A. Pendahuluan
Pendidikan
Islam setelah pindah ke Madinah terus mengalami perkembangan dan kemajuan
dengan bertambahnya kuantitas peserta didik, tempat pendidikan, jumlah tenaga
pendidik, pertambahan materi-materi ajar dan metode-metode pendidikan yang
digunakan. Perkembangan yang signifikan terjadi pada masa Bani Umawiyah
(661-743 M) berkuasa selama 90 tahun[1],
bisa disebut periode I kemudian periode II mulai tahun (711-1492 M) di
Andalusia (Spanyol) yang secara alamiah melanjutkan perkembangan pendidikan
pada masa Khulafa –ar-Rasyidin.
Para
pengembang awal pendidikan Islam masa Umawiyah adalah mereka yang masih hidup
pada masa Umawiyah berkuasa. Semangat pengembangan pendidikan dan ilmu
pengetahuan lahir dari rahim ulama yang mempelajari al-Qur’an al-Karim.
Dorongan untuk mencari ilmu dan menelaah alam, dalam bahasa wahyu pertama Iqra’
(bacalah). Membaca bisa dalam artian rangkaian huruf-huruf yang dikenal semua
peradaban manusia, atau membaca tanda-tanda alam (ayat-ayat). Pendeknya
membaca yang tersurat dan yang tersirat.
Lompatan
perkembangan ilmu pengetahuan melalui proses pendidikan yang dilakukan para
ulama baik dengan dukungan penguasa atau tidak telah melahirkan ilmu-ilmu baru
di bidang eksak, sastra, filsafat maupun keagaman. Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan, maka lembaga pendidikan Islam juga ikut berkembang.
Dalam bab
ini menyajikan topic: Perkembangan Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah, Tokoh-tokoh Ilmuan dan Konstribusinya dalam
Pendidikan Islam Masa Bani Umawiyah, Lembaga Pendidikan Islam Masa Bani
Umawiyah, Klasifikasi Ilmu Pengetahuan yang Berkembang Masa Bani Umawiyah,
Kesimpulan dan Soal-soal Latihan.
B. Pembahasan
1. Perkembangan
Pendidikan Islam Masa Umawiyah
Pada masa Daulah (Dinasti) Bani Umayyah
pendidikan Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan, namun bersifat desentralisasi dan tidak
memiliki standar umur. Kajian keilmuan pada periode ini berpusat di Damaskus,
Kuffah, Makah, Madinah, Mesir, Cordova, Damsyik, Palestina (Syam), dan Fistat
(Mesir)[2].
Adapun aspek-aspek kemajuan pendidikan Islam yang mengalami peningkatan
signifikan yang disorot dalam bab ini dalam bidang kurikulum dan metode
pendidikan, diantaranya dapat diuraikan pada pembahasan
berikut:
a.
Kurikulum Pendidikan
Islam pada Masa Bani Umawiyah
Pada masa bani
Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan kata Al-Maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada
masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus
diberikan pada murid dalam tingkat tertentu[3].
Seiring perjalanan
waktu pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu
mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam
pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan
mengajar serta evaluasi[4].
Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa bani Umawiyah:
1)
Kurikulum Pendidikan
Rendah
Terdapat kesukaran
ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum
untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena
tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk
tingkat penghabisan, kecuali Al-Qur’an yang terdapat pada kurikulum. Kedua, kesukaran
antara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa
tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga
pendidikan. Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan
Islam, tetapi tidak hanya satu tingkat yang bermula di Kuttab dan
berakhir di diskusi halaqah (melingkar). Tidak ada kurikulum khusus yang
diikuti oleh seluruh umat Islam. Di lembaga Kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping
Al-Qur’an. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.
2)
Kurikulum Pendidikan
Tinggi
Perguruan tinggi
Islam yang ada bukan berarti seperti yang dibayangkan hari ini, namun
subtansinya kajian-kajian keilmuan yang dipelajari dilakukan oleh seorang
peserta didik dan dosen/pendidik lebih mendalam. Kalau kita hubungkan
tingkat keseriusan para pencari ilmu dari tingkat lain dibawahnya, maka pada
tingkat perguruan tinggi waktu itu lebih giat menggali ilmu-ilmu yang ada. Para ilmuan telah terbiasa menggunakan metode eksprimen, observasi, trial and error dan berfikir analitik untuk ilmu filsafat
dan metafisika.
