16/12/2016

PENDIDIKAN PESANTREN DI NUSANTARA



A.   Pendahuluan
Institusi pendidikan Islam di Nusantra telah tumbuh dan berkembang, seiring berkembangnya penganut Islam. Pendidikan surau di Sumatera Barat, munasah di Aceh dan Pesantren di Jawa adalah yang terpenting dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Ketiga institusi pendidikan Islam tersebut, telah memainkan peran yang amat penting sejak tiga abad yang lalu[1].
Walaupun begitu, bukan berarti  tidak ada pendidikan lain yang juga memberikan sumbangsih dalam menstransmisi ajaran Islam, pendidikan seperti rangkang dan langgar juga menjadi bagian yang tidak bisa dikesampingkan. Namun andil yang besar nampaknya terpancar dari ketiga institusi di atas.
Perkembangan dan pertumbuhan  Institusi pendidikan di Nusantara dimulai dari bentuk yang sangat sederhana, yang kemudian setahap demi setahap menjadi sebuah tempat pendidikan modern yang menjadi bahan perhatian para ahli pendidikan di dalam maupun luar negeri[2].   Namun dari ketiga institusi pendidikan yang tetap eksis dengan  format yang lebih modern hanyalah Pesantren, sedangkan munasah dan surau tidak terdengar lagi kiprahnya. sehingga banyak bahasan, ulasan dan penelitian dilakukan para ahli pendidikan terhadap Pesantren di Indonesia.
Untuk membahas perkembangan surau, munasah, dan pesatren memerlukan kajian yang komprehensif, karena cakupan yang luas sehingga dibutuhkan data-data serta sumber yang beragam. Maka, pada bahasan ini penulis concern membahas pendidikan Pesantren dengan sistematika penulisan: Pendahuluan, pembahasan mencakup; Pengertian Pesantren, Perkembangan Pesantren di Nusatara, Tokoh Pendidiri Pesantren, ilmu yang berkembang di Pesantren, dan Fasilitas. Metode Pendidikan di Pesantren, Kesimpulan dan essay latihan.

B.    Pembahasan
1.          Pengertian Pesantren
Secara bahasa, kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan pe, dan akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri atau murid[3]. Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren tempat membina manusia menjadi orang baik[4].
Dalam pandangan Nurcholish Madjid asal usul kata “santri” bisa dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari kata “sastri”, sebuah bahasa Sanskerta yang berarti melek huruf. Menurut Zamkhasyari Dhofier berpendapat kata “santri” berasal dari bahasa India yang artinya orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab agama Hindu. Secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku ilmu pengetahuan. Kedua, pendapat yang mengatakan kata “santri’ sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa yaitu “cantrik” yang berarti seorang yang selalu mengikuti ke manapun seorang guru pergi menetap[5].
Dalam pendapat lain menyebutkan, pesantren masih berakar dari kata ‘santri’, yang berarti “terpelajar” (learned) atau “ulama” (scholar). Jika santri menunjuk kepada murid, maka Pesantren menunjuk kepada lembaga pendidikan. Pesantren disebut juga ‘Pondok Pesantren’. Kedua sebutan tersebut sering digunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama. Sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia   perkataan ‘pondok’ dan ‘pesantren’ dengan maksud yang sama, yaitu “asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji”. Pendeknya, kedua sebutan tersebut mengandung arti lembaga pendidikan Islam yang didalamnya terhadap unsure-unsur ‘kiai’ (pemilik), ‘santri’ (murid), ‘masjid’ atau ‘mushalla’ (tempat belajar), asrama (penginapan santri), dan ‘kitab-kitab klasik Islam (bahan pelajaran)[6].

