A.
Pendahuluan
Pendidikan Islam masa Abbasiyah (132 H/750 M- 656 H/1258 M) secara
alami mewarisi semangat bangunan pendidikan Islam yang telah ditata dan
dibina Bani Ummayah. Bani Umayyah
berkuasa hanya 90 tahun, karena adanya pemberontakan yang dimotori oleh kaum
Abbasiyah. Dikatakan Abbasiyah dikarenakan mereka ialah anak cucu yang
keturunan langsung dari paman Nabi Muhammad saw yaitu Abbas bin Abdul Muthalib (566-652 M).
Pemberontakan
yang menyebabkan tumbangnya Kerajaan Bani Umayyah (Keluarga Sofyan bin
Muawiyah) tidak serta merta menghancurkan tatanan kerajaan secara menyeluruh.
Tidak ada yang berubah secara signifikan untuk tatanan masyarakat dan lembaga
masyarakatnya. Namun yang mengalami perubahan adalah penguasanya saja, yang
sebelumnya keturunan Umayyah tapi kemudian digantikan keturunan Ibnu Abbas ra
atau disebut Bani Abbasiyah.
Berarti
bidang pendidikan selain politik (kekuasaan) tetap seperti apa adanya, bahkan
mengalami kemajuan yang lebih pesat. Batasan kajian ini hanya untuk masa
kemajuan Abbasiyah tahun 750-833
M (menurut Ira Lapidus). sedangkan menurut Muhammad Hudlari Bek masa kekuatan dan penuh karya, berlangsung 100 tahun
(132-232 H/750-847 M). Periode ini penguasa kerajaan murni dikendalikan oleh orang Arab tanpa
pengaruh bangsa ‘Ajam (non Arab) lainya. Menurut Ira Lapidus, setelah
masuknya pengaruh ‘Ajam merupakan periode awal kemunduran Abbasiyah[1].
Awal masuknya pengaruh asing setelah meninggalnya Al-Mutawakkil dan digantikan
oleh anaknya Al-Mustanshir (1226-1242
M). Dia mempunyai ibu berbangsa Turki, sehingga mengutamakan kaum Turki (Seljuq)
sebagai pembantunya di Kerajaan. Ini awal bangsa ‘Ajam mulai
mempengaruhi Bani Abbasiyah[2] Jadi, dianggap telah masuk awal kemunduran
Bani Abbasiyah. Maka yang menjadi fokus kajian ini seperti yang disebutkan di
atas. Sedangkan Pendidikan Islam Periode kemunduran Abbasiyah akan menjadi
bahasan tersendiri, setelah ini.
Empat pokok
bahasan yang akan dikupas pada sesi ini yaitu: Awal Perkembangan Pendidikan
Islam Bani Abbasyah, Tokoh-tokoh ilmuan dan
konstribusinya dalam Pendidikan Islam masa Abbasiyah, Lembaga Pendidikan Islam Masa
Abbasiyah, Klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Abbasiyah,
kesimpulan dan soal-soal latihan
Setelah
membahas materi ini mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan keempat bahasan di
atas dengan baik.
B.
Pembahasan
1.
Awal Perkembangan Pendidikan Islam Bani
Abbasyah
Peletak
utama dasar-dasar kekuasasan Bani
Abbasiyah adalah Abu Abbas As-Saffah (749-754 M)[3].
Namun sebagai pembina awal kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan Khalifah
Al-Manshur (754-775) yang telah mendesain dengan baik berdirinya kota Bagdad
dekat tempat Ctesiphon atas perencanaan filosof Persia, Nawbakht, dan ahli
astronomi Masya’allah, seorang Muslim Yahudi. Dalam limapuluh tahun
perencanaannya, kota Bagdad muncul menjadi kota paling penting di dunia dengan
menyaingi Konstatinopel[4].
Berawal dari
penyakit Al-Mashur yang susah dicarikan obatnya, maka didatangkanlah Jurjis
ibnu Bakhti Yashu, seorang dokter Nestoria yang terkenal, dari akademi
Kedokteran Jundi Syapur Ke istana Abbasiyah. Suatu Peristiwa yang memberikan
pengaruh yang besar atas perkembangan sains dan seni pengobatan pada masa
selanjutnya. Keberhasilan dokter Jurjis ibnu Bakti Yashu dalam menyembuhkan
penyakit khalifah Al-Mashur maka mereka diberikan kemakmuran hidup di Bagdad
oleh khalifah sebagai dokter-dokter istana, mereka juga membangkitkan studi
karya-karya besar Hippocrates (436 SM) dan Galen (200 SM)[5].
Kemudian
muncul pula ahli matematika dan astronomi India ke Istana al-Manshur pada tahun
773 M dengan membawa sebuah buku Sinddanta (Shindhin, sebuah
risalah tentang astronomi) menyebabkan khalifah memerintahkan penerjemahan
karya itu ke dalam bahasa Arab[6].
Muhammad
Ibrahim al-Farazi melaksanaka tugas itu dengan baik dengan dibantu oleh
pembantu-pembantunya yang cakap. Dalam beberapa tahun Irak (Bagdad) melahirkan
sejumlah ahli astronomi yang sangat mumpuni hingga memberikan sumbangan yang
berarti sekali sampai abad 14[7].
Di antara
harta berharga yang didatangkan dari Bizantium, diperolehnya naskah-naskah
Yunani tentang geometri, astronomi, kedokteran dan filsafat. Proyek
penterjemahan berlangsung dengan baik atas sokongan Khalifah Harun-ar-Rasyid
dan Al- Makmun[8].
Dari negeri
Persia (Iran) Islam memperoleh astronomi, namun yang paling berpengaruh bidang
kesusastraan dan seni rupa Arab. Di antara sastra terkenal yang diterjemahkan Khalilah
wa Dimmah diterjemahkan seorang Zoroaster yang telah masuk Islam Ibnu
al-Muqaffa (757 M)[9].
Proyek besar
yang tengah dilakukan para khalifah Abbasiyah adalah transfer ilmu pengetahuan
dari berbagai bahasa ke dalam bahasa Arab sehingga mudah dipelajari oleh ulama
atau cendikiawan muslim yang tidak banyak yang mampu menguasai bahasa tersebut.
Program penterjemahan yang penomenal khalifah al-Makmun bidang filsafat,
kedokteran dan sains Yunani.
Tercatat bahwa Hunain bin Ishaq (809-873 M) mendapat bayaran
penterjemahan setara dengan berat buku yang diterjemahkan[10]. Adalah sebuah langkah fantastis oleh penguasa
untuk mendorong semakin berkembangnya ilmu pengetahuan. Kebangkitan sebuah
peradaban terkait dengan bersemangat tidaknya ilmu pengetahuan, ilmu
pengetahuan menggeliat bila penguasa benar-benar cinta ilmu pengetahuan.
Terbukti masa gilang gemilang peradaban Abbasiyah tatkala pengembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan benar-benar menjadi primadona.
Seiring dengan menggeliatnya proyek
penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab, secara bersamaan kegiatan
pendidikan Islam berjalan lebih bersemangat, karena semakin luasnya
materi-materi baru yang didapatkan dari berbagai penjuru negeri. Para ulama dan
cendikiawan muslim bertambah semangat menggali dan mengembangkan ilmu-ilmu baru
tersebut.
Tempat-tempat
penterjemahan yang digunakan sekaligus menjadi tempat berlangsungnya kegiatan
pendidikan Islam. Istana, labor observasi dan rumah-rumah ulama menjadi tempat
yang biasa digunakan sebagai tempat penterjemahan sekaligus pelaksanaan
pendidikan Islam. Bait al-Hikmah yang didirikan khalifah Al-Makmun menjadi
tempat yang luas digunakan untuk proses kegiatan keilmuan dan proses pendidikan
Islam.