Berbicara kurikulum pendidikan tinggi yang ada waktu itu, ragamnya sangat bervariasi tergantung kepada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak
terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga pendidik/dosen
tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu[5].
Mahasiswa bebas
untuk mengikuti pelajaran di sebuah pendidikan tinggi dan berpindah dari sebuah
pendidikan tinggi ke pendidikan tinggi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota
lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa
karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk
mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama. Kurikulum
pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan yaitu, jurusan ilmu-ilmu agama
(al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum
al-aqliyah)[6].
b.
Metode-metode
Pendidikan Islam pada Masa Bani Umawiyah
Pendidikan Islam di masa Dinasti Umawiyah tampaknya
masih didominasi oleh metode bayani, terutama selama abad I H di mana
pendidikan bertumpu dan bersumber pada nash-nash agama yang kala itu terdiri
atas Al-Qur’an, sunnah, ijmak, dan fatwa sahabat. Metode bayani
dalam pendidikan Islam kala itu lebih bersifat eksplanatif, yaitu sekedar
menjelaskan ajaran-ajaran agama saja karena tingkat perkembangan ilmu-ilmu aqliah
belum menjadi prioritas.
Secara khusus, metode ceramah dan demonstrasilah
yang banyak digunakan dalam institusi-institusi pendidikan yang ada di zaman
itu, baru pada masa-masa akhir pemerintahan Umawiyah metode burhani mulai
berkembang di dunia Islam, seiring dengan giatnya penerjemahan karya-karya
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab[7].
Metode burhani /Tahlili (analitik)
adalah metode yang telah dipakai pada zaman Aritoteles (lahir 384 SM) dengan pendekatan silogisme yang
memakai istilah preposisi-preposisi[8].
Metode burhani diperkenalkan pertama kali oleh Al Kindi (801-873 M).
Selanjutnya metode tersebut mencapai puncaknya ketika berada ditangan Ar-Rozi (865-925 M) dan Al- Farabi (872-950 M)[9]
pada masa Bani Abbasiyah (tahun 132-656 H/750-1258 M)[10]
Selain
metode burhani, metode karya wisata (rihlah ilmiyah) dan
penugasan sangat berkembang masa ini. Para ilmuan berlomba-lomba pergi ke
wilayah yang pernah dinaungi peradaban Yunani untuk mendapat buku-buku klasik
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab[11].
Metode
pendidikan Islam di bidang kajian keagamaan masih menggunakan metode kisah, amtsal,
hukuman, pembiasaan, keteladan, diskusi, halaqah, ganjaran, dan tanya
jawab. Penggunaan metode tersebut karena materi-materi keislaman sarat dengan
hukum praktis untuk kehidupan sehari-hari.
2.
Tokoh-tokoh Ilmuan dan Kontribusinya dalam
Pendidikan Islam Masa Umawiyah.
Banyak
tokoh–tokoh ilmuan yang telah memberikan sumbangsih terhadap pendidikan Islam
masa dinasti Umawiyah. Berkembangnya pendidikan Islam bukan dalam artian
pembaharuan lembaga-lembaga, metode dan materi seperti pembaharuan pendidikan
dunia modern yang kita kenal dewasa ini, namun lebih bersifat pembaharuan yang
berkonotasi integrasi ilmu umum dan Islam seperti yang pernah dilakukan
Muhammad Abduh (lahir1849 M), dengan memasukkan mata pelajaran berhitung, aljabar, sejarah
Islam, bahasa dan sastra, dan prinsip-prinsip geometri dan geografi ke dalam kurikulum al-Azhar. Dari segi metode
perkuliahan yang bertele-tele
yang dikenal dengan nama Syarah al-Hawasyi, diusahakan dihilangkan dan diganti dengan metode
pengajaran yang sesuai dengan perkembangan
zaman[12].