2.        Perkembangan Pesantren di Nusantara
Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa Pondok Pesantren adalah bentuk lembaga tertua di Indonesia. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya Pesantren atau Pondok Pesantren berakar pada tradisi Islam itu sendiri dan pedapat kedua mengatakan sistem pendidikan model Pondok Pesantren adalah asli Indonesia[7].
Dalam pendapat pertama ada dua versi, ada yang berpendapat Pondok Pesantren berawal sejak zaman Nabi masih hidup. Dalam awal-awal dakwahnya, Nabi melakukan dakwah sembunyi-sembunyi dengan peserta sekelompok orang, dilakukan di rumah-rumah, seperti yang tercatat dalam sejarah, salah satunya rumah Aram bin Abi Arqam. Versi kedua menyebutkan Pondok Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tepat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang melaksanakan amalan-amalan dzikir dan wirid tertentu[8].
Pemimpin tarekat disebut kyai, yang mewajibkan pengikutnya melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan kegiatan ibadah di bawah bimbingan kyai. untuk keperluan suluk ini, para kyai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terdapat di kiri-kanan masjid[9].
Tempat kedua mengatakan, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya ialah pengambil-alihan dari sistem Pondok Pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantra. Hal ini didasarkan pada fakta jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga Pondok Pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Fakta lain yang menunjukan Pondok Pesantren bukan berasal dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga Pondok Pesantren di Negara-negara Islam lainya[10].
Fakta di atas sebagaimana dikuatkan oleh Zamakhsyari Dhofier (dalam Ahidul Asror) bahwa rekontruksi masa awal pembangunan tradisi pesantren terjadi antara abad ke 11 dan ke 14. Masa itu merupakan masa transisi dari peradaban Hindhu Budha Majapahit ke masa periode pembangunan peradaban Melayu Nusantara[11].
Pembangunan tradisi pesantren (sebelum Islam) pengajaran agama Hindhu dan Bundha telah berlangsung, mulai dari beralihnya masyarakat dari Hindhu ke Budha dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan dan berpindah lagi ke Islam setelah gelombang Islam menguat di Asia Tenggara, tanpa pertumpahan darah atau dengan jalan damai. Proses peralihan demi peralihan yang damai itu menggunakan pendekatan penjaran Pondok Pesantren yang damai dan toleran. Di samping telah terjalinnya relasi positif antara ajaran Islam dengan kultur lokal. Kultur lokal yang dimaksud ialah dengan pendekatan bercorak Pondok Pesantren yang damai biasa digunakan zaman Hindhu dan Budha di Nusantara dalam menstransmisi ajaran-ajarannya. 
Lebih jauh Pondok Pesantren di Indonesia diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke 16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, tasawuf dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam  yaitu Pondok Pesantren[12]. 
3. Tokoh Pendiri Pesantren
       Pondok pesantren yang berkonotasi Islam an sich, adalah lekat dengan masyarakat luas. Memang nuansa yang muncul dari kata Pondok Pesantren ialah pengajaran rumpun-rumpun ilmu agama yang diajarkan para ulama (kyai) yang mempunyai ilmu agama yang dalam. Di samping itu, alumni-alumninya juga bakal menjadi ulama dengan kemampuan turunan seperti ulama (kyai) di mana ia belajar.
       Walaupun dalam kajian asal usul pesantren itu sendiri masih belum satu, yaitu apakah Pondok Pesantren murni dikembangkan dari rahim Islam di Indonesia atau memang Islam telah melakukan islamisasi terhadap lembaga pendidikan yang telah ada sebelum Islam datang di Nusantara. Untuk pertanyaan pertama penulis masih kekurangan data-data pasti tentang itu dan belum bisa mengungkapkan siapa orang pertama yang mendirikan lembaga tersebut walaupun faktanya di tempat lain di Asia Tengggara tidak temukan lembaga sejenis. Seperti di Malaysia, Thailand, Singapura dan Brunai penyebaran Islam hampir bersamaan berkembang dengan Indonesia namun yang ada di negeri-negeri tersebut adalah sejenis Madrasah atau pondok atau funduk[13].   Namun untuk pertanyaan kedua jelas bahwa Pondok Pesantren diketahui keberadaan abad ke 16 bahkan menurut sumber lain Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di Nusantara sudah mulai abad ke 15. Tokoh yang pertama kali mendirikan Pesantren adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim (w.1419 M) yang berasal dari Gujarat. India, sekaligus tokoh pertama yang mengislamkan Jawa[14].
       Maulana Malik Ibrahim dalam mengembangkan dakwahnya menggunakan masjid dan Pesantren sebagai transmisi keilmuan Islam. Pada gilirannya, transmisi yang dikembangkan oleh Maulana Malik Ibrahim ini melahirkan Walisongo[15] yang dikenal di Jawa.  Salah seorang Walisongo yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel) mendirikan Pesantren pertama di Kembang Kuning, Surabaya tahun 1619 M. Selanjutnya, Sunan Ampel mendirikan Pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur saa itu. Pada tahap selanjutnya, berdiri Pesantren baru di berbagai tempat, seperti Sunan Gunung Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, dan Raden Fatah di Dema, Jawa Tengah[16].
       Selain di Jawa kita mengenal perkembangan Pesantren era awal Islam di Nusantara, ternyata perkembangan Islam melalui Pesantren yang diperkenalkan oleh syekh Arsyad al Banjari di Martapura (Ibu Kota Kesultanan Banjar) dengan meminta sebidang tanah kepada sultan Tahmid Allah (1187-1223 H/1778-1808 M), tepatnya beberapa tahun setelah sekembalinya dari Makkah al Mukarramah untuk mendalami ilmu agama dan ilmu falak. Permintaan sebidang tanah dikabulkan sultan dengan memberikan sebidang tanah kosong yang masih berupa hutan belukar di luar Ibu Kota Kesultanan Banjar[17]. 
       Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat rumah-rumah, tempat pengajian, perpustakaan dan asrama para santri. Semenjak itu, kampung yang baru dibuka tersebut didatangi oleh para santri yang datang dari berbagai pelosok daerah. Pesantren yang dibangun di daerah pelosok, di luar Martapura ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses belajar menagajar para santri; tenang, damai, akrab dan belum terkontaminasi dengan budaya-budaya perkotaan. Pesantren yang dibangun di daerah pelosok, selain berfungsi sebagai pusat keagamaan juga pusat pertanian, karena di sana Syekh Arsyad bersama dengan beberapa guru dan santri mengolah tanah lingkungan itu menjadi sawah yang produktif dan kebun-kebun sayuran[18].
       Pesantren yang terkenal lainnya yang didirikan Mbah Kiyai Muqoyyim di daerah Buntet Cirebon, sekitar 12 km dari pusat keraton Kenoman. Pesantren ini didirikan untuk melawan penjajah Belanda yang mengusai kerajaan Cirebon. Muridnya yang terkenal ialah Pengeran Muhammad Chaeruddin salah seorang pewaris tahta Kenoman yang tidak setuju dengan sikap tunduk keraton kepada Belanda[19]. Mengingat jasa-jasa pesantren yang besar sebagai benteng terakhir umat Islam dalam menyerukan perjuangan kemerdekaan Indonesia pada zaman penjajahan, patutlah pemerintah memperhatikan dan memelihara eksistensinya, sehingga para pejuang terus hadir dan lahir untuk bisa mengisi kemerdekaan ini dengan sebaiknya.
       Pesantren selain mengajarkan ilmu-ilmu Islam tok, juga dikenal dengan konotasi jadul dengan fasilitas, dan metode pengajaran yang bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman, namun walaupun begitu dengan keterbatasannya telah banyak melahirkan para pejuang-pejuang yang ikhlas menjadi syuhada demi kemerdekaan Indonesia dan menegakkan kalimat syahadat.
       Seseuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman, terutama setelah Indonesia merdeka, telah banyak perubahan-perubahan dalam dunia Pesantren . Telah banyak Pesantren yang menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada, walaupun masih ada juga Pesantren yang dianggap konservatif dengan tetap bertahan dengan pola lamanya[20].
       Pesantren yang berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang dianggap modern seperti yang didirikan oleh Imam az-Zarkasy yaitu Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, Pesantren Tebu-Ireng yang didirikan kakek mantan presiden Indonesia Abdurahman Wahid yakni KH. Hasyim al-Asy’ary (1871-1947 M), Model dan pola Pesantren Tebuireng dapat dikatakan sebagai kiblat Pesantren dan ulama-ulama  terutama di Jawa. Hampir seluruh Pesantren terkemuka di Jawa didirikan murid-murid Kiyai Hasyim Asy’ari[21]. Pada pengalaman kebangkitan pergerakan Islam modern yang didirikan KH. Ahmad Dahlan (lahir 1868 M)[22], pada tahun 1912 di Yogyakarta, selain membangun embrio sekolah terpadu[23] KH. Ahmad Dahlan tetap memberikan perhatian kepada pendidikan Pondok Pesantren Muhammadiyah. Walaupun tidak sebanyak yang didirikan oleh orang-orang NU, Muhammadiyah hanya memiliki 57 buah Pondok Pesantren di seluruh[24]. Di samping jumlah pendidikan Muhammadiyah lebih kurang 6.684 buah di seluruh Indonesia[25].