Ada beberapa
faktor yang berkesinambungan menjadi pendorong kemajuan pendidikan Islam pada
masa Bani Abbasiyah menurut Ramayulis yaitu[11] :
a.
Karena adanya kekayaan yang melimpah dari
pajak (kharaj).baik dari perdagangan maupun pertanian, dengan kekayaan
itu, khalifah mudaj merealisasikan perencanaan untuk dalam maupun luar
negerinya, serta pengembangan ilmu pengatahuan
b.
Perhatian beberapa khalifah yang besar kepada
ilmu pengetahuan seperti al-Mansur (757-775 M), al-Mahdi (775-785 M), Harun
al-Rasyid (785-809 M), al-Makmun (813-833 M), al-Wathiq (824-8-47 M) dan
al-Mutawakkil (847-861 M). Tak kalah pentingnya, pengaruh keluarga Barmak, yang
berasal dari Balk, pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Persia.
Keluarga ini mempunyai pengaruh yag kuat dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani di Bagdad. Mereka di samping menjadi Wazir juga
menjadi pendidik anak khalifah di istana.
c.
Kecenderungan umat Islam dalam mengggali
ilmu pengetahuan besar sekali, maka banyaklah ulama di setiap kota Islam masa itu.
d.
Kondisi masyarakat Irak, yang mendesak
perlunya suatu lmu baru kerena sungai Dajlah dan Furat menuntut penataan
pengairan yang lebih baik serta pengelolaan perpajakan yang lebih sempurna.
e.
Umat Islam yang telah bercampur baur dengan
orang Persia, terutama Mawali, mereka inilah yang memidahkan ilmu
pengetahuan dan filsafat dari bahsa
mereka ke dalam bahasa Arab.
f.
Bagdad sebagai pusat pemerintahan, lebih dahulu
maju dalam ilmu pengetahuan, dari pada Damaskus masa itu.
g.
Lancarnya hubungan kerjasama, dengan
Negara-negara maju lainya, seperti India, Bizantium dan lainya
h.
Ditemukannya teknologi kertas[12],
sehingga memudahkan para ilmuan mendokumenkan ilmu pengetahuan yang
ditemukannya.
i.
Secara umum tidak adanya saingan yang
berarti dengan peradaban lainya[13].
Kondisi yang
sangat tepat untuk perkembangan bani Abbasiyah ini, sebenarnya terjadi untuk
lintas sektoral yang, selain pendidikan/pengajaran ilmu-ilmu aqliah yang
diambil dari dunia luar dan daerah takhlukan, ilmu-ilmu agama tentunya tidak
ketinggalan. Geliat ilmu agama dengan segala variannya berkembang dengan
suburnya. Misalnya dalam bidang teologi/ilmu kalam Islam mencapai puncaknya
pada masa khalifah al-Makmun. Perseteruan pemikiran tidak hanya dalam lintas
akademik murni melainkan merembes ke ranah politik dan kekuasaan. Karena
kuatnya pengaruh teologi dalam kekuasaan Bani Abbasyah khusunya ketika
al-Makmun berkuasa, lahirlah Istilah al-Mihnah (ujian kepada orang yang
ingin masuk menjadi pejabat di kerajaan atau yang tidak mendukung).
Pertikaian
teologi yang melibat kekuasaan telah banyak membawa dampak negative kepada
ulama yang tidak mendukung paham teologi yang berkuasa. Khusunya ulama-ulama
yang menyebut dirinya pembela sunnah. Mereka tidak mau mengakui bahwa al-Qur’an
itu makhluk sebagai mana yang dipercayai kaum Mu’tazilah (paham liberal)
yang di dukung kekusaan. Mereka yang dianggap
membangkang, disiksa dan dipenjara. Bahkan ada yang wafat untuk mempertahankan
kepercayaannya. Di antara ulama kalangan salaf yang kena getahnya ini adalah
Muhammad bin Hanbal (lahir 164 H) di Bagdad[14].
Sedangkan yang wafat di antaranya Muhammad bin Maimun al-Jundi An-Naburi,
Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i dan Abu Ya’kub Al- Buaithi[15].
Namun, untuk
ilmu aqliah berkembangannya tidak
seperti ilmu rumpun agama, bisa dikatakan relative stabil dan netral, karena
ilmu-ilmu aqliah tersebut tidak menjadi bagian kepercayaan praktis
masyarakat Islam kala itu. Bisa dikatakan kedudukannya hanya sebagai penopang
kemajuan peradaban dan memudahkan kegiatan praktis masyarakat Islam. Jadi, tidak terjadi sentiment seperti ilmu
rumpun agama.
2. Tokoh-tokoh ilmuan dan konstribusinya dalam Pendidikan
Islam masa Abbasiyah,
Salah satu faktor kesuksesan
dinasti abbasiyah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan adalah dengan banyaknya
ilmuan muslim pada zaman tersebut yang memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan, sekaligus kepada pendidikan Islam diantaranya
adalah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Kindi, Ibnu Haytham, al-Rhazi dan lainya di
bawah ini diuraikan sebagai berikut[16]:
a. Ibnu
Sina
Ibnu
Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang
filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi
bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian
besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang,
beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya
yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran.
Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qanun fi al-Tibb yang merupakan rujukan di
bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ibnu
Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā, ia lahir pada
980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian
Iran), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Iran.
Dia
adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di
antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak
orang sebagai “bapak kedokteran modern.” George Sarton menyebut Ibnu Sina
“ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada
semua bidang, tempat, dan waktu.” pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon
of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Al-Qanun fi At-Tibb.
b. Ibnu
Rusyd
Abu
Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah
(1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada
masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak
minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum,
matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja’far Harun
dan Ibnu Baja.
Ibnu
Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan
ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai
“Kadi” (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai
Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk
pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang
mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah
hukum.
Karya-karya
Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk
karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan
besar karya-karya aslinya sudah tidak ada. Beberapa karya ibnu Rusyd yang
terkenal diantaranya adalah Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih), Kulliyaat
fi At-Tib (buku kedokteran), Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at
(filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan
filsafat).
c. Al-Kindi
Al-Kindi
(801-873), bisa dikatakan
merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam.
Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa
Arab, ia
mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya
dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan Plotinus.
Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang ia terjemahkan sebagai karangan
Aristoteles dan berjudulkan Teologi menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada
sedikit kebingungan.
Al-Kindi
berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia
berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun
873. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah memengaruhi konsep al Kindi dalam
berbagai doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi. Ia menuliskan
banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika,
musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis,
psikologi, meteorologi, dan politik.
Al-Kindi
mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian
diselesaikan olehIbnu Sina (Avicenna)
seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi
kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks
terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid’ah,
dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al
Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu.
d. Ibnu Haytham
Abu
Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham (965-1039), dikenal dikalangan Barat
dengan namaAlhazen, adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang
sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ia banyak pula
melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan telah memberikan ilham kepada ahli
sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta
teleskop.
Ibnu
Haitham dilahirkan di Basrah pada tahun 354H bersamaan dengan 965 Masehi, ia
memulai pendidikan awalnya di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai
pemerintah di bandar kelahirannya. Setelah beberapa lama berkhidmat dengan
pihak pemerintah di sana, beliau mengambil keputusan merantau ke Ahwaz dan
Baghdad. Di perantauan beliau telah melanjutkan pengajian dan menumpukan
perhatian pada penulisan.
