A. Pendahuluan
Institusi pendidikan Islam di Nusantra
telah tumbuh dan berkembang, seiring berkembangnya penganut Islam. Pendidikan
surau di Sumatera Barat, munasah di Aceh dan Pesantren di Jawa adalah yang
terpenting dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Ketiga institusi
pendidikan Islam tersebut, telah memainkan peran yang amat penting sejak tiga
abad yang lalu[1].
Walaupun begitu, bukan berarti tidak ada pendidikan lain yang juga
memberikan sumbangsih dalam menstransmisi ajaran Islam, pendidikan seperti
rangkang dan langgar juga menjadi bagian yang tidak bisa dikesampingkan. Namun
andil yang besar nampaknya terpancar dari ketiga institusi di atas.
Perkembangan dan pertumbuhan Institusi pendidikan di Nusantara dimulai
dari bentuk yang sangat sederhana, yang kemudian setahap demi setahap menjadi
sebuah tempat pendidikan modern yang menjadi bahan perhatian para ahli
pendidikan di dalam maupun luar negeri[2]. Namun dari ketiga institusi pendidikan yang
tetap eksis dengan format yang lebih
modern hanyalah Pesantren, sedangkan munasah dan surau tidak terdengar lagi
kiprahnya. sehingga banyak bahasan, ulasan dan penelitian dilakukan para ahli
pendidikan terhadap Pesantren di Indonesia.
Untuk membahas perkembangan surau, munasah,
dan pesatren memerlukan kajian yang komprehensif, karena cakupan yang luas
sehingga dibutuhkan data-data serta sumber yang beragam. Maka, pada bahasan ini
penulis concern membahas pendidikan Pesantren dengan sistematika
penulisan: Pendahuluan, pembahasan mencakup; Pengertian Pesantren, Perkembangan
Pesantren di Nusatara, Tokoh Pendidiri Pesantren, ilmu yang berkembang di
Pesantren, dan Fasilitas. Metode Pendidikan di Pesantren, Kesimpulan dan essay
latihan.
B. Pembahasan
1.
Pengertian Pesantren
Secara bahasa, kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” yang
mendapat awalan pe, dan akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri
atau murid[3].
Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren tempat membina manusia menjadi
orang baik[4].
Dalam pandangan Nurcholish Madjid asal usul kata “santri” bisa dilihat
dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri”
berasal dari kata “sastri”, sebuah bahasa Sanskerta yang berarti melek
huruf. Menurut Zamkhasyari Dhofier berpendapat kata “santri” berasal
dari bahasa India yang artinya orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau
seorang sarjana yang ahli kitab agama Hindu. Secara umum dapat diartikan
buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku ilmu pengetahuan. Kedua, pendapat
yang mengatakan kata “santri’ sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa
yaitu “cantrik” yang berarti seorang yang selalu mengikuti ke manapun
seorang guru pergi menetap[5].
Dalam pendapat lain menyebutkan, pesantren masih berakar dari kata
‘santri’, yang berarti “terpelajar” (learned) atau “ulama” (scholar).
Jika santri menunjuk kepada murid, maka Pesantren menunjuk kepada lembaga
pendidikan. Pesantren disebut juga ‘Pondok Pesantren’. Kedua sebutan tersebut
sering digunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama. Sebagaimana
yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perkataan ‘pondok’ dan ‘pesantren’ dengan
maksud yang sama, yaitu “asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji”.
Pendeknya, kedua sebutan tersebut mengandung arti lembaga pendidikan Islam yang
didalamnya terhadap unsure-unsur ‘kiai’ (pemilik), ‘santri’ (murid), ‘masjid’
atau ‘mushalla’ (tempat belajar), asrama (penginapan santri), dan ‘kitab-kitab
klasik Islam (bahan pelajaran)[6].
2.
Perkembangan
Pesantren di Nusantara
Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa Pondok Pesantren adalah
bentuk lembaga tertua di Indonesia. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya
Pesantren atau Pondok Pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri dan
pedapat kedua mengatakan sistem pendidikan model Pondok Pesantren adalah asli
Indonesia[7].
Dalam pendapat pertama ada dua versi, ada yang berpendapat Pondok
Pesantren berawal sejak zaman Nabi masih hidup. Dalam awal-awal dakwahnya, Nabi
melakukan dakwah sembunyi-sembunyi dengan peserta sekelompok orang, dilakukan
di rumah-rumah, seperti yang tercatat dalam sejarah, salah satunya rumah Aram
bin Abi Arqam. Versi kedua menyebutkan Pondok Pesantren mempunyai kaitan yang
erat dengan tepat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan
fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam
bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid
tertentu[8].
Pemimpin tarekat disebut kyai, yang mewajibkan pengikutnya melaksanakan
suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama anggota
tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan kegiatan ibadah di bawah bimbingan
kyai. untuk keperluan suluk ini, para kyai menyediakan ruangan khusus untuk
penginapan dan tempat memasak yang terdapat di kiri-kanan masjid[9].