4. Ilmu dan Tradisi yang dikembangkan Pesantren
a. Ilmu pengetahuan yang dikebangkan di Pesantren
Pondok Pesantren mengenal Istilah kitab kuning, di samping juga dikenal “kitab klasik”. Kedua jenis kitab tersebut diajarkan kepada santri dengan disesuaikan dengan manhaj Pesantren. Pengajaran ilmu pengetahuan di Pondok Pesantren berdasarkan tipologi dari Pondok Pesantren itu sendiri. Berdasarkan penyelenggaraanya Pondok Pesantren dibedakan kepada tiga tipologi yaitu; Pondok Pesantren Salafiyah, Pondok Pesantren Khalafiyah (‘Ashriyah), Pondok Pesantren Campuran/Kombinasi. 
Pondok Pesantren Salafiyah atau bisa dimaknai dari kata “salaf” yang berarti “lama”, dahulu, atau “tradisional”. Pondok Pesantren  Salafiyah bercorak tradisional dengan mengajaran ilmu-ilmu agama an sich. Ilmu-ilmu agama Islam yang diajarkan dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Penjenjangan tidak didasarkan pada satuan waktu, tetapi beradasarkan tamatnya kitab yang dipelajari. Dengan selesainya satu kitab tertentu, santri dapat naik jenjang dengan mempelajari kitab yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Demikian seterusnya, contoh kitab untuk tingkat dasar seperti; kitab Tauhid ( al-Jawahr al Kalamiyyah) sedangkan untuk tingkatan pertama kitab tauhid yang diajarkan; Aqidah al Awwam, tingkat menengah;  Tuhfah al Murid, tingkat tinggi; Fath al Majid[26].
Pondok pesantren al Khalafiyah (‘Ashriyah) yang dimaknai dari kata “Khalaf” yaitu “belakangan”, “kemudian” berarti “sekarang”, atau “modern”. Pondok Pesantren Khalafiyah adalah Pondok Pesantren yang penyelenggaraan kegiatan pendidkan dengan pendekatan modern, melalui satuan pendidikan formal, baik madrsah (MI, MTs, MA atau MAK), maupun sekolah (SD, SMP, SMU/A dan SMK) atau nama lainnya, tetapi dengan pendekatan klasikal[27].
Pondok Pesantren Campuran/Kombinasi yaitu kombinasi model Pondok Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah di atas. Di samping itu, ada juga tipolagi Pondok Pesantren berdasarkan konsentrasi ilmu-ilmu agama yang diajarkan. Di sini dikenal dengan Pondok Pesantren al-Qur’an, melalui qira’ah sampai tahfiz. Ada Pesantren Hadist, yang lebih berkonsentrasi pada pengajaran Hadist. Ada Pesantren fiqih, Pesantren Ushul Fiqh, Pesantren Tasawuf dan sebagainya.
Pondok Pesantren dengan ciri atau tipologi di atas, semuanya memakai sistem “ngaji kitab”, itulah yang selama ini diakui sebagai salah satu identitas Pondok Pesantren. tanpa penyelenggaraan pengajian kitab klasik, agak janggal disebut sebagai Pondok Pesantren. Selain kajian kitab-kitab kuning standar Pondok Pesantren, masih banyak lagi kajian kitab-kitab lain yang sifatnya pendalaman, seperti dalam bidang tafsir; Ma’ani al-Qur’an, al Basith, al Bahal al muhith, ahkam al Qur’an, Lubab al Nuqul fi asbab nuzul al Qur’an, Jami’ al ahkam al Qur’an, Burhan fi ‘Ulum al Qur’an dan I’jaz al Qur’an. Bidang hadist; al Muwatha’, Sunan al-Turmuzi, Sunan Abu Daud, Nasa’I, Ibnu Majah, al Musnad, al-Targhib wa al Tarhib dan sulubu al salam. Kajian bidang fiqih; al Syarh al Kabir, al Umm, al Risalah, al Muhalla, Fiqih al Sunnah, Min Taujihah al Islam, al Fatawa, al Mughni li ibnu Qudamah, al Islam Aqidah wa syariah dan Zaad al Mad[28].
Dari uraian di atas jelas bahwa konten ilmu pengetahuan yang diajarkan atau dikembangkan di Pesantren bersifat Islam tok (tempat tafaquf fiddin), kecuali Pesantren Khalafiyah As’ary yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan Madrasah seperti yang dirancang pemerintah dan swasta lainya, dengan mengkombinasikan pengajaran ilmu-ilmu dunia/umum dengan ilmu-ilmu agama.
b. Tradisi yang dikembangkan di Pesantren
Kata “tradisi” berasal dari kata Inggris “tradition” yang bermakna kebiasaan, kepercayaan, adat, ajaran dan sebagainya yang diturunkan dari nenek moyang atau leluhur kepada cucu dan terus ke bawahnya. Kata adat di berasal dari bahasa Arab, jamaknya ‘Awaid  yang artinya kebiasaan (habit), wont (kebisaan), custom (adat), usage (pemakaian), practice (amalan). Selanjutnya, menjadi ‘adatan yang bersinonim usually (yang sudah dibiasakan), customarily (adat kebiasaan), ordinarily (yang dibiasakan), dan habitually (yang dilakukan karena kebiasaan)[29].
Pengertian tradisi ini selanjutnya dekat dengan pengertian culture, yakni kesopan dan kebudayaan. dan kebudayaan itu sendiri berarti nilai (values) yang diseleksi dan ditetapkan sebagai unggul dan baik, yang selanjutnya dipahami, dihayati, dan diamalkan, serta digunakan sebagai framework (system kerja akal) atau alat dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut seperti kejujuran, kedisipilinan, kemandirian, kerja keras, gotong royong, kekeluargaan, saling menghormati, menghargai perbedaan pendapat, dan menepati janji. Selain itu, kata kebudayaan dekat kata tamaddun atau peradaban yang pada hakikatnya adalah realisasi atau implementasi dari nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari[30].      
       Dengan demikian, dapat diketahui tradisi adalah adat kebiasaan yang sudah dilakukan karena kebiasaan yang dipakai menjadi amalan yang diturunkan dari nenek moyang atau leluhur kepada cucu dan sampai seterusnya. Pada konteks ini, Pesantren yang menjadi tempat dissemination of the tradition for students (penyemaian kebiasaan kepada para santri), di mana pembiasaan yang ditanamkan telah berlangsung secara adat kebiasaan terhadap para santri yang belajar oleh para kyai, guru atau pendidik di sebuah Pesantren tertentu.
       Dalam hal ini, seperti yang jelaskan oleh Abuddin Nata, setidaknya ada sembilan bentuk tradisi yang ada di Pesantren yaitu: rihlah ilmiyah, meneliti, menulis buku, membaca kitab kuning, mengamalkan thariqat, menulis buku, penghapal, berpolitik dan tradisi yang bersifat social keagamaan lainnya[31].
1). Rihlah Ilmiyah
Secara harfiah berarti perjalanan ilmu pengetahuan. secara bahasa dipahami, melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari suatu Negara ke Negara lain, baik dekat maupun jauh, dan terkadang bermukim dalam waktu cukup lama, bahkan tidak kembali ke daerah asal, dengan tujuan utama mencari, menimba, memperdalam, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan mengajarkannya dan menuliskannya dalam berbagai kitab[32].
Cacatan sejarah Indonesia, tentang adanya para ulama Indonesia yang melakukan rihlah ilmiyah dari Indonesia ke Makkah, Mesir dan beberapa Negara di dunia dalam waktu yang cukup lama yang digunakan bukan hanya menuntut ilmu, melainkan juga mengajarkan, dan mengembangkannya dalam bentuk menulis buku. Mereka itu antara lain: Nawawi al Batani (1813/1897). Mahfudz al Tirmasi (1338 H/1919 M), Khalil Bangkalan (1819-1925), K.H.R. Asnawi Kudus (1861-1959)[33], Arsyad al Banjari (1122 H/1710-1227 H/1812 M), Sekh Muhammad Nafis al-Banjari (1122-1227 H/1710-1812 M) atau (1160 H/1745 M)[34], Sekh Kemas Fakr al Din (1133-1177 H/1719-1763 M)[35], Sekh Abdul Samad al Palimbani ( w.1203 H/1789 M)[36], Sekh Yusuf al Makassari (lahir 08 Syawal 1036 H/3 Juli 1626 M)[37] dan lainnya.