Kecintaannya
kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir, selama di sana beliau telah
mengambil kesempatan melakukan beberapa kerja penyelidikan mengenai aliran
Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya
adalah untuk mendapatkan uang cadangan dalam menempuh perjalanan menuju
Universitas Al-Azhar. Setelah itu beliau menjadi seorang yang amat mahir dalam
bidang sains, falak, matematik, geometri, pengobatan, dan falsafah. Tulisannya
mengenai mata, telah menjadi salah satu rujukan yang penting dalam bidang
pengajian sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai pengobatan mata telah
menjadi asas kepada pengajian pengobatan modern mengenai mata.
e. Al-Rhazi
Abu
Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (865-925) atau dikenali
sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah
seorang pakar sains Iran. Ia lahir pada tanggal 28 Agustus
865 Hijirah dan meninggal pada tanggal 9 Oktober 925 Hijriah. Nama Razi-nya berasal dari nama kota
Rayy. Kota tersebut terletak di lembah selatan jajaran Dataran Tinggi Alborz
yang berada di dekat Teheran, Iran. Di kota ini juga, Ibnu Sina menyelesaikan
hampir seluruh karyanya.
Ar-Razi
sejak muda telah-mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan.
Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad.
Sekembalinya ke Teheran, ia
dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy.
Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit Muqtadari di Baghdad.
Saat
masih kecil, ar-Razi tertarik untuk menjadi penyanyi atau musisi tapi dia
kemudian lebih tertarik pada kimia dan pada umurnya yang ke-30, ar-Razi
memutuskan untuk berhenti menekuni bidang kimia dikarenakan berbagai eksperimen
yang menyebabkan matanya menjadi cacat. Kemudian dia mencari dokter yang bisa
menyembuhkan matanya, dan dari sinilah ar-Razi mulai mempelajari ilmu
kedokteran. Dia belajar ilmu kedokteran dari Ali ibnu Sahal at-Tabari, seorang
dokter dan filsuf yang lahir di Merv. Dahulu, gurunya merupakan seorang Yahudi
yang kemudian berpindah agama menjadi Islam setelah mengambil sumpah untuk
menjadi pegawai kerajaan dibawah kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mu’tashim.
Razi
kembali ke kampung halamannya dan terkenal sebagai seorang dokter disana.
Kemudian dia menjadi kepala Rumah Sakit di Rayy pada masa kekuasaan Mansur ibnu
Ishaq, penguasa Samania. Ar-Razi juga menulis at-Tibb al-Mansur yang khusus dipersembahkan
untuk Mansur ibnu Ishaq. Beberapa tahun kemudian, ar-Razi pindah ke Baghdad
pada masa kekuasaan al-Muktafi dan menjadi kepala sebuah rumah sakit di Baghdad
dan setelah kematian Khalifah al-Muktafi pada tahun 907 Masehi, ar-Razi
memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya di Rayy, dimana dia mengumpulkan
murid-muridnya. Dalam buku Ibnu Nadim yang berjudul Fihrist, ar-Razi diberikan gelar
Syaikh karena dia memiliki banyak murid. Selain itu, ar-Razi dikenal sebagai
dokter yang baik dan tidak membebani biaya pada pasiennya saat berobat kepadanya.
f.
Al-Khowarizmi
Beliau adalah bapak Aljabar. Karyanya yang terkenal yaitu Kitab
Al-Jabru wal Muqabbala. Dari buku ini kita mengenal ilmu Aljabar yang
diajarkan di pelbagai sekolah di dunia termasuk di Indonesia. Beliau juga yang
menemukan angka nol. Di Barat beliau dikenal dengan nama Alghorizm.
Nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah ilmu matematika yang disebut
Algoritma[17].
g.
Jamsyid Giatsuddin
Al-Kasyri
Beliau hidup pada abad ke-17. Beliau adalah ulama’ yang sangat pandai
dalam hal agama dan ilmu pengetahuan. Beliau adalah seorang Professor dalam
bidang Matematika dan Astronomi di Universitas Samarkand. Beliaulah peletak
dasar aritmatika yang dilakukan atas dasar slide rule yang
dianggap sebagai penemuan ilmiah paling penting dalam matematika pada abad
kini. Buku karangannya yang terkenal yaitu Makhutu Miftahil Hisab[18].
h.
As-Simay
As-Simay adalah seorang yang ahli dalam bidang Biologi. Salah satu buku
hasil karya beliau yang terkenal adalah Kitabun Nabati was Syujjar.
Buku ini mengupas masalah biologi, terutama bidang tumbuh-tumbuhan dan
pepohonan.
i.
Ibnul Awwan
Ibnu Awwan adalah seorang yang ahli dalam bidang pertanian. Bukunya yang
terkenal yaitu Al-Fallah[19].
j.
Al-Jahiz
Al-Jahiz adalah seorang yang ahli dalam bidang biologi, khususnya bidang
ilmu hewan. Karyanya yang terkenal adalah Al-Hayawan[20].
k.
Sabit bin Qurrah
Al-Hirany
Beliau seorang yang ahli dalam bidang matematika. Karyanya yang terkenal
antara lain Kitab Hisabul Ahillah dan Kitabul ‘Adad.[21]
l.
Abu Abdillah
Al-Qazwani
Dilahirkan pada abad ke-7 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama’ yang
ahli dalam bidang sejarah. Kitab yang dikarangnya, Asarul Bilad wa
Akhbarul Bilad adalah kitab terbaik pada masanya[22].
m.
Abu Ar-Raihan
Al-Bairuni
Beliau telah menyusun Kitab Al-Atsar Al-Baqiah yang
merupakan kitab pertama di dunia yang meneliti tentang sejarah, perbedaan
bulan, tahun, penanggalan, sebab, dan cara mengistinbatkannya. Kitab lain yang
terkenal adalah Tahqiqu lil Hindi min Ma’qulah Maqbulatun fi ‘Aqli au
Marzulah. dianggap sebagai kitab yang mengadakan studi tentang India secara
lengkap. Di dalamnya dijelaskan sifat-sifat alamnya, tanahnya, cuacanya, adat
penduduknya, pertumbuhannya dan asal-usulnya[23].
3.
Lembaga Pendidikan Islam Masa Abbasiyah,
Pusat-pusat
pendidikan Islam sebagai sebuah lembaga pendidikan banyak mengalami
perkembangan, sesuai perkembangan tumbuhnya semangat keilmuan baik aqliah
maupun agama. Berikut ini, lembaga pendidikan Islam untuk kegiatan keilmuan
agama dan aqliah adapun Lembaga
pendidikan Agama yang berkembang menurut Charles Michael Staton yaitu:
a.
Masjid
Masjid
secara historis masjid Quba pertama yang menjadi Institusi pendidikan Islam
pertama didirikan nabi Muhammad selain tempat ibadah sekaligus tempat
pengajaran. Metode pengajaran yang digunakan nabi adalah halaqah (melingkar).
Kemudian pelaksanakan halaqah di masjid-masjid kaum muslimin era
Abbasiyah terbagi menjadi dua jenis dan halaqah yang secara umum pada
tingkat tinggi da halaqah yang
khusus diperuntukkan bagi kajian dalam salah satu mazhab yang empat[24].
Sedangkan
Masjid sebagai lembaga dibagi menjadi dua tipe yaitu pertama, Masjid Jami’
yang dibangun Negara di bawah pengawasan khalifah atau Gubernur. Kedua,
Masjid non Jami’ yaitu masjid local yang ekslusif. Bangunan ini lebih
kecil ukuran bangunannya. Bangunan ini dibangun sesuai kesbutuhan sekelompok
masyarakat Islam yang tinggal di lingkungan tertentu atau sekelompok penganut
mazhab tertentu. Masjid seperti ini tersebar diseluruh kota-kota Islam
Abbasiyah[25].