Tempat kedua mengatakan, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada
mulanya ialah pengambil-alihan dari sistem Pondok Pesantren yang diadakan
orang-orang Hindu di Nusantra. Hal ini didasarkan pada fakta jauh sebelum
datangnya Islam ke Indonesia, lembaga Pondok Pesantren pada masa itu
dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Fakta lain
yang menunjukan Pondok Pesantren bukan berasal dari tradisi Islam adalah tidak
ditemukannya lembaga Pondok Pesantren di Negara-negara Islam lainya[10].
Fakta di atas sebagaimana dikuatkan oleh Zamakhsyari Dhofier (dalam
Ahidul Asror) bahwa rekontruksi masa awal pembangunan tradisi pesantren terjadi
antara abad ke 11 dan ke 14. Masa itu merupakan masa transisi dari peradaban
Hindhu Budha Majapahit ke masa periode pembangunan peradaban Melayu Nusantara[11].
Pembangunan tradisi pesantren (sebelum Islam) pengajaran agama Hindhu
dan Bundha telah berlangsung, mulai dari beralihnya masyarakat dari Hindhu ke
Budha dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan dan berpindah lagi ke Islam
setelah gelombang Islam menguat di Asia Tenggara, tanpa pertumpahan darah atau
dengan jalan damai. Proses peralihan demi peralihan yang damai itu menggunakan
pendekatan penjaran Pondok Pesantren yang damai dan toleran. Di samping telah
terjalinnya relasi positif antara ajaran Islam dengan kultur lokal. Kultur
lokal yang dimaksud ialah dengan pendekatan bercorak Pondok Pesantren yang
damai biasa digunakan zaman Hindhu dan Budha di Nusantara dalam menstransmisi
ajaran-ajarannya.
Lebih jauh Pondok Pesantren di Indonesia diketahui keberadaan dan perkembangannya
setelah abad ke 16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat
Centini mengungkapkan dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab
Islam klasik dalam bidang fiqih, tasawuf dan menjadi pusat-pusat penyiaran
Islam yaitu Pondok Pesantren[12].
3. Tokoh Pendiri Pesantren
Pondok
pesantren yang berkonotasi Islam an sich, adalah lekat dengan masyarakat
luas. Memang nuansa yang muncul dari kata Pondok Pesantren ialah pengajaran
rumpun-rumpun ilmu agama yang diajarkan para ulama (kyai) yang mempunyai ilmu
agama yang dalam. Di samping itu, alumni-alumninya juga bakal menjadi ulama
dengan kemampuan turunan seperti ulama (kyai) di mana ia belajar.
Walaupun
dalam kajian asal usul pesantren itu sendiri masih belum satu, yaitu apakah
Pondok Pesantren murni dikembangkan dari rahim Islam di Indonesia atau memang
Islam telah melakukan islamisasi terhadap lembaga pendidikan yang telah ada
sebelum Islam datang di Nusantara. Untuk pertanyaan pertama penulis masih
kekurangan data-data pasti tentang itu dan belum bisa mengungkapkan siapa orang
pertama yang mendirikan lembaga tersebut walaupun faktanya di tempat lain di
Asia Tengggara tidak temukan lembaga sejenis. Seperti di Malaysia, Thailand,
Singapura dan Brunai penyebaran Islam hampir bersamaan berkembang dengan
Indonesia namun yang ada di negeri-negeri tersebut adalah sejenis Madrasah atau
pondok atau funduk[13]. Namun untuk pertanyaan kedua jelas bahwa
Pondok Pesantren diketahui keberadaan abad ke 16 bahkan menurut sumber lain
Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di Nusantara sudah mulai abad ke 15.
Tokoh yang pertama kali mendirikan Pesantren adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim
(w.1419 M) yang berasal dari Gujarat. India, sekaligus tokoh pertama yang
mengislamkan Jawa[14].
Maulana
Malik Ibrahim dalam mengembangkan dakwahnya menggunakan masjid dan Pesantren
sebagai transmisi keilmuan Islam. Pada gilirannya, transmisi yang dikembangkan
oleh Maulana Malik Ibrahim ini melahirkan Walisongo[15]
yang dikenal di Jawa. Salah seorang
Walisongo yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel) mendirikan Pesantren pertama di
Kembang Kuning, Surabaya tahun 1619 M. Selanjutnya, Sunan Ampel mendirikan
Pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal
dan berpengaruh luas di Jawa Timur saa itu. Pada tahap selanjutnya, berdiri
Pesantren baru di berbagai tempat, seperti Sunan Gunung Giri di Gresik, Sunan
Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, dan Raden Fatah di Dema,
Jawa Tengah[16].