2) Tradisi menulis buku
Menulis buku adalah satu tradisi yang dilakukan oleh para kiyai pesantren. Sebagai contoh Nawawi al-Bantani menulis lebih dari 100 judul kitab yang terbagi ke dalam 9 ilmu agama, yaitu tafsir, fiqh, ushul al din, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, tata bahasa Arab, hadis dam akhlak[38].
3) Tradisi Meneliti
       Dilihat dari sumbernya terdapat penelitian bayani, burhani, ijbari, jadali, dan irfani. Penelitian bayai adalah yang berkaitan dengan kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan berbekal penguasaan bahasa Arab dan berbagai cabangnya yang kuat, ilmu tafsir dan berbagai cabangnya, ilmu Hadis, ilmu ushul fiqh, ilmu qawaid al fiqiyah dan lainya. Hasil dari penelitian burhani ini menghasikan ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, kalam, tasawuf, dan sebagainya. Penelitian burhani juga menghasilkan ilmu-ilmu social : ekonomi, politik, budaya, pendidikan, hukum, dan lainnya[39].
4) Membaca kitab kuning
Membaca kitab kuning menjadi kegiatan standar di Pesantren-Pesantren, sebab membaca kitab kuning merupakan cirri khas yang lekat dengan Pondok Pesantren. Kitab kuning karangan Nawawi al-Batani dan Mahfuz al-Tirmasi manjadi rujukan utama di Pesantren-Pesantren Jawa. Dengan membaca kitab kuning ini, para kiyai Pesantren telah berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaa masyarakat pada umumnya[40]. 
5) Tradisi berbahasa Arab
            Berbahasa Arab menjadi kebiasaan dipergunakan di pesantren, baik di kalangan para kiyai maupun di kalangan para santri. Pembiasaan berbahasa Arab di Pesantren dapat dikatakan karena pengaruh psikologis para kiyai yang biasa hidup di lingkungan berbahasa Arab di waktu menuntut ilmu di Timur Tengah, ditambah dengan sumber-sumber ilmu yang diajarkan, diteliti dan diekembangkan di Pesantren menggunakan bahasa Arab[41].
Banyak ulama Pesantren yang mengarang kitab-kitabnya dengan berbahasa Arab, walaupun minimal dengan Arab Melayu, bukan latin. Kebiasaan itu menunjukan kelekatannya dengan bahasa Arab tersebut. Tentunya, penggunaan bahasa Arab di kalangan para santri sangat penting untuk mendukung kemampuan mereka menggali ilmu-ilmu pengetahuan yang bersumber dari tulisan Bahasa Arab.
Apalagi saat ini, kebutuhan penguasaan bahasa Arab begitu sangat mutlak bagi para ulama, cendikiawan dan ilmuan. Untuk melanjutkan studi ke luar negeri, setiap calon mahasiswa harus menguasai kemampuan satu dari dua bahasa yaitu; Arab dan Inggris. Pondok Pesantren Gontor Ponorogo umpamanya, menerapkan kebiasaan berbahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari-hari. Katika penulis ada tugas promosi kampus ke Pesantren Modern Parabek Bukit Tinggi, terpampang, sebuah tulisan di depan kantor kepala Pesantren, yang maksudnya lebih kurang: “Tidak melayani kecuali dengan bahasa Arab dan Inggris”. Tradisi berbahasa dalam hal ini, berbahasa Arab menjadi ciri khas Pesantren. Alumni Pesantren secara serta merta dianggap telah mempunyai kemampuan berbahasa Arab ketika ia kembali ke masyarakat.
6) Tradisi mengamalkan Thariqah  
Mengamalkan thariqah sebagian besar menjadi kebiasaan para ulama/kiyai/para santri di Pesantren. Mengamalkan thariqah berarti bertasawuf untuk membersihkan aspek inti dari dimens ruhayiah manusia.
       Kuatnya tradisi pengamalan tasawuf di Pesantren dalam bentuk thariqah di buktikan peneliti seperti Abdurrahman Mas’ud yang mengatakan: sebaaimana Ahmad Khatib as-Sambas (w. 1878M), Nawawi adalah penganut sufisme ala al-Ghazali[42].
7) Tradisi menghafal
       Menghafal merupakan salah satu metode yang sangat penting dilakukan di Pesantren. Mengahapal dipergunakan untuk mengusai mata pelajaran pokok. Salah satu kitab yang wajib di hafal adalah matan Alfiyah ibnu Malik yang berjumlah 1000 bait yang dihafal pada saat sebelum melaksanakan shalat lima waktu, secara bersama-sama. Kitab-kitab wajib lainya, yaitu; Matan Imriti, Matan Jurumiyah (keduannya gramatika bahasa Arab), MatanFathul Qarib Zabad (masing-masing kitab fikih dan akhlak), Matan Tankil al Qoul dan Matan Hadis Arba’in al Nawawiyah dalam bidang Hadis. Kemudian yang tidak ketinggalan menghafal al-Qur’an 30 Juz secara bertahap[43].  
8) Tradisi berpolitik
       Pesantren selain sebagai gudang ilmu pengetahuan agama teoritis juga prakteknya. Dalam kontek penjewantahannya terus merember ke aspek dunia yang luas, persoalan keagamaan juga mencakup semua dimensi kehidupan manusia, termasuk politik. Nampaknya Islam telah memberikan prinsip dalam menjalankan agenda politik yang humanis dan Islami. Kegiatan politik dipandang oleh para kiyai dan santri di pesantren tidak lahan yang terpisah tetapi satu sama lain saling melengkapi. Politik bergunan untuk menegakkan posisi umat Islam terhadap umat lain, sekaligus memudakah agenda dakwah risalah Islamiyah di seantoro dunia.
Kristaliasi pemahaman yang satu antara Islam dan politik oleh para kiyai atau santri di Pesantren bisa lihat dengan lahirnya Nahdhatul Ulama (NU) pada 1926 M, yang kemudian pada tahun 1970 an menjadi salah satu partai politik peserta pemilu.
Munculnya paham nasionalisme yang berbasis agama juga kombinasi pemahaman nasionalisme sekuler dengan pemahaman keislaman, tentu saja dengan memasukan dimenasi agama ke dalam kerangka pemikiran nasionalisme sekuler yang berkembang waktu itu. Munculnya ide paham nasionalisme yang berbasis  keagamaan digagas oleh K.H Yasri Marzuki asal Situbondo[44].
Seperti yang diungkap di atas, kebiasaan berpolitik tidak bisa dijauhkan dari kebiasaan berpolitik para penghuni pesantren. Sebab politik merupakan salah satu jalan, strategi atau taktik untuk memmuluskan perjalan dakwah Islam. Kalau berpolitik bisa menggapai tempat yang strategis di pemerintahan atau kekuasaan, maka pekerjaan itu harus dilakukan, dengan memagang kendali di pusaran kekuasaan maka proses dakwah akan semakin mudah dilakukan. Sebaliknya, ketika pusaran kekuasaan dikuasai oleh orang yang tidak menyukai perkembangan Islam, maka pertumbahan Islam bisa meredup bahkan akan hilang ditelan kekuasaan yang berkuasa.
9) Tradisi lainnya
       Kebiasaan lain yang diamalkan di Pesantren yang bersifat sosial keagamaan di antaranya; tradisi berpoligami untuk memperbanyak keturunan agar lebih banyak lagi, berziarah kubur, tradisi haulan, tradisi bersilaturahim dengan sesama para santri[45]. Kebiasaan-kebiasaan tersebut diamalkan sebagai tradisi sosial keagamaan, bersifat social berdimensi agama.
 