Perkembangan pendidikan Islam pada masa Umawiyah menanjak dari
sebelumnya, yaitu dari yang belum ada menjadi ada; bukan memperbaiki yang telah
ada, serta menyisipi yang telah ada. Perkembangan pendidikan Islam identik
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dimana ada ilmuan di sana dan pendidikan
Islam. Walaupun yang menjadi ilmuan tersebut bukanlah orang muslim, tetapi
semangat keilmuan didorong oleh dunia muslim yang bersumberkan al-Qur’an dan
sunnah Nabi Muhammad saw dan mereka berbakti dalam Tamaddun Islam di
bawah pemerintahan Bani Umawiyah.
Perkembangan pendidikan Islam dan Ilmu pengetahuan yang terjadi secara integral.
Bahwa pendidikan Islam bukan hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama namun juga
ilmu-ilmu aqliah . Boleh jadi seorang ulama ahli tafsir juga ahli
filsafat, atau menguasai ilmu-ilmu umum lainya. Bisa dikatakan ilmu pengetahuan
tidak mengenal pemisahan ilmu agama dan umum. Dalam doktrin Islam sumber ilmu
adalah satu yaitu Allah swt.
Adapun Tokoh-Tokoh Pada Masa Bani Umayyah
Periode I[13]
terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing seperti dalam
bidang tafsir, hadist, dan Fiqh. Selain para ulama juga ada ahli bahasa/sastra.
a. Ulama-ulama tabi’in ahli tafsir, yaitu:
Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’,
Qatadah. Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas dengan memasukkan
Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk
agama Islam. Di antara mereka yang termasyhur: Ka’bul Ahbar, Wahab bin
Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij
b. Ulama-ulama Hadist yaitu: Abu Hurairah,
‘Aisyah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas ,Jabir bin Abdullah, Anas bin
Malik. Kitab bacaan satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadis-hadis
belumlah dibukukan. Hadis-hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari
mulut guru ke mulut muridnya, yaitu dari hafalan guru diberikannya kepada
murid, sehingga menjdi hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah
sahabat dan pelajar-pelajar ada yang mencatat hadist-hadist itu dalam buku
catatannya, tetapi belumlah berupa buku menurut istillah kita sekarang.
c. Ahli bahasa/sastra: Seorang ahli bahasa
seperti Sibawaih yang karya tulisnya Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal
berbahasa arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab jahiliahpun
muncul kembali sehingga bidang sastra arab mengalami kemajuan. Di zaman ini
muncul penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah ,Jamil al-uzri ,Qys bin
Mulawwah ,yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq, Jarir, dan Al
Akhtal.
Berikut ini nama-nama ilmuwan beserta bidang keahlian yang berkembang di
Andalusia masa dinasti Bani Umayyah II[14]
:
No
|
Nama
|
Bidang Keahlian
|
Keterangan
|
Abu Ubaidah Muslim
Ibn Ubaidah al Balansi
|
- Astrolog
- Ahli
Hitung
- Ahli
gerakan bintang-bintang
|
Dikenal
sebagai Shahih al Qiblat karena banyak sekali mengerjakan
penetuan arah shalat.
|
|
Abu al Qasim Abbas
ibn Farnas
|
- Astronomi
- Kimia
|
Ilmi kimia, baik
kimia murni maupun terapan adalah dasar bagi ilmu farmasi yang erat kaitannya
dengan ilmu kedokteran. Farmasi dan ilmu kedokteran telah mendorong para
ahli untuk menggali dan mengembangkan ilmu kimia dan ilmu tumbuh-tumbuhan
untuk pengobatan.
|
|
Ahmad ibn Iyas al
Qurthubi
|
Kedokteran
|
Hidup pada masa
Khalifah Muhammad I ibn abd al rahman II Ausath
|
|
d.
|
Al Harrani
|
||
e.
|
Yahya ibn Ishaq
|
Hidup pada masa
khalifah Badullah ibn Mundzir
|
|
f.