Selain
di Jawa kita mengenal perkembangan Pesantren era awal Islam di Nusantara,
ternyata perkembangan Islam melalui Pesantren yang diperkenalkan oleh syekh
Arsyad al Banjari di Martapura (Ibu Kota Kesultanan Banjar) dengan meminta
sebidang tanah kepada sultan Tahmid Allah (1187-1223 H/1778-1808 M), tepatnya
beberapa tahun setelah sekembalinya dari Makkah al Mukarramah untuk mendalami
ilmu agama dan ilmu falak. Permintaan sebidang tanah dikabulkan sultan dengan
memberikan sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar di luar Ibu
Kota Kesultanan Banjar[17].
Syekh
Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya
terdapat rumah-rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri.
Semenjak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri yang
datang dari berbagai pelosok daerah. Pesantren yang dibangun di daerah pelosok,
di luar Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
proses belajar menagajar para santri; tenang, damai, akrab dan belum
terkontaminasi dengan budaya-budaya perkotaan. Pesantren yang dibangun di
daerah pelosok, selain berfungsi sebagai pusat keagamaan juga pusat pertanian,
karena di sana Syekh Arsyad bersama dengan beberapa guru dan santri mengolah
tanah lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun-kebun sayuran[18].
Pesantren
yang terkenal lainnya yang didirikan Mbah Kiyai Muqoyyim di daerah Buntet
Cirebon, sekitar 12 km dari pusat keraton Kenoman. Pesantren ini didirikan
untuk melawan penjajah Belanda yang mengusai kerajaan Cirebon. Muridnya yang
terkenal ialah Pengeran Muhammad Chaeruddin salah seorang pewaris tahta Kenoman
yang tidak setuju dengan sikap tunduk keraton kepada Belanda[19].
Mengingat jasa-jasa pesantren yang besar sebagai benteng terakhir umat Islam
dalam menyerukan perjuangan kemerdekaan Indonesia pada zaman penjajahan,
patutlah pemerintah memperhatikan dan memelihara eksistensinya, sehingga para
pejuang terus hadir dan lahir untuk bisa mengisi kemerdekaan ini dengan
sebaiknya.
Pesantren
selain mengajarkan ilmu-ilmu Islam tok, juga dikenal dengan konotasi jadul
dengan fasilitas, dan metode pengajaran yang bisa dikatakan sudah ketinggalan
zaman, namun walaupun begitu dengan keterbatasannya telah banyak melahirkan
para pejuang-pejuang yang ikhlas menjadi syuhada demi kemerdekaan Indonesia dan
menegakkan kalimat syahadat.
Seseuai
dengan perkembangan dan kemajuan zaman, terutama setelah Indonesia merdeka,
telah banyak perubahan-perubahan dalam dunia Pesantren . Telah banyak Pesantren
yang menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada, walaupun masih ada juga
Pesantren yang dianggap konservatif dengan tetap bertahan dengan pola lamanya[20].
Pesantren
yang berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang dianggap modern
seperti yang didirikan oleh Imam az-Zarkasy yaitu Pondok Pesantren Modern
Gontor Ponorogo, Pesantren Tebu-Ireng yang didirikan kakek mantan presiden
Indonesia Abdurahman Wahid yakni KH. Hasyim al-Asy’ary (1871-1947 M), Model dan
pola Pesantren Tebuireng dapat dikatakan sebagai kiblat Pesantren dan
ulama-ulama terutama di Jawa. Hampir
seluruh Pesantren terkemuka di Jawa didirikan murid-murid Kiyai Hasyim Asy’ari[21].
Pada pengalaman kebangkitan pergerakan Islam modern yang didirikan KH. Ahmad
Dahlan (lahir 1868 M)[22],
pada tahun 1912 di Yogyakarta, selain membangun embrio sekolah terpadu[23]
KH. Ahmad Dahlan tetap memberikan perhatian kepada pendidikan Pondok Pesantren
Muhammadiyah. Walaupun tidak sebanyak yang didirikan oleh orang-orang NU,
Muhammadiyah hanya memiliki 57 buah Pondok Pesantren di seluruh[24].
Di samping jumlah pendidikan Muhammadiyah lebih kurang 6.684 buah di seluruh
Indonesia[25].
4. Ilmu dan Tradisi yang dikembangkan Pesantren
a. Ilmu pengetahuan yang dikebangkan di
Pesantren
Pondok Pesantren mengenal Istilah kitab kuning,
di samping juga dikenal “kitab klasik”. Kedua jenis kitab tersebut diajarkan
kepada santri dengan disesuaikan dengan manhaj Pesantren. Pengajaran
ilmu pengetahuan di Pondok Pesantren berdasarkan tipologi dari Pondok Pesantren
itu sendiri. Berdasarkan penyelenggaraanya Pondok Pesantren dibedakan kepada
tiga tipologi yaitu; Pondok Pesantren Salafiyah, Pondok Pesantren Khalafiyah
(‘Ashriyah), Pondok Pesantren Campuran/Kombinasi.