5. Fasilitas, Metode Pendidikan Pesantren
       a. Fasilitas pesantren
Fasilitas yang disediakan pesantren untuk menjalankan proses pendidikan dan pengajaran, bisa dilihat dari model bagunan fisik Pesantren yang ada. Tidak sama fasilitas antara Pesantren yang satu dengan yang lain, setidaknya ada lima pola model bangunan fisik Pesantren yang ada di Indonesia yaitu[46]:

Pola
Bagian-bagian bangunan
Keterangan
I
Masjid, Rumah kiyai
Pesantren masih bersifat sederhana, di mana kiyai menggunakan Masjid, atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Dalam pola ini santri hanya datang dari daerah pesantren itu sendiri, namun mereka telah mempelajari ilmu agama secara kontinu dan sistematis. Metode pengajaran : Wetonan dan Sorogan.
II
Masjid, Rumah Kiyai dan Pondok
Dalam pola ini pondok telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri yang datang dari daerah. Metode pengajaran (wetonan) dan (sorogan)
III
Masjid, Rumah kiyai, Pondok dan Madrasah
Dalam pola ini telah memakai system klasikal, di mana santri yang mondok mendapat pendidikan di Madrasah. Adakalanya murid Madrasah itu datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri. Di samping system klasikal juga pengajaran system wetonan dilakukan juga oleh kiyai
IV
Masjid, Rumah kiyai, Pondok, Madrasah, dan Tempat Keterampilan
Dalam pola ini di samping memiliki Madrasah juga memiliki tempat-tempat keterampilan. Misalnya: Peternakan, pertanian, kerajinan rakyat, toko koperasi dan sebagainya
V
Masjid, Rumah kiyai, Pondok, Madrasah, dan Tempat Keterampilan, Universitas, Gedung Pertemuan, tempat Olahraga, Sekolah umum
Dalam pola ini Pesantren yang sudaj berkembang dan bisa digolongkan pesantren mandiri. Pesantren seperti ini telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, rook, rumah, penginapan tamu, ruang operation room, dan sebagainya. Dis samping itu pesantren ini mengelola SMA dan sekolah kejuruan lainnya.