|
Abu Daud Sulaiman
ibn Hassan
|
Hidup pada masa
awal khalifah al Mu’ayyad
|
|
g.
|
Abu al Qasim al
Zahrawi
|
- Dokter
Bedah
- Perintis
ilmu penyakit telinga
- Pelopor
ilmu penyakit kulit
|
Di Barat dikenal
dengan Abulcasis. Karyanya berjudul; al Tashrif li man ‘Ajaza ‘an al Ta’lif, dimana
pada abad XII telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di
Genoa (1497M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778 M) buku tersebut menjadi
rujukan di universitas-universitas di Eropa.
|
h.
|
Abu Marwan Abd al
Malik ibn Habib
|
- Ahli
sejarah
- Penyair
dan ahli nahwu sharaf
|
- wafat
238/852
- salah
satu bukunya berjudul al Tarikh
|
i.
|
Yahya ibn Hakam
|
- Sejarah
- Penyair
|
-
|
k.
|
Muhammad ibn Musa
al razi
|
- Sejarah
|
- wafat
273/886
- Menetap
di Andalusia pada tahun 250/863
|
l.
|
Abu Bakar Muhammad
ibn Umar
|
- Sejarah
|
- Dikenal
dengan Ibn Quthiyah
- Wafat
367/977
- Bukunya
berjudul Tarikh Iftitah al Andalus
|
m.
|
Uraib ibn Saad
|
- Sejarah
|
- Wafat
369/979
- Meringkas
Tarikh al- thabari, menambahkan kepadanya tentang al Maghrib dan Andalusia,
disamping memberi catatan indek terhadap buku tersebut.
|
n.
|
Hayyan Ibn Khallaf
ibn Hayyan
|
- Sejarah
& sastra
|
- Wafat
469/1076
- Karyanya
: al Muqtabis fi Tarikh Rija al Andalus dan al Matin.
|
o.
|
Abu al Walid
Abdullah ibn Muhammad ibn al faradli.
|
- Sejarah
- Penulis
biografi
|
- Lahir
di Cordova tahun 351/962 dan wafat 403/1013.
- Salah
satu karyanya berjudul Tarikh Ulama’i al Andalus
|
Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab tidak terlepas daripada peran para
ulama dan sastrawan, diantaranya adalah [15]:
a. Ali al Qali. Ia adalah seorang tokoh besar pada zamannya. Ia dibesarkan
dan menimba ilmu Hadits, bahasa, sastra, Nahwu dan sharaf dari ulama-ulama
terkenal di Baghdad. Pada tahun tahun 330/941 al Nashir mengundang beliau untuk
menetap di Cordova dan sejak saat itu Ali mengembangkan ilmu Islam sampai
wafatnya (358/696). Dari sekian banyak karya tulisnya yang bernilai tinggi,
diantaranya adalah al Amalî dan al Nawâdir.
b. Ibn al Quthiyah Abu Bakar Muhammad Ibn Umar. Ia adalah seorang ahli
bahasa Arab, Nahwu, penyair dan sastrawan. Ia menulis buku dengan judul al
Af’âl dan Fa’alta wa Af’alât. Ia meninggal pada tahun 367/977.
c. Al Zabidi. Ia adalah guru dari Ibn Quthiyah. Al Zabidy sudah
mengembangkan bahasa dan sastra di Andalusia sebelum adanya Ali al Qali.
Bukunya yang terkenal adalah Mukhtashar al ‘Ain dan Akhbar al Nahwiyyîn.âîû
d. Said Ibn Jabir, ia juga merupakan salah satu guru dari Ibn Quthiyah.
e. Muhammad ibn Abdillah ibn Misarrah al Bathini (269-319) dari Cordova
dikenal sebagai orang pertama yang menekuni filsafat di Andalusia.