Pondok Pesantren Salafiyah atau bisa
dimaknai dari kata “salaf” yang berarti “lama”, dahulu, atau
“tradisional”. Pondok Pesantren Salafiyah
bercorak tradisional dengan mengajaran ilmu-ilmu agama an sich. Ilmu-ilmu
agama Islam yang diajarkan dilakukan secara individual atau kelompok dengan
konsentrasi pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Penjenjangan tidak
didasarkan pada satuan waktu, tetapi beradasarkan tamatnya kitab yang
dipelajari. Dengan selesainya satu kitab tertentu, santri dapat naik jenjang
dengan mempelajari kitab yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Demikian
seterusnya, contoh kitab untuk tingkat dasar seperti; kitab Tauhid ( al-Jawahr
al Kalamiyyah) sedangkan untuk tingkatan pertama kitab tauhid yang
diajarkan; Aqidah al Awwam, tingkat menengah; Tuhfah al Murid, tingkat tinggi; Fath
al Majid[26].
Pondok pesantren al Khalafiyah (‘Ashriyah)
yang dimaknai dari kata “Khalaf” yaitu “belakangan”, “kemudian” berarti
“sekarang”, atau “modern”. Pondok Pesantren Khalafiyah adalah Pondok
Pesantren yang penyelenggaraan kegiatan pendidkan dengan pendekatan modern,
melalui satuan pendidikan formal, baik madrsah (MI, MTs, MA atau MAK), maupun
sekolah (SD, SMP, SMU/A dan SMK) atau nama lainnya, tetapi dengan pendekatan
klasikal[27].
Pondok Pesantren Campuran/Kombinasi yaitu
kombinasi model Pondok Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah di
atas. Di samping itu, ada juga tipolagi Pondok Pesantren berdasarkan
konsentrasi ilmu-ilmu agama yang diajarkan. Di sini dikenal dengan Pondok
Pesantren al-Qur’an, melalui qira’ah sampai tahfiz. Ada Pesantren
Hadist, yang lebih berkonsentrasi pada pengajaran Hadist. Ada Pesantren fiqih,
Pesantren Ushul Fiqh, Pesantren Tasawuf dan sebagainya.
Pondok Pesantren dengan ciri atau tipologi
di atas, semuanya memakai sistem “ngaji kitab”, itulah yang selama ini diakui
sebagai salah satu identitas Pondok Pesantren. tanpa penyelenggaraan pengajian
kitab klasik, agak janggal disebut sebagai Pondok Pesantren. Selain kajian
kitab-kitab kuning standar Pondok Pesantren, masih banyak lagi kajian
kitab-kitab lain yang sifatnya pendalaman, seperti dalam bidang tafsir; Ma’ani
al-Qur’an, al Basith, al Bahal al muhith, ahkam al Qur’an, Lubab al Nuqul fi
asbab nuzul al Qur’an, Jami’ al ahkam al Qur’an, Burhan fi ‘Ulum al Qur’an dan
I’jaz al Qur’an. Bidang hadist; al Muwatha’, Sunan al-Turmuzi, Sunan Abu
Daud, Nasa’I, Ibnu Majah, al Musnad, al-Targhib wa al Tarhib dan sulubu al
salam. Kajian bidang fiqih; al Syarh al Kabir, al Umm, al Risalah, al
Muhalla, Fiqih al Sunnah, Min Taujihah al Islam, al Fatawa, al Mughni li ibnu
Qudamah, al Islam Aqidah wa syariah dan Zaad al Mad[28].
Dari uraian di atas jelas bahwa konten ilmu
pengetahuan yang diajarkan atau dikembangkan di Pesantren bersifat Islam tok
(tempat tafaquf fiddin), kecuali Pesantren Khalafiyah As’ary yang
tidak jauh berbeda dengan pendidikan Madrasah seperti yang dirancang pemerintah
dan swasta lainya, dengan mengkombinasikan pengajaran ilmu-ilmu
dunia/umum dengan ilmu-ilmu agama.
b. Tradisi yang dikembangkan di Pesantren
Kata “tradisi” berasal dari kata
Inggris “tradition” yang bermakna kebiasaan, kepercayaan, adat, ajaran
dan sebagainya yang diturunkan dari nenek moyang atau leluhur kepada cucu dan
terus ke bawahnya. Kata adat di berasal dari bahasa Arab, jamaknya ‘Awaid yang artinya kebiasaan (habit), wont
(kebisaan), custom (adat), usage (pemakaian), practice (amalan).
Selanjutnya, menjadi ‘adatan yang bersinonim usually (yang sudah
dibiasakan), customarily (adat kebiasaan), ordinarily (yang dibiasakan),
dan habitually (yang dilakukan karena kebiasaan)[29].
Pengertian tradisi ini selanjutnya dekat
dengan pengertian culture, yakni kesopan dan kebudayaan. dan kebudayaan
itu sendiri berarti nilai (values) yang diseleksi dan ditetapkan sebagai
unggul dan baik, yang selanjutnya dipahami, dihayati, dan diamalkan, serta
digunakan sebagai framework (system kerja akal) atau alat dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut seperti kejujuran, kedisipilinan,
kemandirian, kerja keras, gotong royong, kekeluargaan, saling menghormati,
menghargai perbedaan pendapat, dan menepati janji. Selain itu, kata kebudayaan
dekat kata tamaddun atau peradaban yang pada hakikatnya adalah realisasi
atau implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari[30].