Dari tabel di atas dapat dilihat fasilitas-fasilitas yang ada di pesantren di Indonesia, mulai dari yang sederhana hingga yang sangat memadai. Pergeseran paradigma pengelola pesantren terhadap perubahan zaman yang penuh persaingan, ditambah dengan berkembangnya teknologi, keterampilan leadership dan kemampuan management yang baik, adalah menjadi pemicu pondok pesantren berani berbenah menjadi lebih baik. Apalagi masuknya hantaman globalisasi, dengan nuansa pemikiran serba materialisme-pragmatisme, memaksa Pondok Pesantren harus peka melihat pergumulan yang dihadapi ummat Islam Indonesia, dengan menyediakan pendidikan alternatif tanpa menanggalkan kekhasannya.
            b. Metode Pendidikan Pengajaran Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan mata pelajaran ialah kitab-kitab kuning. Metode khas Pesantren yang sering digunakan ialah[47]:
1) Wetonan, yaitu suatu metode kuliah/ pengajaran di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekaliling kiyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran dilakukan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah shalat fardhu. Di jawa metode ini disebut bandongan  sedangkan di Sumatera Barat disebut halaqah.
2) Metode Sorogan, yaitu suatu metode di mana para santri mengahadap kiyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode ini merupakan yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan kedisiplinan pribadi santri/kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
3) Metode hafalan, yaitu suatu metode di mana para santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajari.  
       Tambahan metode pengajaran pesantren lainya yaitu:
1) Metode musyawarah/Bahtsul Masa’il
       Metode musyawarah merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kiyai atau Ustadz, atau juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya para santri dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pendapatnya[48].
2) Metode Pengajian Pasaran
       Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kiyai/ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari, atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji[49].
3) Metode Demonstrasi/Praktek Ibadah
       Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan kiyai atau ustadz[50].  