Berikut ini Bibliografi beberapa sastrawan Andalusia [16]:
a. Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih. Lahir di Cordova 246/860. ia
menekuni ilmu kedokteran dan musik, tetapi kecenderungannya lebih banyak kepada
sastra dan sejarah. ia berhasil menggubah syari-syair pujian (madah)
bagi empat khilafah Umawiyah, sehingga ia mendapat kedudukan terhormat di
istana. Pada masa al Nashir ia menggubah 440 bait syair dengan menggunakan
bahan acuan sejarah. Pada masa tuanya, Abu Amr menyesali kehidupan masa
mudanya, kemudian ia berzuhud.
Oleh karenanya ia menggubah syair-syair zuhdiyyat yang
ia himpun dalam al Mumhishât. Sebagian besar karya syairnya
sudah hilang, sedangkan yang berupa prosa ia tuangkan dalam karyanya yang
diberi nama al ‘Aqd al Fârid. Ia pada tahun 328/940 dalam keadaan
lumpuh.
b. Abu Amir Abdullah ibn Syuhaid. Lahir di Cordova pada tahun 382/992. Ia
dikenal dekat dengan penguasa. Dengan keterlibatannya dengan kemelut politik,
ia sering membuat syair-syair dalma rangka membesarkan atau menggulingkan
seorang penguasa. Pada masa kekuasaan Hamudiyah penyair ini dipenjarakan dan
menerima penghinaan serta penganiayaan yang berat. Ia dibebaskan dalam keadaan
lumpuh sampai wafat pada tahun 427/1035. Karyanya dalam bentuk prosa
adalah Risâlah al Tawâbi’ wa al Zawâbigh, Kasyf al Dakk wa Atsar al
Syakk dan Hanut ‘Athar.
c. Ibn Hazm. Lahir pada tahun 384/994) merupakan penyair sufi yang banyak
menggubah puisi-puisi cinta.
3. Lembaga-lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila
dibandingkan pada masa Khulafa Ar-Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan
ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.
Diantara tempat-tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah[17]:
a. Khuttab
Khuttab adalah tempat anak-anak belajar menulis, membaca, dan
menghafal al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam. Adapun
cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan al Quran mereka juga
belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan. Al Quran dipakai sebagai
bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan
ditulis untuk dipelajari. Disamping belajar menulis dan membaca
murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan
pokok agama.
b. Masjid
Pada Dinasti Umayyah, Masjid adalah tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah
khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi al Quran, Tafsir, Hadist dan
Fiqh. Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung
dan ilmu perbintangan. Di antara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah. Pada periode ini juga didirikan Masjid di seluruh pelosok daerah
Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi
tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan
Walid ibn Abdul Malik 707-714 M didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang
dianggap Universitas tertua sampai sekarang.
c. Majelis Sastra
Majelis
sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga
sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik. Perhatian penguasa
Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa
Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan
berkembangnya semi prosa.
d. Pendidikan Istana
Pendidikan Istana yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan
diperuntukkan khusus bagi anak- anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan
istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau
hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah,
maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.
Istana Khalifah sebagai Lembaga Pendidikan.
Pendidikan
anak di istana berbeda dengan pendidikan anak
– anak di kuttab pada umumnya. Di
istana, orang
tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pelajaran dan tujuan yang dikehendaki oleh orang tuanya. Guru
yang mengajar di istana itu disebut mu’addib. Kata mu’addib berasal
dari kata adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan. Guru pendidikan anak di istana di sebut mua’ddib karena berfungsi mendidikkan budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan orang – orang
dahulu kepada anak-anak pejabat[18].
Rencana pelajaran
untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran
pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para
pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak
tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan
dihadapinya dalam kehidupannya nanti.
Pendidikan di istana, tidak hanya pengajaran tingkat
rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah,
masjid dan madrasah. Guru istana di namakan dengan muaddib. Tujuan
pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan muaddib
harus mendidik kecerdasan, hati dan jasmani anak sebagaimana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan
sebagai berikut: “Ajarkan kepada anak- anak itu berkata benar
sebagaimana kau ajarkan al-Qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang buruk budi, karena mereka amat jahat dan
kurang adab. Jauhkan anak-anak itu dari pemalu karena
pemalu itu merusak mereka. Gunting rambut mereka supaya tebal kuduknya. Beri
makan mereka dengan daging supaya kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka
supaya mereka menjadi orang besar dan berani. Suruh mereka menyikat gigi dan
minum air dengan menghirup perlahan-lahan
bukan dengan bersuara, (seperti hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan adab kepada
mereka hendaklah dengan tertutup tiada di ketahui oleh seorang pun.[19]”
Di atas adalah contoh dari rencana pelajaran dan petunjuk-petunjuk
yang dikemukakan oleh pembesar istana kepada pendidik
anak-anaknya agar dijadikan sebagai pedoman.
1) Al-Qur’an (kitabullah)
2) Hadis-hadis yang termulia
3) Syair – Syair yang
terhormat
4) Riwayat hukamah
5) Menulis membaca dan lain –
lain
e. Pendidikan Badiah
Yaitu tempat belajar bahasa Arab yang fasih dan
murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan
Arabisasi maka muncul istilah Badiah, yaitu dusun Badui di Padang Sahara mereka
masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab tersebut. Sehingga
banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke Badiah untuk belajar bahasa Arab
bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.
f.
Perpustakaan
Al-Hakam Ibnu Nasir (350 H/961 M) mendirikan
perpustakaan yang besar di Qurthubah (Codova). Perpustakaan ini tidak
dipergunakan untuk membaca buku, tetapi disediakan juga ruangan untuk proses
pembelajaran yang dibimbing oleh ulama sesuai bidang keahlian[21].
g.
Bimaristan (Rumah Sakit)
Rumah sakit di samping berfungsi untuk mengobati dan merawat orang
sakit, tetapi juga berfungsi sebagai tempat mendidik calon tenaga medis dan
perawat, dan juga untuk mempelajari ilmu kedokteran[22].
Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan
merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh
ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat
pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut[23]:
a. Madrasah
Mekkah
Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk,
ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan
haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas
pergi ke Mekkah, lalu mengajar di sana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah
bin Abbaslah pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
b. Madrasah
Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di
sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat Nabi. Berarti disana banyak terdapat
ulama-ulama terkemuka.
c. Madrasah
Basrah
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan
Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta
ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan
Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli
tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar,
bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid
Basrah.
d. Madrasah
Kufah
Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu:
‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil.
Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah.
Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud yang menjadi guru di
Kufah Bahkan mereka pergi ke Madinah.
e. Madrasah
Damsyik (Syam)
Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan
penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para
Khilafah. Madrasah itu melahirkan Imam penduduk Syam, yaitu, Abdurrahman
Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya
tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu
lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
f. Madrasah
Fistat (Mesir)
Sahabat yang pertamakali mendirikan madrasah dan menjadi guru dimesir
adalah Abdurrahman bin Amr bin Al-Ash. Beliau adalah seorang ahli hadis yang
bukan saja menghafal hadis-hadis nabi tapi beliau juga menuliskannya dalam
catatan pribadinya, sehingga ia tidak lupa dalam meriwayatkan hadis-hadis itu
kepada muridnya. Guru berikutnya yang terkenal sesudahnya adalah Yazid bin Abu
Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Diantara murid Yazid
yang terkenal adalah Abdullah bin Lahi’ah dan Al-Lais bin Said yang dikenal
sebagai ulama’ yang mempunyai madzzhab tersendiri dalam bidang fiqih
sebagaimana Al-Auza’i di Syam.
g. Madrasah Hasan Al-Bashri
Madrasah Hasan Al-Bashri menjadi lebih bermakna dalam sejarah peradaban
karena perdebatan antara beliau dengan Washil ibn Atha tentang kedudukan pelaku
dosa besar. Suatu ketika Hasan Al-Bashri ditanya oleh seseorang dengan
berkata: “ ya tuan, kahwarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar telah melakukan
pelanggaran yang membuat yang bersangkutan keluar agama (kafir/murtad);
sedangkan murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir karena
amal bukan sendi atau rukun iman; bagaimana menurut tuan?” Hasan
Al-Bashri berdiam sejenak untuk memberikan jawaban. Ketika Hasan Al-Bashri
bersiap-siap untuk memberikan jawaban, tiba-tiba Washil bin Atha (muridnya)
menjawab: “menurutku ia bukan mukmin dan juga bukan kafir, tatapi berada
diantara posisi mukmin dan kafir”. Setelah itu, Washil keluar dari Hasan
Al-Bashri dan membangun pendapatnya sendiri yang merupakan sintesis dari aliran
kalam yang sudah ada sebelumnya. Gagasan utamanya adalah “Al Manzilah
Bain Almanzilatain”, dan gelarnya adalah Syaikh Al-Mu’tazilat Wa
Qidimuha.
4. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Bani Umawiyah
. Perkembangan Ilmu Pengetahuan cukup signifikan, di samping melakukan ekspansi, pemerintahan dinasti
umayyah juga menaruh perhatian dalam bidang pendidikan. Penguasa ikut memberikan dorongan
yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal
ini dilakukan agar para ilmuwan, para seniman, dan para ulama’ mau melakukan
pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi
ilmu. Diantara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah[24]:
a. Ilmu
agama, seperti: Al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
b. Ilmu
sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup,
kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai
peristiwa sejarah.
c. Ilmu
pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu,
saraf, dan lain-lain.
d. Bidang
filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing,
seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan
dengan itu, serta ilmu kedokteran.
e. Ilmu
Hadits dan penulisanya
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang menggagas penulisan hadits,
yang kemudian beliau memerintahkan kepada walikota Madinah Abu Bakar untuk
menuliskannya, atas perintah khalifah, pengumpulan hadits pun mulai dilakukan
oleh para ulama’ diantaranya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn
Ubaidillah Ibnu Syihab Al-Zuhri (guru Imam Malik) akan tetapi buku hadits yang
dikumpulkan oleh Imam Az-Zuhri tidak diketahui dan tidak sampai kepada kita.
Dalam sejarah tercatat bahwa yang membukukan hadits pertama kali adalah Imam
Al-Zuhri
f. Teologi
Islam (Ilmu Kalam)
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari agama Kristen yang sudah
berkembang sebelum datangnya Islam, maka berkembang pula sistem pemikiran
Islam. Timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis, yang kemudian
terkenal dengan sebutan ilmu kalam. Semula ilmu kalam bertujuan untuk menolak
ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang sengaja dimasukkan untuk merusak
akidah Islam. Kemudian berkembang menjadi ilmu yang khusus membahas tentang
berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia Islam terutama masalah
ketuhanan. Pada perkembangan selanjutnya muncul aliran-aliran teologis Islam
yang berawal dari pertentangan politis ditubuh umat Islam yang bibitnya muncul
semenjak Khalifah Ali terutama setelah terjadinya peristiwa tahkim yang
dimenangkan oleh Mu’awiyyah secara licik. Aliran-aliran yang muncul pada saat
itu adalah khawarij dan murji’ah.
C. Kesimpulan
Pendidikan Islam Zaman Bani Umayah mengalami kemajuan yang
menentukan, karena perhatian penguasa ikut memberikan dorongan, di samping
semangat keilmuan yang diusung ulama muslim yang notobenenya terinspirasi
semangat dari Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah kerap membe
rikan
tantangan dan penghargaan untuk orang yang beriman yang menunjukan kualitas
akal dan memberikan tempat yang terhormat untuk orang yang beriman dan berilmu
pengetahuan.
Perkembangan
pendidikan Islam dari segi kurikulum dan, metodenya meningkat seiring bertambah
banyak ilmu-ilmu baru yang ditemukan dari luasnya daerah taklukan Islam. Daerah
takhlukan banyak meninggalkan khazanah ilmu pengetahuan yang ikut menambah
kekayaan ilmu-ilmu Islam. Para ilmuan tidak melewatkan kesempatan yang ada
dengan memanfaatkan ilmu-ilmu yang bertumpuk-tumpuk di daerah takhlukan.
Perbedaan bahasa yang digunakan dalam buku-buku ilmu yang tinggal tidak bisa
menghalangi mereka. Proses penterjemahan dari bahasa Yunani tidak langsung ke
bahasa Arab tapi terlebih dahulu ke dalam bahasa Suryani kemudian ke dalam
bahasa Arab.
Tokoh llmuan sekaligus pengembang
pendidikan Islam zaman bani Umayyah adalah : Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah,
Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Ka’bul Ahbar, Wahab bin
Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Abbas ,Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik. Umar bin Abu
Rabiah ,Jamil al-uzri, Qys bin Mulawwah, yang dikenal dengan nama Laila Majnun,
Al-Farazdaq, Jarir, dan Al Akhtal, Abu Ubaidah Muslim
Ibn Ubaidah al Balansi, Abu al Qasim Abbas ibn Farnas, Ahmad ibn Iyas al
Qurthubi, Al Harrani, Yahya ibn Ishaq, Abu Daud Sulaiman ibn Hassan, Abu al
Qasim al Zahrawi, Abu Marwan Abd al Malik ibn Habib, Yahya ibn Hakam, Muhammad
ibn Musa al razi, Abu Bakar Muhammad ibn Umar, Uraib ibn Saad, Hayyan Ibn
Khallaf ibn Hayyan, Abu al Walid Abdullah ibn Muhammad ibn al faradli, Ali al
Qali, Ibn al Quthiyah Abu Bakar Muhammad Ibn Umar, Al Zabidi, Said Ibn Jabir,
Muhammad ibn Abdillah ibn Misarrah al Bathini, Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn
Abd Rabbih, Abu Amir Abdullah ibn Syuhaid, Ibn Hazm.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam terus tumbuh di antaranya; Khuttab, Masjid, Majelis Sastra, Pendidikan Istana, Pendidikan Badiah,
Perpustakaan, Bimaristan (Rumah Sakit), Madrasah Mekkah, Madrasah
Madinah, Madrasah Basrah, Madrasah Kufah, Madrasah Damsyik (Syam, Madrasah
Fistat (Mesir), Madrasah Hasan al-Bashri, yang telah mengasilkan banyak ilmuan baik agama maupun ilmu-ilmu aqliah.
Para ulama sekaligus ilmuan menjadikan tempat tinggal maupun tempat bekerjanya
sebagai tempat pendidikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dari lembaga
pendidikan itulah munculnya cikal bakal ilmuan penerus dan mengahasilkan ilmu
pengetahuan yang lebih luas dan lebih mendalam di antara; Ilmu agama, seperti; al-Qur’an, Hadist, dan Fiqh,
. Ilmu sejarah dan geografi, Ilmu
pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu,
saraf, Bidang filsafat, Teologi Islam (Ilmu Kalam).
Ditambah dengan perkembangan Bani Umayyah II yang berkembang di
Codova (Spanyol) menambah semarak keilmuan.
Soal Latihan
:
1. Jelaskanlah
dua aspek perkembangan pendidikan Islam periode Bani Umayyah
2. Sebutkanlah
lima tokoh ilmuan muslim dan jelaskan kontribusinya dalam perkembangan
pendidikan Islam periode Umayah I dan II
3. Sebutkanlah
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berkembang periode Bani Umayah
4. Jelaskanlah
spesialisasi 3 pusat pendidikan Islam periode Bani Umayah Periode I
5. Uraikanlah
Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang pada Masa Bani Umayah
6. Menurut anda
faktor apa yang membuat berkembangnya pendidikan Islam dengan baik pada periode
Bani Umayah tersebut. Dan bagaimana relevansi dengan keadaan meredupnya
perkembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
http://ibnu-safruddin.blogspot.com/2012/12/sejarah-pendidikan-islam-pada-masa-bani_9.html/2013/10/31
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003
Nata, Abuddin, Sejarah Sosial
Intelektual Islam dan Institusinya Pendidikanya, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2012
[11]S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu
Pengetahuan Dan Peradaban, Jakarta: PM3, 1986, Cet. II, h. 9
No comments:
Post a Comment