Dengan
demikian, dapat diketahui tradisi adalah adat kebiasaan yang sudah dilakukan
karena kebiasaan yang dipakai menjadi amalan yang diturunkan dari nenek moyang
atau leluhur kepada cucu dan sampai seterusnya. Pada konteks ini, Pesantren
yang menjadi tempat dissemination of the tradition for students (penyemaian
kebiasaan kepada para santri), di mana pembiasaan yang ditanamkan telah
berlangsung secara adat kebiasaan terhadap para santri yang belajar oleh para
kyai, guru atau pendidik di sebuah Pesantren tertentu.
Dalam
hal ini, seperti yang jelaskan oleh Abuddin Nata, setidaknya ada sembilan
bentuk tradisi yang ada di Pesantren yaitu: rihlah ilmiyah, meneliti,
menulis buku, membaca kitab kuning, mengamalkan thariqat, menulis buku,
penghapal, berpolitik dan tradisi yang bersifat social keagamaan lainnya[31].
1). Rihlah Ilmiyah
Secara harfiah berarti perjalanan
ilmu pengetahuan. secara bahasa dipahami, melakukan perjalanan dari suatu
daerah ke daerah lain, atau dari suatu Negara ke Negara lain, baik dekat maupun
jauh, dan terkadang bermukim dalam waktu cukup lama, bahkan tidak kembali ke
daerah asal, dengan tujuan utama mencari, menimba, memperdalam, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan mengajarkannya dan menuliskannya dalam
berbagai kitab[32].
Cacatan sejarah Indonesia, tentang adanya
para ulama Indonesia yang melakukan rihlah ilmiyah dari Indonesia ke
Makkah, Mesir dan beberapa Negara di dunia dalam waktu yang cukup lama yang
digunakan bukan hanya menuntut ilmu, melainkan juga mengajarkan, dan
mengembangkannya dalam bentuk menulis buku. Mereka itu antara lain: Nawawi al
Batani (1813/1897). Mahfudz al Tirmasi (1338 H/1919 M), Khalil Bangkalan
(1819-1925), K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959)[33],
Arsyad al Banjari (1122 H/1710-1227 H/1812 M), Sekh Muhammad Nafis al-Banjari
(1122-1227 H/1710-1812 M) atau (1160 H/1745 M)[34],
Sekh Kemas Fakr al Din (1133-1177 H/1719-1763 M)[35],
Sekh Abdul Samad al Palimbani ( w.1203 H/1789 M)[36],
Sekh Yusuf al Makassari (lahir 08 Syawal 1036 H/3 Juli 1626 M)[37]
dan lainnya.
2) Tradisi
menulis buku
Menulis buku adalah satu tradisi yang
dilakukan oleh para kiyai pesantren. Sebagai contoh Nawawi al-Bantani menulis
lebih dari 100 judul kitab yang terbagi ke dalam 9 ilmu agama, yaitu tafsir,
fiqh, ushul al din, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, tata bahasa Arab,
hadis dam akhlak[38].
3) Tradisi
Meneliti
Dilihat
dari sumbernya terdapat penelitian bayani, burhani, ijbari, jadali, dan irfani.
Penelitian bayai adalah yang berkaitan dengan kandungan al-Qur’an dan
as-Sunnah dengan berbekal penguasaan bahasa Arab dan berbagai cabangnya yang
kuat, ilmu tafsir dan berbagai cabangnya, ilmu Hadis, ilmu ushul fiqh, ilmu
qawaid al fiqiyah dan lainya. Hasil dari penelitian burhani ini
menghasikan ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, kalam,
tasawuf, dan sebagainya. Penelitian burhani juga menghasilkan ilmu-ilmu
social : ekonomi, politik, budaya, pendidikan, hukum, dan lainnya[39].
4) Membaca
kitab kuning
Membaca kitab kuning menjadi kegiatan
standar di Pesantren-Pesantren, sebab membaca kitab kuning merupakan cirri khas
yang lekat dengan Pondok Pesantren. Kitab kuning karangan Nawawi al-Batani dan
Mahfuz al-Tirmasi manjadi rujukan utama di Pesantren-Pesantren Jawa. Dengan
membaca kitab kuning ini, para kiyai Pesantren telah berhasil mewarnai corak
kehidupan keagamaa masyarakat pada umumnya[40].
5) Tradisi
berbahasa Arab
Berbahasa Arab menjadi kebiasaan
dipergunakan di pesantren, baik di kalangan para kiyai maupun di kalangan para
santri. Pembiasaan berbahasa Arab di Pesantren dapat dikatakan karena pengaruh
psikologis para kiyai yang biasa hidup di lingkungan berbahasa Arab di waktu
menuntut ilmu di Timur Tengah, ditambah dengan sumber-sumber ilmu yang
diajarkan, diteliti dan diekembangkan di Pesantren menggunakan bahasa Arab[41].