C. Kesimpulan
Pesantren di Nusantara bagi sebagian ahli mengatakan telah ada abad 16, namun sebagian lain justru telah ada saat nabi Muhammad saw mendakwahkan Islam di rumah Arqam bin Abi al Arqam. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa pesantren yang ada saat ini, adalah hasil islamisasi model pendidikan pra kedatangan Islam di Nusantara yaitu pendidikan yang digunakan oleh Hindu dan Budha. 
Perkembangan pesantren dan tokohnya di Nusatara telah mulai diperkenalkan oleh Walisongo pertama Abdul Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Syekh Arsyad al-Banjari, Mbah kiyai Muqoyim, K.H. Hasyim ‘Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, Syekh Imam az-Zarkasy (pendiri pondok pesantren Ponorogo).
Ilmu yang berkembang di Pesantren di era awal hanya menfokuskan pengajaran untuk ilmu-ilmu agama an sich, baru kemudian pesantren bermetamorfosis dengan memasukan ilmu-ilmu umum untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Fasilitas pesantren dapat dilihat kepada lima pola pesantren, mulai model yang sangat sederhana sampai modern dengan fasilitas yang sangat memadai, perubahan tersebut respon positif yang diambil oleh pengelola pesantren agar tidak tertinggal dengan perkembangan dunia pendidikan di luar Pesantren. Dari kesigapan itu, pesantren telah berhasil menjadi pendidikan alternative tanpa menanggalkan identitasnya.
Metode pendidikan di Pesantren dikenal dengan wetonan, atau bandongan di Jawa dan halaqah di Sumatera Barat, Sorogan, Hafalan, Musyawarah/Bahtsul Masa’il, pengajian pasaran, dan metode demonstrasi/praktek ibadah.
 