Setiap
masjid Jami’ dipimpin seorang syaikh yang diangkat khalifah atau
Gubernur. Kegiatan halaqah mengambil tempat di satu sudut atau di
seputar pilar dalam masjid. Halaqah dalam satu masjid menawarkan materi
pelajaran seperti ; hadis, tafsir, fiqih, ushul al-fiqih, nahu, sharaf,
dan sastra Arab. Jumlah murid dalam setiap kajian tergantung popularitas
seorang syaikh. Biasanya halaqah terdiri dari 10 sampai 20 orang murid[26].
b.
Lembaga Wakaf
Berdasarkan
hukum wakaf, seseorang dapat membentuk satu wakaf yang assetnya akan mendukung
satu lembaga yang dia pilih[27].
Lembaga wakaf mendukung kegiatan proses pendidikan Islam baik itu di masjid
atau tempat lain, dukungan wakaf harta kaum muslimin yang disumbangkan
digunakan untuk membangun asrama
mahasiswa (khan), biasanya penghuni asrama diisi oleh siswa atau
mahasiwa yang jauh dari desa-desa, yang pada umumnya mereka belajar fiqih[28].
c. Kuttab atau
Maktab
Kuttab dan Maktab, berasal dari kata kataba
yang berarti menulis atau tempat menulis. Namun akhirnya memiliki pengertian
pendidikan dasar, yang mengajar membaca dan menulis, kemudian meningkat kepada
pengajaran al-Qur’an dan pengetahuan tingkat dasar. Mengenai waktu belajar di
kuttab, dimulai dari hari sabtu sampai dengan hari kamis siang dengan materi
al-Qur’an yang dilakukan dari pagi sampai Dhuha. Kegiatan menulis sampai waktu
zuhur, dan Gramatikal Bahasa Arab, matematika dan Sejarah ba’da zuhur sampai
siang[29].
d.
Al-Ribath
Al-Ribath
adalah kegiatan sufi yang ingi menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan
mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata beribadah. Juga memberikan perhatian
terhadap keilmuan yang dipimpin oleh syaikh yang terkenal dengan kesalehannya.
Al-Ribath biasanya diisi oleh orang-orang miskin yang bersama-sama melakukan
kegiatan sufistik. Bangunan al-Ribath mereka jadikan tempat tinggal untuk
beribadah dan mengajarkan pelajaran agama[30].
e.
Al Zawiyah
Al-Zawiyah
merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan
membahas dalil-dalil naqliah dan aqliah yang berkaitan dengan
aspek agama serta digunakan oleh sufi sebagai tempat halaqah zikir dan
tafakur untuk mengingat dan merenungkan keagungan Allah swt[31].
Lembaga
pendidikan Islam yang memusatkan pada ilmu aqliah adalah :
a. Bait
al-Hikmah; Perpustakaan dan Observatorium
Bait
al-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan. Institusi ini adalah prototype institusi yang ada di masa
Imperium Sasanid Persia, bernama ‘Jundisapur Academy’. Namun, kedua
lembaga ini mempunyai perbedaan yang mendasar, kalau Jundisapur hanya
menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, sedangkan Bait al Hikmah
memyimpan berbagai koleksi ilmu pengetahuan sekaligus tempat belajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa
khalifah Harun al-Rasyid, Bait al-Hikmah diberi dinamakan Khizanah al-Hikmah
(Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat
peneletian. Sejak tahun 815 M khalifah al-Makmun mengubah namanya menjadi ‘Bait
al-Hikmah’. Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat
penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan
Etiopia dan India[32].
Di institusi
ini, al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang
al-Jabar dan Astronomi. Sedangkan direktur perpustakaan Bait al-Hikmah adalah
Sahl Ibn Harun seorang nasionalis Persia yang ahli Pahlewi. Bait al-Hikmah
tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan
studi dan riset astronomi dan metematika[33].
b.
Toko buku dan Perpustakaan
Walaupun
sarjana-sarjana modern mungkin kesulitan mengakui toko-toko buku sebagai pusat
pendidikan tinggi, tetapi mereka tetap mengakui fungsi tersebut di kota-kota
Islam. Selama kejayaan Abbasiyah, toko-toko buku berkembang pesat di wilayah
Timur Tengah dan peran pentingnya, menyebar keseluruh wilayah Islam khususnya
melalui Afrika Utara dan Semenanjung Iberia[34].
Sebelum
perusakan dilakukan bangsa Mongol di Bagdad ada 100 lebih penjual buku atau
toko buku. Kota-kota Sharaz, Basrah, Kairo, Kodova, Fez, Tunis dan banyak kota
yang mendukung berlipatgandanya jumlah buku. Para pembeli dan penjualnya sering
kali berasal dari kalangan cerdik pandai, yang tentunya memberikan andil yang
sangat besar bagi kehidupan intelektual dalam sebuah masyarakat melalui
karya-karya pilihan mereka, yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Parsi. Atau
bangsa-bangsa Timur dan melalui karya-karya berbahasa Arab yang disalin dan disediakan untuk umum[35].
Proses
pendidikan Islam terjadi di toko buku dan perpustakaan dengan lingkaran diskusi
dan Sanggar Sastra. Perpustakaan adalah inti dari program pengajaran, yang
memperluas materi-materi pelajaran dalam perkuliahan dan diskusi-diskusi[36].
c. Rumah sakit dan Klinik
Rumah Sakit
dan Klinik berfungsi sebagai pusat-pusat pendidikan tinggi selama kejayaan
kekhalifahan Abbasiyah. Rumah Sakit seperti halnya dalam kasus Perpustakaan dan
Laboratorium menerima dukungan Khalifah, Gubernur dan Sultan[37].
Proses
pendidikan kedokteran diselenggarakan di lingkungan Rumah Sakit. Kelompok awal
(para dokter yang terkenal) dapat bekerja dengan para muridnya secara pribadi,
mempercayakan kepada mereka penanganan pasien di tempat pengobatan dan klinik
mengontrol kemajuan pengobatan, dan melibatkan mereka dalam proses pengklinikan
seperti operasi[38].
Tujuan dari
bimbingan ini adalah untuk menggabungkan pelajaran-pelajaran teoritis dan
praktis ke dalam pengalaman belajar terpadu terhadap pelajar yang bersangkutan.
Seorang dokter mengajar di klinik atau rumah sakit seperti itu, yang dikerumuni
murid-muridnya lebih menyerupai sistem modern, dalam hal; bimbingan dan
‘pengasramaan, di mana seorang dokter menyelenggarakan pendidikan yang
menyenangkan secara bergilir kepada murid-muridnya[39].
d.
Kesusteraan-pendidikan Liberal dalam Islam
Orang-orang
yang ingin meningkatkan pendidikan mereka melalui media informal tidaklah
terbatas pada pelajaran ilmu-ilmu non Islam. Kerangka dari sebuah pendidikan
secara umum telah terbentuk di dalam Islam melalui kususesteraan yang disebut ‘adab’,
yang sering diterjemahkan sebagai pelajaran tatakrama[40].
Untuk
membantu orang-orang mempelajari adab, beberapa ahli multi disipliner
Islam menulis buku-buku teks yang menyajikan informasi dasar mengenai semua
bidang ilmu pengetahuan tersbut[41].
Seperti al-Farabi dan al-Khawarizmi dll.
e.
Al-Qurhur (pendidikan rendah Istana)
Munculnya
pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat didasarkan atas
pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan peserta didik agar
mampu melaksanakan tugas-tugasnya setelah dewasa. Untuk itu, keluarga raja dan
pejabat istana lainya berusaha mempersiapkan anak-anaknya sejak kecil dengan
memperkenalkan tugas-tugas serta lingkungan
kerjanya di masa depan[42].
Para pejabat
istana dan khalifah memperkerjakan para pendidik yang disebut muaddib di
lingkungan istana. Syalabi mengatakan mendidik para calon raja (pangeran)
adalah pekerjaan yang sangat digemari[43].
Keluarga terkenal sebagai pendidik di kalangan Istana adalah keluarga
al-Barmakh di istana khalifah Abbasiyah.
f. Rumah para
Ilmuan (ulama’)
Beberapa
ilmuan menjadikan rumahnya sebagai tempat pendidikan, antara lain; rumah Abi
Muhammad ibn Hatim al- Razi al-Hafiz dalam mempelajari ilmu kedokteran, dan
rumah Abi Sulaiman al-Sajastani dalam mempelajari ilmu filsafat dan ilmu mantik[44].
Dijadikannya
rumah para ilmuan tersebut sebagai tempat proses pendidikan menurut Ramayulis
dilatarbelakangi oleh beberapa hal di antaranya:
a. Rumah dapat
digunakan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus.
b. Situasi dan
kondisi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, dan
lain-lain.
c. Adanya
anggapan, bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik daripada guru yang
mendatangi murid.
d. Jumlah murid
yang banyak, sehingga sebagian hanya bisa ditampung belajar di rumah ulama yang
bersangkutan[45].
4. Ilmu
pengetahuan yang berkembang Masa Abbasiyah.
Beberapa ilmu pengetahuan yang berkembang masa Bani Abbasiyah, yaitu
ilmu kedokteran, hukum, filsafat, dan hadits[46]:
a. Kedokteran
Ilmu kedokteran adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai
keadaan sehat maupun tidak. Artinya kesehatan bisa hilang, dan jika
hilang, perlu diperbaiki. Dengan kata lain, seni dimana kesehatan berkaitan,
dan akan diperbaiki setelah hilang.
Kedokteran adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang
cara-cara untuk mempertahankan tubuh dari penyakit dan cara-cara untuk
penyembuhan tubuh dari penyakit tersebut. Pada kejayaanya, ilmuan muslim
mempunyai pengaruh yang besar di bidang ini, bahkan ada yang dinobatkan menjadi
bapak kedokteran dunia, yaitu Ibnu sina.
1). Fisiologi
يَا أَيُّهَا الإنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ
الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ (7) فَعَدَلَكَ فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا
شَاءَ رَكَّبَكَ
“Hai
manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap
Tuhanmu Yang Maha Pemurah (Yang telah menciptakan kamu
lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh-mu.”
(al-infithaar, 6-8).
“Dalam menentukan kegunaan setiap organ seharusnya kita melakukan percobaan
untuk membuktikan kebenaran dan penelitian yang jujur, tanpa memperhatikan
apakah pendapat itu sejalan atau tidak dengan pendahulu kita.” (Ibnu Nafis).
Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fungsi organisme hidup
serta bagian-bagiannya, dan mempelajari faktor fisika serta
kimia dan proses yang terlibat di dalamnya.
Dalam pengembangan ilmu fisiologi, ilmuan muslim yang mempunyai pengaruh
besar salah satunya adalah Ibnu Nafis (687-1288), dikenal sebagai bapak
fisiologi sirkulasi karena dia adalah orang pertama yang menjelaskan sirkulasi
paru-paru, sirkulasi coroner, dan sirkulasi kapiler. Bahkan dia orang yang
paling awal menjelaskan tentang konsep metabolisme. Ibnu Nafis yang
bernama lengkap ‘Ala’ al-Din ‘Ali ibn Abi l’Haram al-Qurasi tersebut, adalah salah satu dokter
yang mendukung pembedahan pada manusia, dia juga pernah mengkritik pendapat
Galen dan Ibnu Sina atas teori empat cairan yaitu pulse (denyut
nadi), tulang, otot, usus, organ indra, esophagus, dan perut dalam
bukunya Commentary on Anatomy in Avicenna’s Cannon.
Teori Galen yang lain pun sempat dibantahnya, Galen yang mengatakan
bahwa jalur peredaran darah diantara dua ruangan pada jantung itu tidak
terlihat, tapi Ibnu Nafis mengatakan sebaliknya. Bantahan Ibnu Nafis yang
disebut juga sebagai “second Avicenna” tersebut bukan untuk
menjatuhkan Ibnu Sina maupun Galen karena kesalahan teorinya, tapi semata-mata
untuk melengkapi teori mereka yang pasti mempunyai kekurangan pada setiap teori
yang ia keluarkan.
Dokter arab Ibn al-Lubudi (1210-1267), berasal dari Damaskus,
menulis The Collection of Discussion Relative to Fifty Psychological
and Medical Question, menyebutkan bahwa jantung adalah organ pertama yang
terbentuk dalam tubuh janin. Sedangkan menurut Hippocrates, organ yang pertama
terbentuk adalah otak. Beliau juga menjelaskan bahwa tulang yang membentuk tengkorak
dapat tumbuh menjadi tumor.
2). Anatomi
As forthe parts of the body and their functions, it is necessary that
they be approached through observation (الحس) and dissection (التسريح), while those things that must be
conjectured and demonstrated by reason are diseases and their particular causes
and their symptomps and how bated and health maintained (Ibnu Sina).
“Mengenai bagian-bagian tubuh dan fungsinya, perlu dilakukan pendekatan
melalui observasi dan pembedahan. Sementara, hal tersebut harus diduga dan
dibuktikan dengan alasan penyakit, penyebab dan gejalanya, serta bagaimana
penyakit dapat diatasi dan kesehatan dapat terpelihara.”(Ibnu Sina)
Anatomi berasal dari bahasa
Yunani “ἀνατομίαanatomia dari “ἀνατέμνειν anatemnein”, yang
berarti memotong. Sejarah anatomi adalah ilmu yang berkembang dari pemeriksaan
awal seseorang yang menjadi korban persembahan sampai analisa canggih bentuk
tubuh oleh ilmuan modern. Al Zahrawi, seorang dokter Muslim terkenal mencatan
bahwa anatomi adalah sebuah ilmu yang sangat dibutuhkan untuk proses
pembedahan, autopsi mayat dilarang untuk kebutuhan latihan maupun
praktek, walaupun tidak ada larangan dalam ajaran agama.
Studi anatomi dimulai pada awal 1600 SM yang diperoleh dari data papyrus
Mesir kuno. Lembaran itu menunjukan bahwa jantung, pembuluh darah, hati,
ginjal, limpa, hypothamulus, rahim dan kandung kencing telah diketahui pada
zaman tersebut, dan dalam lembaran tersebut tercatat bahwa pembuluh darah
berasal dari jantung.
Ilmuan Anatomi yang terkenal pada abad ke 2 masehi adalah Galen,
penemuannya pada anatomi tubuh menjadi buku teks anatomi dan telah digunakan
selama ratusan tahun, tetapi hasil karyanya tersebut hilang dan ditemukan
kembali oleh dokter kebangkitan eropa (Renaissance doctors) melalui
hasil karya dokter muslim.
Setelah jatuhnya kekaisaran Roma, studi anatomi hampir hilang di Eropa,
tetapi studi ini berkembang sangat pesat di dunia Islam sehingga muncullah para
ilmuan Muslim yang ahli dibidang ini diantarannya Ibnu Sina, Ibnu Nafis,
Hunayn, yang mempunyai peran aktif dalam mengembangkan ilmu ini. Dalam
bukunya Sarh al-Qanun, Ibnu Nafis mempunyai kontribusi yang
sangat besar yaitu pendapatnya tentang sistem sirkulasi darah dalam tubuh, yang
baru ditemukan kembali tiga abad lalu. Dia menjelaskan tentang bronkitis dan
interaksi pembuluh dalam tubuh dengan udara dan darah.
Al-Qanun fi al-Tibb karya Ibnu
Sina, mencakup banyak penemuannya di bidang anatomi yang secara resmi diterima masyarakat zaman ini. Dia
adalah saintis pertama yang menjelaskan tentang pendeskripsian perbedaan mata,
seperti conjunctiva sclera, choroid, aqueous humour, optic chiasma,
saraf penglihatan, iris, retina, kornea, dan lapisan lensa mata.
Selain Ibnu Sina, penjelasan anatomi mata pun ada kaitannya dengan Ibnu
al-Haytham yang mewakili teori penglihatan oleh Galen, Euclid dan Ptolemy pada
gambar yang dibuatnya pada tahun 1083 M di mesir, ilmuan yang sempat hidup
dizaman Abbasiyah dan Fatimiyah ini menjelaskan tentang hubungan antara
saraf-saraf penglihatan (optic nerves) dan bola mata menuju otak.
3). Alat-alat kedokteran
Selain mempunyai peran penting dalam berkembangnya ilmu kedokteran,
ilmuan muslim pun mempunyai banyak kontribusi dalam menemukan adn mengembangkan
alat-alat kedokteran guna mempermudah dokter dalam proses penyembuhan, seperti
yang tertulis pada Kitab Al-Tasrif karya Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas
al-Zahrawi (936-1013).
Buku at-Tasrif yang dikarang al-Zahrawi menggambarkan beberapa alat
medis yang ditemukan oleh ilmuan muslim, di antaranya adalah plester pelekat, benang bedah, cauter, ligature (tali-pengikat), forceps (tang-penjepit), injection syringe,
thermometer, retractor, scalpel, surgical hook, surgical rod, dll.
4). Buku-buku dan teks kedokteran
Kemajuan ilmu pengetahuan pasti mempunyai sumber-sumber yang terpercaya
dan salah satunya adalah buku, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada
zamannya, ilmuan-ilmuan pada zaman Abbasiyah banyak menulis buku, dibawah ini
penulis akan mencantumkan buku-buku dan teks kedokteran yang ditulis oleh
ilmuan-ilmuan pada zaman Abbasiyah yang beberapa dari buku tersebut telah
dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, di antaranya:
No.
|
Judul
|
Penulis
|
1
|
Firdaous al-Hikmah
(Paradise of Wisdom)
|
Ali ibn Sahl Rabban al-Tabari (860)
|
2
|
Adab al-Tibb
(Ethics of Physician)
|
Ishaq bin Ali Rahawi (854-931)
|
3
|
Masalih al-Abdan
wa al-Anfus (sustenance for the body and Soul)
|
Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934)
|
4
|
Al-Hawi (the Comprehensive Book of Medicine)
|
Muhammad ibn
Zakariya Razi (865-925)
|
5
|
Shukuk ala alinusor (Doubts about Galen)
|
|
6
|
Man la Yahduruhu al-Tabib (A Medical Adviser for the General Public)
|
|
7
|
Al-Judari wa al-Hasbah (A Treatise on the Smallpox an Measles)
|
|
8
|
Disease of Children
|
|
9
|
Sense of Smelling
|
|
10
|
The Experimental of Medical Science and its Application
|
|
11
|
The Book of Simple Medicine
|
|
12
|
The Book of Disasters
|
|
13
|
Food and its Harmfulness
|
|
14
|
Why abou Zayd Balkhi Suffers from Rhinitis When Smelling Roses in
Spring
|
|
15
|
Stone in the Kidney and Bladder
|
|
16
|
The Book of Tooth Aces
|
|
17
|
Food for Patients
|
|
18
|
Benefits of Honey and Vinegar Mixture
|
|
19
|
The Book of Surgical Instrument
|
|
20
|
Fruits Before and after Lunch
|
|
21
|
About the menstrual Cycle
|
|
22
|
Fatal Disease
|
|
23
|
About Poisoning
|
|
24
|
Misconseptions of a Doctor Capabilities
|
|
25
|
The Social Role of Doctors
|
|
26
|
Kitab Kamil
as-Sina’a at-Tibbyya (Complete Book of the Medical Art)
|
Ali ibn Abbas (982-994)
|
27
|
Kitab Tibb
al-Machayikh
|
Ibn al-Jazzar al-Qayrawani (898-980)
|
28
|
Risalah al-Shafiyah
fi Adwiyat al-Nisyan (Teratise on Drug for Forgetfulness)
|
Ibn Ishaq bin Hunayn (900)
|
29
|
Al-Taisir
|
Ibn Zuhr (1091-1161)
|
30
|
The Method of Preparing Medicine and Diet
|
|
31
|
Aqrabadhin (Medical Formulatory)
|
Al-Kindi (803-873)
|
32
|
De Gradibus, Treatise on Diseases Caused by Phlegm
|
|
33
|
Al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine)
|
Ibnu Sina (980-1037)
|
34
|
The Book of Healing
|
|
35
|
Kitab at-Tasrif (Book of Healing and Concessions or The method of
Medicine )
|
Abu al-Qasim Khalaf ibn Abbas al-Zahrawi (936-1013)
|
36
|
Sharh Tashrih al-Qanun Ibn Sina (Commentary on Anatomy in Avicenna’s
Canon)
|
Ala al-Din Abu al-Hasan ibn Abi Hazm al-Qurashi al-Dimashqi (Ibnu
Nafis) 1213-1288
|
37
|
Al-Shamil fi al-Tibb (The Comprehensive Book on Medicine)
|
|
38
|
Kitab al-Mukhtar fi al-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs)
|
|
39
|
Commentary on Compound Drugs
|
|
40
|
Al-Mujaz fi al-Tibb (A Summary of Medicine)
|
Abu Ali al-Hassan ibn al-Hasan ibn al-Haytham (Ibn al-Haytham)
(965-1040)
|
41
|
Risalat al-A’ada’a (An Essay on Organ)
|
|
42
|
Al-Shamel fi al-Tibb (Reference Book for Physician)
|
|
43
|
Kitab al-Munazir (Book of Optics)
|
|
44
|
The Polished Book on Experimental Ophtalmology
|
|
45
|
Kitab al-Saydala (The Book of Drugs)
|
Abu Rayhan al-Biruni (937-1050)
|
46
|
Al-Athar
al-Baliyah
|
|
47
|
Collection of
Discussion Relative to Fifty Psychological an Medical Questions
|
Ibn al-Lubudi (1210-1267)
|
48
|
The Books of Elite Concerning the Unmasking of Mysteries and Tearing
of Velis
|
Gaubari (1200)
|
5) Farmasi
Di antara ahli farmasi masa Abbasiyah adalah
Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah al-Mugni (berisi tentang
obat-obatan), Jami’ Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan
bergizi)[47].
b. Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan dalam bidang politik, ekonomi, dan
masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat dalam kriminalisasi. Dalam pelaksanaannya, hukum
mempunyai dua bentuk yaitu hukum pidana dan hukum perdata.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum
dalam hal perbuatan–perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan
perundang–undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan atau denda bagi para
pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal dua jenis perbuatan yaitu kejahatan
dan pelanggaran. Dalam Islam hukum pidana dinamakan qisas yaitu nyawa
dibalas nyawa, tangan dibalas tangan, tetapi apabila seseorang membunuh, maka
tidak langsung dibunuh tetapi diadakannya penyelidikan lebih lanjut terlebih
dahulu tentang kejadian yang sebenarnya.
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam
masyarakat dengan cara tertentu, hukum ini disebut juga hukum privat atau hukum
sipil. Hukum perdata digolongkan menjadi beberapa bagian, diantaranya hukum
keluarga, hukum harta, hukum perikatan, dan hukum waris.
Khalifah kedua dinasti Abbasiyah, al-Mansur mereformasi Baghdad menjadi
ibukota dinasti pada tahun 762 M sehingga membawa perubahan besar pada dunia
Islam dengan munculnya sebutan “The Golden Age of Islam” dan
perubahan hukum-hukum kenegaraan dengan berdasar pada hukum-hukum berbasis pada
al-Qur’an dan Sunnah sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Pada abad kedua kekuasaan dinasti ini, sekolah tinggi hukum aliran sunni
dan syiah didirikan, salah satu ahli hukumnya adalah Ibnu Rusyd, seorang yang
menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang fisikawan sekaligus hakim.
Kedudukannya sebagai pemuka agama dalam bidang hukum islam dan hakim di kordoba
sangat dihormati. Pada zamannya, banyak orang yang datang untuk berkonsultasi
tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu hukum. Pada masa Harun
ar-Rasyid, mazhab imam Hanifah menjadi dasar hukum karena pendapat-pendapat
hukumnya merupakan sebuah reformasi yang dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di kota Kufah, kota yang maju pada zamannya. Salah satu muridnya adalah
Abu Yusuf yang menjadi Qadhi al-Qudhat, yang hidup pada zaman
Harun ar-Rasyid.
Pada masa dinasti ini, hukum yang lebih dominan dipakai adalah hukum
syi’ah sehingga resmi menjadi dasar ideologi abbasiyah dalam menentukan hukum
dalam mengatasi sebuah kasus.
c. Filsafat
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat diartikan sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, asal, dan hukumya. Pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid
(786-809 M) dan khalifah al-Ma’mun (813-833 M) kitab-kitab filsafat Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kemudian dipelajari, didalami, dan diadakan
perubahan-perubahan sesuai dengan ajaran Islam. Adapun tokoh-tokoh filsafat
(ahli filsafat) Islam yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah antara lain Abu
Ishak Al-Kindi (809-873 M), Abu Nashr al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina
(980-1036 M), Al-Gazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198).
Salah satu filsafat terkenal adalah al-Ghazali, dia adalah orang yang
pertama kali menggabungkan konsep ilmu filsafat dan mistik dalam kehidupan
sehari-hari. Pada masanya, terjadi sebuah krisis kepercayaan yang tinggi
dilingkungannya sehingga menggugah al-Ghazali untuk belajar filsafat dengan
maksud untuk mencari kebenaran tentang perbedaan tradisi umat muslim, dan
keputusan terakhirnya adalah menjadi pengikut sufi mistik.
Dia juga menulis tentang kriteria seseorang dikatakan murtad secara
sistematis, dia menulis bahwa barang siapa yang berpandangan bahwa bumi
diciptakan tanpa ada tujuan, atau tuhan tidak maha kuasa, kebangkitan setelah
mati itu bohong, adalah orang yang ingkar terhadap agama dan harus dibunuh.
Filsafat yang lainnya adalah al-Kindi, konsep filosofinya berdasar pada
konsep fisik dan metafisik Aristotelian yang hampir sama dengan konsep
Neoplato. Dengan dasar filosofinya, al-Kindi pernah mencoba untuk mempadukan
antara konsep pembelajaran islami dengan filosofi Aristotelian dan Neoplatonic
sehingga didirikanlah Mashsha’i atau sekolah keliling yang
mengajarkan tentang islam, dan dialah orang yang menulis risalah On the
First Philosophy yang dipersembahkan untuk khalifah al-Musta’sim.
Mashsha’i yang didirikan oleh
al-Kindi banyak mendapatkan perpaduan konsep dari filosofi lain, seperti
al-Farabi yang melengkapi konsep perpaduan awal, dan ibn Sina yang
membawa Mashsha’i menuju puncak kesempurnaan. Banyak orang
menyadari bahwa al-Farabi atau “guru kedua” setelah Aristoteles, bukan hanya
sebagai pendiri filosofi politik Islam, tetapi juga sebagai pendiri filosofi
Islam itu sendiri. Dalam penilaian terhadap filosofi Aristoteles dan Plato, dia
menulis komentar pada hukum-hukum yang dibuat oleh Plato. Al-Farabi mendapatkan
pelatihan filosofi dari seorang Kristen bernama Yuhanna b. Haylan.
d. Hadits
Hadits berasal dari bahasa arab yaitu الحديث yang
bermakna perkataan, dalam syariat Islam hadits bermakna segala sesuatu yang
disandarkan pada Nabi Muhammad saw baik perkataan, perbuatan, maupun apa yang
dilakukan para sahabat nabi dan disetujui olehnya. Pada zaman dinasti
Abbasiyah, ilmu hadits merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat, bahkan
para ulama hadits di zaman tersebut masih terkenal sampai hari ini, seperti
Imam Bukhari (194-252 H / 810-866 M), Imam Muslim (204-261 H / 820-875 M), Ibnu
Majah (207-273 H / 822-887 M), Abu Dawud (202-275 H / 818-889 M), dan Tirmidzi
(200-279 H / 816-82 M), mereka merupakan para perawi hadits yang terjamin
keshahihannya.
Kumpulan hadits yang mereka riwayatkan telah dikumpulkan dalam bentuk
buku yang diberi judul atas nama mereka sendiri, seperti Shahih Bukhori, Shahih
Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, dan Sunan at-Tirmidzi.
e.
Ilmu Tafsir
Berkembangnya ilmu tafsir pada abad ketiga hijriah
dalam upaya memenuhi kebutuhan untuk memahami al-ur’an sebagai bertambah
banyaknya jumlah penduduk Islam akibat bertambah luasnya kekuasaan Islam.
Beberapa tafsir al-Qur’an yang ada waktu Abbasiyah antara lain: Jami’ al
Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Ibn Jarir al-Thabari, Mu’alim al-Tanzirl (al-Baghawi),
tafsir al-Kabir (al-Razi), Tafsir Abu Bakar al-Isham dan Tafsir
Ibn Jarwi al-Asadi[48].
f.
Ilmu Fikih Qira’at
Ilmu
qira’at muncul sesuai dengan luasnya wilayah Islam, sehingga factor lahjah
sangat mempengaruhi pengucapan bacaan al-Qur’an untuk setiap wilayah Islam.
Pembacaan al-Qur’an yang berbeda juga didasari teks al-Qur’an yang tidak
mempunyai titik dan baris. Adapun ulama yang ahli sebagai pembahas pertama ilmu
Qiraat dari segi dasar dan sanad yang dianut setiap ahlinya adalah Harun Ibnu
Musa al–Bushani (w.170). beberapa tokoh Qiraat yang terkenal pada masa ini
adalah; Nafi’, Ibn Kasir, Ibn Amir, Abu Amru, Ashim Hamzah, Al Kasai, Yahya Ibn
Haris, al-Zimani, Hamzah ibn Habib dan sebagainya[49].
g.
Ilmu kalam
Ilmu
kalam disebut juga ilmu logika, ilmu yang bagaimana cara berlogika. Masuknya
ilmu kalam ini menurut Ramayulis berkaitan dengan masuknya bangsa-bangsa yang
beradab sebelumnya ke dalam kekuasaan Islam. Ilmu kalam yang mampu menjelaskan
tentang kejelasan aqidah Islam,
Orang
sebelum Islam telah biasa menggunaka ilmu semacam ini untuk berdebat
mempertahankan keyakinannya. Oleh karena itu Islam juga memerlukan ilmu ini
untuk mempertahankan ajarannya dari serangan atau dalam menyakinkan orang ahli
kitab dan sebagainya.
Adapun
tokoh Mutakallimin yang terkenal masa itu adalah ; Washil bin Atha’, Amr Ibn
ubaid pelopor aliran Muktazilah, Abu Hasan al-Asy’ari. Al-Juwani pemuka
aliran Asy’ariyah[50].
h.
Ilmu Fikih
Munculnya ilmu Fiqih berkaitan dengan
bertambah banyak persoalan umat Islam dalam lapangan praktis oleh bekembangnya
perikehidupan masyarakat Islam. Tentu persoalan umat masa Nabi dan sahabat
tidak bisa lagi dipadakan harus ada ijtihad baru untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan praktis yang berguna untuk menuntun kehidupan masyarakat
Islam, dalam hubungannya dengan tuhan, alam atau sesamanya dalam pergaulan
sehari-hari.
Menurut
Charles Michael Staton jumlah mazhab fikih mencapai 500 mazhab. Namun hanya
empat mazhab yang mahsyur yaitu ; Abu Hanifah (699-767 M), Imam Malik (715-795
M), Imam Syafi’I (767-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)[51]
sedangkan dari syi’ah ada Ja’far Shadiq.
i.
Ilmu Tarikh
Nama seperti Muhammad Ishak (w.152 H) adalah
yang pertama menulis sejarah (Tarikh) nabi Muhammad saw, kemudian
diringkas oleh Ibn Hisyam (w. 218 H) dengan judul bukunya syarh ibn Hisyam.
sedangkan penulis lainya adalah
Ibnu abi Mahruf, Al-Waqidi, Ibn al-Kilbi, Ibn Sa’ad ibn al –Hikam, Ibn Qutaibah
dan Nubkhiti[52].
j.
Ilmu Nahwu
Tokoh yang paling utama dalam ilmu nahwu
adalah khalifah Ali bin Abi Thalib ra, kemudian keahlian terapannya adalah Abu
Aswad al-Duali yang hidup pada masa Bani Umayyah, beliau sekaligus dianggap
telah membinan dasar-dasar ilmu ini. Pada masa Abbasiyah perkembangan ilmu
nahwu bertambah pesat, tersebut nama ahli seperti ; Sibaiwahi, Isa Ibnu Umar,
al-Saqafi, Abu Amir ibn al-A’la, dan sebagainya. Untuk ulama yang ahli tersebut
seperti ; Al-Kasai, Abu Ja’far dan Al –Ruas[53].
C.
Kesimpulan
Kemajuan
suatu peradaban telah membuktikan, bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan sangat
berperan dalam memberikan kemilau sebuah Daulah, Dinasti atau Kerajaan. Tidak
terkecuali di zaman modern ini faktor ilmu pengetahuan yang berkembang dan maju
disebabkan oleh pelaksanaan pendidikan yang baik. Badan Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) telah mengingatkan bagi Negara-negara yang ingin maju lebih
cepat setara dengan bangsa yang telah maju, hendaklah memperhatikan lembaga
pendidikannya dengan baik. Memperhatikan dalam arti membangun pendidikan
nasionalnya dengan kesungguhan, baik fasilitas, tenaga edukasi, suasana
akademis yang kondusif, keterbukaan mimbar akademik dan sebagainya.
Jauh sebelum
nasehat di atas diungkapkan, pemerintahan Islam seperti Bani Abbasiyah telah
memberikan perhatian khusus kepada bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan
dengan mengadakan dan memperbaiki semua fasilitas lembaga pendidikan Islam.
Memberikan apresiasi yang luar biasa kepada para ulama dan cendikia yang ada di zamannya.
Ilmu pengetahuan menjadi primadona dalam
perhatian masanya. Banyak ilmuan terkenal seperti ; Ibnu
Sina, Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Ibnu Haytham, Al-Rhazi, Al-Khowarizmi, Jamsyid Giatsuddin
Al-Kasyri, As-Simay, Ibnul Awwan, Al-Jahiz, Sabit bin Qurrah
Al-Hirany, Abu Abdillah Al-Qazwani, Abu Ar-Raihan Al-Bairuni, untuk ulama bidang keagaman seperti ; Ibn
Jarir al-Thabari, al-Baghawi al-Razi, Abu Bakar al-Isham dan Ibn
Jarwi al-Asadi. Nafi’, Ibn Kasir, Ibn Amir, Abu Amru, Ashim Hamzah, Al Kasai,
Yahya Ibn Haris, al-Zimani, Hamzah ibn Habib, Washil bin Atha’, Amr Ibn ubaid,
Abu Hasan al-Asy’ari. Al-Juwani, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal, Ja’far Shadiq,
Muhammad Ishak, Ibnu abi Mahruf, Al-Waqidi, Ibn al-Kilbi, Ibn Sa’ad ibn al
–Hikam, Ibn Qutaibah dan Nubkhiti, Ibn Hisyam, ; Sibaiwahi, Isa Ibnu Umar,
al-Saqafi, Abu Amir ibn al-A’la, Al-Kasai, Abu Ja’far dan al –Ruas,
Serta tumbuhnya kembangnya lembaga pendidikan
Islam baik yang mengkhususkan diri pada pendalaman keagamaan maupun ilmu-ilmu aqliah
seperti; Masjid, Lembaga Wakaf, Kuttab atau Maktab,
al-Ribath, al Zawiyah, Bait al-Hikmah; Perpustakaan dan Observatorium, Toko
buku dan Perpustakaan, Rumah sakit dan Klinik, Kesusteraan, al-Qurhur
(pendidikan rendah Istana), Rumah para Ilmuan (ulama’), dan bidang
kajian yang tumbuh diantaranya ; Kedokteran, Hukum, Filsafat, dan Hadits, Ilmu Tafsir, Ilmu Fikih Qir’at, Ilmu kalam,
Ilmu Fikih, Ilmu Tarikh,dan Ilmu Nahwu.
Selain itu, buku-buku teks
kedoktaran telah banyak ditulis serta tidak luput pula penciptaan alat praktek
untuk medis telah berkembang sedemikian rupa. Buku-buku teks kedoteran telah
banyak disadur oleh bangsa Barat ke dalam bahasa latin dan Inggris.
Tak bisa
dipungkiri lagi suasana keilmuan telah melahirkan modifikasi dan penambahan
ilmu pengetahuan yang hebat pada masa Bani Abbasiyah. Khazanah keilmuan
sebagian telah menjadi acuan bagi para ilmuan yang datang kemudian, sampai
memasuki masa kemunduran Abbasiyah.
Di era kemunduran bisa dilihat pendidikan dan
keilmuan tidak lagi menjadi perhatian utama, karena pemerintahan disibukkan
oleh godaan politik dan kekuasaan, serta khalifah yang berkuasa kurang perhatian,
lemah dan tidak cakap. Ini bisa disebabkan, karena tidak baiknya pendidikan
Istana untuk calon pangeran yang akan menjadi raja. Atau boleh jadi juga faktor
pendidik Istana yang tidak berkompeten dalam memberikan binaan kepada calon
raja atau khalifah tersebut dan sebagainya. Untuk melihat lebih jauh bagaimana
pendidikan Islam di era kemunduran Abbasiyah akan diuraikan setelah materi
ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Khan, Muhammad Abdur Rahman, Sumbangan
Umat Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, Penterjemah: Drs.
Adang Affandi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993, Cet. III
Maryam, Siti dkk, Sejarah peradaban
Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III,
Mursi, Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Islam
Sepanjang Sejarah, Penterjemah, Khairul Amru Harap dan Achmad Faozan,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet. 3
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2012
Staton,
Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing
House, 1994
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, Tt
[4] Muhammad Abdur Rahman Khan, Sumbangan Umat Islam
Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, Perj: Drs. Adang Affandi,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993, Cet. III, h. 9
[14]Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Islam Sepanjang
Sejarah, Penterj, Khairul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2007, Cet. 3, h. 341
[16]http://yaserfarah.wordpress.com/2012/10/27/peran-dinasti-abbasiyah-dalam-perkembangan-ilmu-pengetahuan/201/11/7
[19] Ibid
[24] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, Penerj. H. Afandi dan Hasan
Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994, h. 34
[46]http://yaserfarah.wordpress.com/2012/10/27/peran-dinasti-abbasiyah-dalam-perkembangan-ilmu-pengetahuan/201/11/7
No comments:
Post a Comment