Banyak ulama Pesantren yang mengarang
kitab-kitabnya dengan berbahasa Arab, walaupun minimal dengan Arab Melayu, bukan
latin. Kebiasaan itu menunjukan kelekatannya dengan bahasa Arab
tersebut. Tentunya, penggunaan bahasa Arab di kalangan para santri sangat
penting untuk mendukung kemampuan mereka menggali ilmu-ilmu pengetahuan yang
bersumber dari tulisan Bahasa Arab.
Apalagi saat ini, kebutuhan penguasaan
bahasa Arab begitu sangat mutlak bagi para ulama, cendikiawan dan ilmuan. Untuk
melanjutkan studi ke luar negeri, setiap calon mahasiswa harus menguasai
kemampuan satu dari dua bahasa yaitu; Arab dan Inggris. Pondok Pesantren Gontor
Ponorogo umpamanya, menerapkan kebiasaan berbahasa Arab dan Inggris dalam
percakapan sehari-hari. Katika penulis ada tugas promosi kampus ke Pesantren
Modern Parabek Bukit Tinggi, terpampang, sebuah tulisan di depan kantor kepala
Pesantren, yang maksudnya lebih kurang: “Tidak melayani kecuali dengan
bahasa Arab dan Inggris”. Tradisi berbahasa dalam hal ini, berbahasa Arab
menjadi ciri khas Pesantren. Alumni Pesantren secara serta merta dianggap telah
mempunyai kemampuan berbahasa Arab ketika ia kembali ke masyarakat.
6) Tradisi
mengamalkan Thariqah
Mengamalkan thariqah sebagian besar
menjadi kebiasaan para ulama/kiyai/para santri di Pesantren. Mengamalkan thariqah
berarti bertasawuf untuk membersihkan aspek inti dari dimens ruhayiah manusia.
Kuatnya
tradisi pengamalan tasawuf di Pesantren dalam bentuk thariqah di
buktikan peneliti seperti Abdurrahman Mas’ud yang mengatakan: sebaaimana Ahmad
Khatib as-Sambas (w. 1878M), Nawawi adalah penganut sufisme ala al-Ghazali[42].
7) Tradisi
menghafal
Menghafal
merupakan salah satu metode yang sangat penting dilakukan di Pesantren.
Mengahapal dipergunakan untuk mengusai mata pelajaran pokok. Salah satu kitab
yang wajib di hafal adalah matan Alfiyah ibnu Malik yang berjumlah 1000
bait yang dihafal pada saat sebelum melaksanakan shalat lima waktu, secara
bersama-sama. Kitab-kitab wajib lainya, yaitu; Matan Imriti, Matan Jurumiyah
(keduannya gramatika bahasa Arab), MatanFathul Qarib Zabad (masing-masing
kitab fikih dan akhlak), Matan Tankil al Qoul dan Matan Hadis Arba’in al
Nawawiyah dalam bidang Hadis. Kemudian yang tidak ketinggalan menghafal
al-Qur’an 30 Juz secara bertahap[43].
8) Tradisi
berpolitik
Pesantren
selain sebagai gudang ilmu pengetahuan agama teoritis juga prakteknya. Dalam
kontek penjewantahannya terus merember ke aspek dunia yang luas, persoalan
keagamaan juga mencakup semua dimensi kehidupan manusia, termasuk politik.
Nampaknya Islam telah memberikan prinsip dalam menjalankan agenda politik yang
humanis dan Islami. Kegiatan politik dipandang oleh para kiyai dan santri di
pesantren tidak lahan yang terpisah tetapi satu sama lain saling melengkapi.
Politik bergunan untuk menegakkan posisi umat Islam terhadap umat lain,
sekaligus memudakah agenda dakwah risalah Islamiyah di seantoro dunia.
Kristaliasi pemahaman yang satu antara
Islam dan politik oleh para kiyai atau santri di Pesantren bisa lihat dengan
lahirnya Nahdhatul Ulama (NU) pada 1926 M, yang kemudian pada tahun 1970 an
menjadi salah satu partai politik peserta pemilu.
Munculnya paham nasionalisme yang berbasis
agama juga kombinasi pemahaman nasionalisme sekuler dengan pemahaman keislaman,
tentu saja dengan memasukan dimenasi agama ke dalam kerangka pemikiran
nasionalisme sekuler yang berkembang waktu itu. Munculnya ide paham nasionalisme
yang berbasis keagamaan digagas oleh K.H
Yasri Marzuki asal Situbondo[44].
Seperti yang diungkap di atas, kebiasaan
berpolitik tidak bisa dijauhkan dari kebiasaan berpolitik para penghuni
pesantren. Sebab politik merupakan salah satu jalan, strategi atau taktik untuk
memmuluskan perjalan dakwah Islam. Kalau berpolitik bisa menggapai tempat yang
strategis di pemerintahan atau kekuasaan, maka pekerjaan itu harus dilakukan,
dengan memagang kendali di pusaran kekuasaan maka proses dakwah akan semakin
mudah dilakukan. Sebaliknya, ketika pusaran kekuasaan dikuasai oleh orang yang
tidak menyukai perkembangan Islam, maka pertumbahan Islam bisa meredup bahkan
akan hilang ditelan kekuasaan yang berkuasa.
9) Tradisi
lainnya
Kebiasaan
lain yang diamalkan di Pesantren yang bersifat sosial keagamaan di antaranya;
tradisi berpoligami untuk memperbanyak keturunan agar lebih banyak lagi,
berziarah kubur, tradisi haulan, tradisi bersilaturahim dengan sesama
para santri[45].
Kebiasaan-kebiasaan tersebut diamalkan sebagai tradisi sosial keagamaan,
bersifat social berdimensi agama.
5. Fasilitas,
Metode Pendidikan Pesantren
a.
Fasilitas pesantren
Fasilitas yang disediakan pesantren untuk
menjalankan proses pendidikan dan pengajaran, bisa dilihat dari model bagunan
fisik Pesantren yang ada. Tidak sama fasilitas antara Pesantren yang satu
dengan yang lain, setidaknya ada lima pola model bangunan fisik Pesantren yang
ada di Indonesia yaitu[46]:
Pola
|
Bagian-bagian bangunan
|
Keterangan
|
I
|
Masjid, Rumah kiyai
|
Pesantren masih bersifat sederhana, di mana kiyai
menggunakan Masjid, atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Dalam pola
ini santri hanya datang dari daerah pesantren itu sendiri, namun mereka telah
mempelajari ilmu agama secara kontinu dan sistematis. Metode pengajaran : Wetonan
dan Sorogan.
|
II
|
Masjid, Rumah Kiyai dan Pondok
|
Dalam pola ini pondok telah memiliki pondok atau
asrama yang disediakan bagi para santri yang datang dari daerah. Metode
pengajaran (wetonan) dan (sorogan)
|
III
|
Masjid, Rumah kiyai, Pondok dan Madrasah
|
Dalam pola ini telah memakai system klasikal, di
mana santri yang mondok mendapat pendidikan di Madrasah. Adakalanya murid
Madrasah itu datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri. Di samping
system klasikal juga pengajaran system wetonan dilakukan juga oleh kiyai
|
IV
|
Masjid, Rumah kiyai, Pondok, Madrasah,
dan Tempat Keterampilan
|
Dalam pola ini di samping memiliki Madrasah juga
memiliki tempat-tempat keterampilan. Misalnya: Peternakan, pertanian,
kerajinan rakyat, toko koperasi dan sebagainya
|
V
|
Masjid, Rumah kiyai, Pondok, Madrasah,
dan Tempat Keterampilan, Universitas, Gedung Pertemuan, tempat Olahraga,
Sekolah umum
|
Dalam pola ini Pesantren yang sudaj berkembang dan
bisa digolongkan pesantren mandiri. Pesantren seperti ini telah memiliki
perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, rook, rumah,
penginapan tamu, ruang operation room, dan sebagainya. Dis samping itu
pesantren ini mengelola SMA dan sekolah kejuruan lainnya.
|
Dari tabel di atas dapat dilihat
fasilitas-fasilitas yang ada di pesantren di Indonesia, mulai dari yang
sederhana hingga yang sangat memadai. Pergeseran paradigma pengelola pesantren terhadap
perubahan zaman yang penuh persaingan, ditambah dengan berkembangnya teknologi,
keterampilan leadership dan kemampuan management yang baik, adalah menjadi
pemicu pondok pesantren berani berbenah menjadi lebih baik. Apalagi masuknya
hantaman globalisasi, dengan nuansa pemikiran serba materialisme-pragmatisme,
memaksa Pondok Pesantren harus peka melihat pergumulan yang dihadapi ummat
Islam Indonesia, dengan menyediakan pendidikan alternatif tanpa menanggalkan
kekhasannya.
b.
Metode Pendidikan Pengajaran Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren
pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan mata pelajaran ialah
kitab-kitab kuning. Metode khas Pesantren yang sering digunakan ialah[47]:
1) Wetonan, yaitu suatu metode kuliah/
pengajaran di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekaliling
kiyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan
mencatat jika perlu. Pelajaran dilakukan pada waktu-waktu tertentu, yaitu
sebelum dan sesudah shalat fardhu. Di jawa metode ini disebut bandongan
sedangkan di Sumatera Barat disebut halaqah.
2) Metode Sorogan, yaitu suatu metode di mana
para santri mengahadap kiyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang
akan dipelajarinya. Metode ini merupakan yang paling sulit dari keseluruhan
metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan kedisiplinan pribadi santri/kendatipun demikian, metode
ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada
kesempatan untuk tanya jawab langsung.
3) Metode hafalan, yaitu suatu metode di mana para
santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajari.
Tambahan
metode pengajaran pesantren lainya yaitu:
1) Metode
musyawarah/Bahtsul Masa’il
Metode
musyawarah merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi
atau seminar. Beberapa santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah
yang dipimpin langsung oleh kiyai atau Ustadz, atau juga santri senior, untuk
membahas atau mengkaji suatu persoalan yang ditentukan sebelumnya. Dalam
pelaksanaannya para santri dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau
pendapatnya[48].
2) Metode
Pengajian Pasaran
Metode
pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi
(kitab) tertentu pada seorang kiyai/ustadz yang dilakukan oleh sekelompok
santri dalam kegiatan terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu.
Pada umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh
hari, atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang
dikaji[49].
3) Metode
Demonstrasi/Praktek Ibadah
Metode ini
adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan suatu keterampilan
dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun
kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan kiyai atau ustadz[50].
C. Kesimpulan
Pesantren di Nusantara bagi sebagian ahli mengatakan telah ada abad 16,
namun sebagian lain justru telah ada saat nabi Muhammad saw mendakwahkan Islam
di rumah Arqam bin Abi al Arqam. Di samping itu, ada juga yang berpendapat
bahwa pesantren yang ada saat ini, adalah hasil islamisasi model pendidikan pra
kedatangan Islam di Nusantara yaitu pendidikan yang digunakan oleh Hindu dan
Budha.
Perkembangan pesantren dan tokohnya di Nusatara telah mulai
diperkenalkan oleh Walisongo pertama Abdul Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Syekh
Arsyad al-Banjari, Mbah kiyai Muqoyim, K.H. Hasyim ‘Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan,
Syekh Imam az-Zarkasy (pendiri pondok pesantren Ponorogo).
Ilmu yang berkembang di Pesantren di era awal hanya menfokuskan
pengajaran untuk ilmu-ilmu agama an sich, baru kemudian pesantren
bermetamorfosis dengan memasukan ilmu-ilmu umum untuk menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman. Fasilitas pesantren dapat dilihat kepada lima pola
pesantren, mulai model yang sangat sederhana sampai modern dengan fasilitas
yang sangat memadai, perubahan tersebut respon positif yang diambil oleh
pengelola pesantren agar tidak tertinggal dengan perkembangan dunia pendidikan
di luar Pesantren. Dari kesigapan itu, pesantren telah berhasil menjadi
pendidikan alternative tanpa menanggalkan identitasnya.
Metode pendidikan di Pesantren dikenal dengan wetonan, atau bandongan
di Jawa dan halaqah di Sumatera Barat, Sorogan, Hafalan, Musyawarah/Bahtsul
Masa’il, pengajian pasaran, dan metode demonstrasi/praktek ibadah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Asror, Ahidul (Ed) Proseding
Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia:
Challenge and Oppurtunity, STAIN Jember, 2013
Departemen Agama RI Direktorat Jendral
Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah, Jakarta: Depag RI, 2003
Mastuki, el-Saha, M.Ishom (Ed), Intelektual
Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren,
Jakarta: Diva Pustaka, 2003
Nizar. Samsul (Ed), Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: Kenacana Prenada Media Group, 2007
Nata, Abuddin, Sejarah Sosial
Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Jakarta: PT Radja Grafindo,
2012
------------------, Kapita Selekta
Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta:
Radja Grafindo Persada, 2013
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Ilmu, 2012
Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam
Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012
Sanusi, M., Kebiasaan-Kebiasaan
Inspiratif KH. Ahmad Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari teladan Kemuliaan Hidup,
Yogyakarta: Diva Press, 2013
[2] Samsul Nizar (Ed), Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kenacana Prenada Media Group, 2007), h. 280
[3] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
institusi pendidikannya, (Jakarta: PT Radja Grafindo, 2012), h. 296
[4] Ahidul Asror (Ed) Proseding Internasional
Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and
Oppurtunity, (STAIN Jember, 2013), h. 22
[6] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia
Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 75-76
[7] Departemen
Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan
Madrah Diniyah, (Jakarta: Depag
RI, 2003), h. 7-8
[11] Ahidul Asror
(Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in
Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, Op.Cit, h. 25
[12] Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan
Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah, Op.Cit, h. 8
[13] Ahidul Asror (Ed) Proseding Internasional
Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and
Oppurtunity, Op.Cit, h. 13
[14] Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual
Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren,
( Jakarta: Diva Pustaka, 2003), Seri I, h. 7-8
[21] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia
Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas,Op.Cit, h. 185
[22] M. Sanusi, Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad
Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari teladan Kemuliaan Hidup, (Yogyakarta: Diva
Press, 2013), h. 14
[25] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia
Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas,Op.Cit, h. 157
[26] Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan
Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah, Op.Cit, h. 29
[29] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam
Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Radja Grafindo
Persada, 2013), h.314
[31] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam
Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 115
[34] Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual
Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan
Pesantren,Op.Cit, h. 96
[38] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam
Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 317
[48] Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan
Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah, Op.Cit, h.43
No comments:
Post a Comment