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Asror, Ahidul (Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, STAIN Jember, 2013

Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  Jakarta: Depag RI,  2003

Mastuki, el-Saha, M.Ishom (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003

Nizar. Samsul (Ed), Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kenacana Prenada Media Group, 2007

Nata, Abuddin, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Jakarta: PT Radja Grafindo, 2012

------------------, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2013

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Ilmu, 2012

Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012

Sanusi, M., Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari teladan Kemuliaan Hidup, Yogyakarta: Diva Press, 2013



[1] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Ilmu, 2012), h. 375
[2] Samsul Nizar (Ed), Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kenacana Prenada Media Group, 2007), h. 280
[3] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, (Jakarta: PT Radja Grafindo, 2012), h. 296
[4] Ahidul Asror (Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, (STAIN Jember, 2013), h. 22
[5] Ibid
[6] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 75-76
[7]  Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  (Jakarta: Depag RI,  2003), h. 7-8
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11]  Ahidul Asror (Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, Op.Cit, h. 25
[12] Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  Op.Cit, h. 8
[13] Ahidul Asror (Ed) Proseding Internasional Conference on Future of Islamic Civilization in Southeast Asia: Challenge and Oppurtunity, Op.Cit, h. 13
[14] Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, ( Jakarta: Diva Pustaka, 2003), Seri I, h. 7-8
[15] Ibid
[16] bid
[17] Ibid, h. 104
[18]  Ibid
[19] Ibid, h. 192-193
[20] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.Cit, h.176
[21] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas,Op.Cit, h. 185
[22] M. Sanusi, Kebiasaan-Kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari teladan Kemuliaan Hidup, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 14
[23]  Sistem pendidikan yang mengintegrasikan pelajaran umum dan agama di sekolah
[24] Ibid,h. 156
[25] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad 20 Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas,Op.Cit, h. 157
[26] Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  Op.Cit, h. 29
[27] Ibid, h. 30
[28] Ibid, h. 36
[29] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2013), h.314
[30] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Op.Cit, h. 309
[31] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 115
[32] Ibid. h. 115-116
[33] Ibid
[34] Mastuki, M.Ishom el-Saha (Ed), Intelektual Pesantren, Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren,Op.Cit, h. 96
[35] Ibid, h. 135
[36] Ibid, h. 139
[37] Ibid, h. 151
[38] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Konterporer tentang Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 317
[39] Ibid, h. 319
[40] Ibid, h. 321
[41] Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan institusi pendidikannya, Op.Cit, h. 315
[42] Ibid, h. 316
[43] Ibid, h. 317
[44] Ibid
[45] Ibid, h. 319
[46] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 377-378
[47] Samsul Nizar (Ed), Sejarah Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 287
[48] Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrah Diniyah,  Op.Cit, h.43
[49] Ibid, h. 45
[50] Ibid,h. 47

No comments: