukanlah orang muslim, tetapi semangat keilmuan didorong oleh dunia muslim yang bersumberkan al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw dan mereka berbakti dalam Tamaddun Islam di bawah pemerintahan Bani Umawiyah.
Perkembangan pendidikan Islam dan Ilmu pengetahuan yang terjadi secara integral. Bahwa pendidikan Islam bukan hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama namun juga ilmu-ilmu aqliah . Boleh jadi seorang ulama ahli tafsir juga ahli filsafat, atau menguasai ilmu-ilmu umum lainya. Bisa dikatakan ilmu pengetahuan tidak mengenal pemisahan ilmu agama dan umum. Dalam doktrin Islam sumber ilmu adalah satu yaitu Allah swt.  
Adapun Tokoh-Tokoh Pada Masa Bani Umayyah Periode I[13] terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing seperti dalam bidang tafsir, hadist, dan Fiqh. Selain para ulama juga ada ahli bahasa/sastra.
a.       Ulama-ulama tabi’in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas dengan memasukkan Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk agama Islam. Di antara mereka yang termasyhur: Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij
b.      Ulama-ulama Hadist yaitu: Abu Hurairah, ‘Aisyah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas ,Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik. Kitab bacaan satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadis-hadis belumlah dibukukan. Hadis-hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari mulut guru ke mulut muridnya, yaitu dari hafalan guru diberikannya kepada murid, sehingga menjdi hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah sahabat dan pelajar-pelajar ada yang mencatat hadist-hadist itu dalam buku catatannya, tetapi belumlah berupa buku menurut istillah kita sekarang. 
c.       Ahli bahasa/sastra: Seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal berbahasa arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab jahiliahpun muncul kembali sehingga bidang sastra arab mengalami kemajuan. Di zaman ini muncul penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah ,Jamil al-uzri ,Qys bin Mulawwah ,yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq, Jarir, dan Al Akhtal.
Berikut ini nama-nama ilmuwan beserta bidang keahlian yang berkembang di Andalusia masa dinasti Bani Umayyah II[14] :
No
Nama
Bidang Keahlian
Keterangan

Abu Ubaidah Muslim Ibn Ubaidah al Balansi
- Astrolog
- Ahli Hitung
- Ahli gerakan bintang-bintang
Dikenal sebagai Shahih al Qiblat karena banyak sekali mengerjakan penetuan arah shalat.

Abu al Qasim Abbas ibn Farnas
- Astronomi
- Kimia
Ilmi kimia, baik kimia murni maupun terapan adalah dasar bagi ilmu farmasi yang erat kaitannya dengan ilmu kedokteran. Farmasi dan ilmu kedokteran telah mendorong para ahli untuk menggali dan mengembangkan ilmu kimia dan ilmu tumbuh-tumbuhan untuk pengobatan.

Ahmad ibn Iyas al Qurthubi
Kedokteran
Hidup pada masa Khalifah Muhammad I ibn abd al rahman II Ausath
d.
Al Harrani


e.
Yahya ibn Ishaq

Hidup pada masa khalifah Badullah ibn Mundzir
f.
Abu Daud Sulaiman ibn Hassan

Hidup pada masa awal khalifah al Mu’ayyad
g.
Abu al Qasim al Zahrawi
- Dokter Bedah
- Perintis ilmu penyakit telinga
- Pelopor ilmu penyakit kulit
Di Barat dikenal dengan Abulcasis. Karyanya berjudul; al Tashrif li man ‘Ajaza ‘an al Ta’lif, dimana pada abad XII telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genoa (1497M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778 M) buku tersebut menjadi rujukan di universitas-universitas di Eropa.
h.
Abu Marwan Abd al Malik ibn Habib
- Ahli sejarah
- Penyair dan ahli nahwu sharaf
- wafat 238/852
- salah satu bukunya berjudul al Tarikh
i.
Yahya ibn Hakam
- Sejarah
- Penyair
-
k.
Muhammad ibn Musa al razi
- Sejarah
- wafat 273/886
- Menetap di Andalusia pada tahun 250/863
l.
Abu Bakar Muhammad ibn Umar
- Sejarah
- Dikenal dengan Ibn Quthiyah
- Wafat 367/977
- Bukunya berjudul Tarikh Iftitah al Andalus
m.
Uraib ibn Saad
- Sejarah
- Wafat 369/979
- Meringkas Tarikh al- thabari, menambahkan kepadanya tentang al Maghrib dan Andalusia, disamping memberi catatan indek terhadap buku tersebut.
n.
Hayyan Ibn Khallaf ibn Hayyan
- Sejarah & sastra
- Wafat 469/1076
- Karyanya : al Muqtabis fi Tarikh Rija al Andalus dan al Matin.
o.
Abu al Walid Abdullah ibn Muhammad ibn al faradli.
- Sejarah
- Penulis biografi
- Lahir di Cordova tahun 351/962 dan wafat 403/1013.
- Salah satu karyanya berjudul Tarikh Ulama’i al Andalus

Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab tidak terlepas daripada peran para ulama dan sastrawan, diantaranya adalah [15]:
a.       Ali al Qali. Ia adalah seorang tokoh besar pada zamannya. Ia dibesarkan dan menimba ilmu Hadits, bahasa, sastra, Nahwu dan sharaf dari ulama-ulama terkenal di Baghdad. Pada tahun tahun 330/941 al Nashir mengundang beliau untuk menetap di Cordova dan sejak saat itu Ali mengembangkan ilmu Islam sampai wafatnya (358/696). Dari sekian banyak karya tulisnya yang bernilai tinggi, diantaranya adalah al Amalî dan al Nawâdir.
b.      Ibn al Quthiyah Abu Bakar Muhammad Ibn Umar. Ia adalah seorang ahli bahasa Arab, Nahwu, penyair dan sastrawan. Ia menulis buku dengan judul al Af’âl dan Fa’alta wa Af’alât. Ia meninggal pada tahun 367/977.
c.       Al Zabidi. Ia adalah guru dari Ibn Quthiyah. Al Zabidy sudah mengembangkan bahasa dan sastra di Andalusia sebelum adanya Ali al Qali. Bukunya yang terkenal adalah Mukhtashar al ‘Ain dan Akhbar al Nahwiyyîn.âîû
d.      Said Ibn Jabir, ia juga merupakan salah satu guru dari Ibn Quthiyah.
e.       Muhammad ibn Abdillah ibn Misarrah al Bathini (269-319) dari Cordova dikenal sebagai orang pertama yang menekuni filsafat di Andalusia.
Berikut ini Bibliografi beberapa sastrawan Andalusia [16]:
a.    Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih. Lahir di Cordova 246/860. ia menekuni ilmu kedokteran dan musik, tetapi kecenderungannya lebih banyak kepada sastra dan sejarah. ia berhasil menggubah syari-syair pujian (madah) bagi empat khilafah Umawiyah, sehingga ia mendapat kedudukan terhormat di istana. Pada masa al Nashir ia menggubah 440 bait syair dengan menggunakan bahan acuan sejarah. Pada masa tuanya, Abu Amr menyesali kehidupan masa mudanya, kemudian ia berzuhud.
Oleh karenanya ia menggubah syair-syair zuhdiyyat yang ia himpun dalam al Mumhishât. Sebagian besar karya syairnya sudah hilang, sedangkan yang berupa prosa ia tuangkan dalam karyanya yang diberi nama al ‘Aqd al Fârid. Ia pada tahun 328/940 dalam keadaan lumpuh.
b.    Abu Amir Abdullah ibn Syuhaid. Lahir di Cordova pada tahun 382/992. Ia dikenal dekat dengan penguasa. Dengan keterlibatannya dengan kemelut politik, ia sering membuat syair-syair dalma rangka membesarkan atau menggulingkan seorang penguasa. Pada masa kekuasaan Hamudiyah penyair ini dipenjarakan dan menerima penghinaan serta penganiayaan yang berat. Ia dibebaskan dalam keadaan lumpuh sampai wafat pada tahun 427/1035. Karyanya dalam bentuk prosa adalah Risâlah al Tawâbi’ wa al Zawâbigh, Kasyf al Dakk wa Atsar al Syakk dan Hanut ‘Athar.
c.    Ibn Hazm. Lahir pada tahun 384/994) merupakan penyair sufi yang banyak menggubah puisi-puisi cinta.

3. Lembaga-lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti  Umayyah
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa Ar-Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Diantara tempat-tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah[17]:
a. Khuttab

b. Masjid
Pada Dinasti Umayyah, Masjid adalah tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan. Di antara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah. Pada periode ini juga didirikan Masjid di seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.

c. Majelis Sastra

d.    Pendidikan Istana
Pendidikan Istana yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak- anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid. Istana Khalifah sebagai Lembaga Pendidikan.
Pendidikan anak di istana  berbeda dengan pendidikan anak – anak di kuttab pada umumnya. Di istana, orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran dan tujuan yang dikehendaki oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana itu disebut mu’addib. Kata mu’addib berasal dari kata adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan. Guru pendidikan anak di istana di sebut mua’ddib karena berfungsi mendidikkan budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan orang – orang dahulu kepada anak-anak pejabat[18].
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupannya nanti.
Pendidikan di istana,  tidak hanya pengajaran tingkat rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah, masjid dan madrasah. Guru istana di namakan dengan muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak sebagaimana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan sebagai berikut: “Ajarkan kepada anak- anak itu berkata benar sebagaimana kau ajarkan al-Qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi, karena mereka amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-anak itu dari pemalu karena pemalu itu merusak mereka. Gunting rambut mereka supaya tebal kuduknya. Beri makan mereka dengan daging supaya kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka supaya mereka menjadi orang besar dan berani. Suruh mereka menyikat gigi dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan dengan bersuara, (seperti hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada mereka hendaklah dengan tertutup tiada di ketahui oleh seorang pun.[19]
Di atas adalah contoh dari rencana pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang dikemukakan oleh pembesar istana kepada pen­didik anak-anaknya agar dijadikan sebagai pedoman.
Adapun rencana pembelajaran di istana sebagai berikut[20]:                                         
1)  Al-Qur’an (kitabullah)
2)  Hadis-hadis yang termulia
3)  Syair – Syair yang terhormat 
4)  Riwayat hukamah
5)  Menulis membaca dan lain – lain
e.    Pendidikan Badiah
Yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.

f.          Perpustakaan
Al-Hakam Ibnu Nasir (350 H/961 M) mendirikan perpustakaan yang besar di Qurthubah (Codova). Perpustakaan ini tidak dipergunakan untuk membaca buku, tetapi disediakan juga ruangan untuk proses pembelajaran yang dibimbing oleh ulama sesuai bidang keahlian[21].
g.    Bimaristan (Rumah Sakit)
Rumah sakit di samping berfungsi untuk mengobati dan merawat orang sakit, tetapi juga berfungsi sebagai tempat mendidik calon tenaga medis dan perawat, dan juga untuk mempelajari ilmu kedokteran[22].
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut[23]:
a.   Madrasah Mekkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar di sana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
b.   Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
c.   Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
d.   Madrasah Kufah
Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud yang menjadi guru di Kufah Bahkan mereka pergi ke Madinah.
e.   Madrasah Damsyik (Syam)
Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan Imam penduduk Syam, yaitu, Abdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
f.    Madrasah Fistat (Mesir)
Sahabat yang pertamakali mendirikan madrasah dan menjadi guru dimesir adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau adalah seorang ahli hadis yang bukan saja menghafal hadis-hadis nabi tapi beliau juga menuliskannya dalam catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada muridnya. Guru berikutnya yang terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Diantara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said yang dikenal sebagai ulama’ yang mempunyai madzzhab tersendiri dalam bidang fiqih sebagaimana Al-Auza’i di Syam.  
g.   Madrasah Hasan Al-Bashri
Madrasah Hasan Al-Bashri menjadi lebih bermakna dalam sejarah peradaban karena perdebatan antara beliau dengan Washil ibn Atha tentang kedudukan pelaku dosa besar. Suatu ketika Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang dengan berkata: “ ya tuan, kahwarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah melakukan pelanggaran yang membuat yang bersangkutan keluar agama (kafir/murtad); sedangkan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena amal bukan sendi atau rukun iman; bagaimana menurut tuan? Hasan Al-Bashri berdiam sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika Hasan Al-Bashri bersiap-siap untuk memberikan jawaban, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya) menjawab: “menurutku ia bukan mukmin dan juga bukan kafir, tatapi berada diantara posisi mukmin dan kafir”. Setelah itu, Washil keluar dari Hasan Al-Bashri dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis dari aliran kalam yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah “Al Manzilah Bain Almanzilatain”, dan gelarnya adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa Qidimuha.          

4. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Bani Umawiyah
.   Perkembangan Ilmu Pengetahuan cukup signifikan, di samping melakukan ekspansi, pemerintahan dinasti umayyah juga menaruh perhatian dalam bidang pendidikan. Penguasa ikut memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama’ mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu. Diantara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah[24]:    
a.   Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses   pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn  Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
b.   Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
c.   Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, dan lain-lain.
d.  Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.
e.   Ilmu Hadits dan penulisanya
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan hadits, yang kemudian beliau memerintahkan kepada walikota Madinah Abu Bakar untuk menuliskannya, atas perintah khalifah, pengumpulan hadits pun mulai dilakukan oleh para ulama’ diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru Imam Malik) akan tetapi buku hadits yang dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita. Dalam sejarah tercatat bahwa yang membukukan hadits pertama kali adalah Imam Al-Zuhri    
f.   Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran Islam. Timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang kemudian terkenal dengan sebutan ilmu kalam. Semula ilmu kalam bertujuan untuk menolak ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang sengaja dimasukkan untuk merusak akidah Islam. Kemudian berkembang menjadi ilmu yang khusus membahas tentang berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam terutama masalah ketuhanan. Pada perkembangan selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam yang berawal dari pertentangan politis ditubuh umat Islam yang bibitnya muncul semenjak Khalifah Ali terutama setelah terjadinya peristiwa tahkim yang dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara licik. Aliran-aliran yang muncul pada saat itu adalah khawarij dan murji’ah.   

C. Kesimpulan
Pendidikan Islam Zaman Bani Umayah mengalami kemajuan yang menentukan, karena perhatian penguasa ikut memberikan dorongan, di samping semangat keilmuan yang diusung ulama muslim yang notobenenya terinspirasi semangat dari Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah kerap membe
rikan tantangan dan penghargaan untuk orang yang beriman yang menunjukan kualitas akal dan memberikan tempat yang terhormat untuk orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Perkembangan pendidikan Islam dari segi kurikulum dan, metodenya meningkat seiring bertambah banyak ilmu-ilmu baru yang ditemukan dari luasnya daerah taklukan Islam. Daerah takhlukan banyak meninggalkan khazanah ilmu pengetahuan yang ikut menambah kekayaan ilmu-ilmu Islam. Para ilmuan tidak melewatkan kesempatan yang ada dengan memanfaatkan ilmu-ilmu yang bertumpuk-tumpuk di daerah takhlukan. Perbedaan bahasa yang digunakan dalam buku-buku ilmu yang tinggal tidak bisa menghalangi mereka. Proses penterjemahan dari bahasa Yunani tidak langsung ke bahasa Arab tapi terlebih dahulu ke dalam bahasa Suryani kemudian ke dalam bahasa Arab.
Tokoh llmuan sekaligus pengembang pendidikan Islam zaman bani Umayyah adalah : Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas ,Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik. Umar bin Abu Rabiah ,Jamil al-uzri, Qys bin Mulawwah, yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq, Jarir, dan Al Akhtal, Abu Ubaidah Muslim Ibn Ubaidah al Balansi, Abu al Qasim Abbas ibn Farnas, Ahmad ibn Iyas al Qurthubi, Al Harrani, Yahya ibn Ishaq, Abu Daud Sulaiman ibn Hassan, Abu al Qasim al Zahrawi, Abu Marwan Abd al Malik ibn Habib, Yahya ibn Hakam, Muhammad ibn Musa al razi, Abu Bakar Muhammad ibn Umar, Uraib ibn Saad, Hayyan Ibn Khallaf ibn Hayyan, Abu al Walid Abdullah ibn Muhammad ibn al faradli, Ali al Qali, Ibn al Quthiyah Abu Bakar Muhammad Ibn Umar, Al Zabidi, Said Ibn Jabir, Muhammad ibn Abdillah ibn Misarrah al Bathini, Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih, Abu Amir Abdullah ibn Syuhaid, Ibn Hazm.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam terus tumbuh di antaranya; Khuttab, Masjid, Majelis Sastra, Pendidikan Istana, Pendidikan Badiah, Perpustakaan, Bimaristan (Rumah Sakit), Madrasah Mekkah, Madrasah Madinah, Madrasah Basrah, Madrasah Kufah, Madrasah Damsyik (Syam, Madrasah Fistat (Mesir), Madrasah Hasan al-Bashri, yang telah mengasilkan banyak ilmuan baik agama maupun ilmu-ilmu aqliah. Para ulama sekaligus ilmuan menjadikan tempat tinggal maupun tempat bekerjanya sebagai tempat pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dari lembaga pendidikan itulah munculnya cikal bakal ilmuan penerus dan mengahasilkan ilmu pengetahuan yang lebih luas dan lebih mendalam di antara; Ilmu agama, seperti; al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh, .      Ilmu sejarah dan geografi, Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf, Bidang filsafat, Teologi Islam (Ilmu Kalam).
Ditambah dengan perkembangan Bani Umayyah II yang berkembang di Codova (Spanyol) menambah semarak keilmuan.

Soal Latihan :
1.      Jelaskanlah dua aspek perkembangan pendidikan Islam periode Bani Umayyah
2.      Sebutkanlah lima tokoh ilmuan muslim dan jelaskan kontribusinya dalam perkembangan pendidikan Islam periode Umayah I dan II
3.      Sebutkanlah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berkembang periode Bani Umayah
4.      Jelaskanlah spesialisasi 3 pusat pendidikan Islam periode Bani Umayah Periode I
5.      Uraikanlah Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang pada Masa Bani Umayah
6.      Menurut anda faktor apa yang membuat berkembangnya pendidikan Islam dengan baik pada periode Bani Umayah tersebut. Dan bagaimana relevansi dengan keadaan meredupnya perkembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini. 










DAFTAR KEPUSTAKAAN








Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003

Nata, Abuddin, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012

Poeradisastra, S.I. Sumbangan Islam Kepada Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban, Jakarta: PM3, 1981, Cet. I


[1] Samsul Nizar, Op,Cit,h. 67
[2] Ramayulis, Op.cit, h. 71
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[11]S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu Pengetahuan Dan Peradaban, Jakarta: PM3, 1986, Cet. II, h. 9
[15] Ibid
[16] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Samsul Nizar, Op.Cit,h. 72
[22] Ibid
[24] Ibid

No comments: