16/12/2016

PENDIDIKAN MASA ABBASIYAH



A. Pendahuluan
            Pendidikan Islam masa Abbasiyah (132 H/750 M- 656 H/1258 M) secara alami mewarisi semangat bangunan pendidikan Islam yang telah ditata dan dibina  Bani Ummayah. Bani Umayyah berkuasa hanya 90 tahun, karena adanya pemberontakan yang dimotori oleh kaum Abbasiyah. Dikatakan Abbasiyah dikarenakan mereka ialah anak cucu yang keturunan langsung dari paman Nabi Muhammad saw yaitu Abbas bin Abdul Muthalib (566-652 M).
Pemberontakan yang menyebabkan tumbangnya Kerajaan Bani Umayyah (Keluarga Sofyan bin Muawiyah) tidak serta merta menghancurkan tatanan kerajaan secara menyeluruh. Tidak ada yang berubah secara signifikan untuk tatanan masyarakat dan lembaga masyarakatnya. Namun yang mengalami perubahan adalah penguasanya saja, yang sebelumnya keturunan Umayyah tapi kemudian digantikan keturunan Ibnu Abbas ra atau disebut Bani Abbasiyah.
Berarti bidang pendidikan selain politik (kekuasaan) tetap seperti apa adanya, bahkan mengalami kemajuan yang lebih pesat. Batasan kajian ini hanya untuk masa kemajuan Abbasiyah tahun 750-833 M (menurut Ira Lapidus). sedangkan menurut  Muhammad Hudlari Bek masa kekuatan dan penuh karya, berlangsung 100 tahun (132-232 H/750-847 M). Periode ini penguasa kerajaan murni dikendalikan oleh orang Arab tanpa pengaruh bangsa ‘Ajam (non Arab) lainya. Menurut Ira Lapidus, setelah masuknya pengaruh ‘Ajam merupakan periode awal kemunduran Abbasiyah[1]. Awal masuknya pengaruh asing setelah meninggalnya Al-Mutawakkil dan digantikan oleh anaknya Al-Mustanshir (1226-1242 M). Dia mempunyai ibu berbangsa Turki, sehingga mengutamakan kaum Turki (Seljuq) sebagai pembantunya di Kerajaan. Ini awal bangsa ‘Ajam mulai mempengaruhi Bani Abbasiyah[2] Jadi, dianggap telah masuk awal kemunduran Bani Abbasiyah. Maka yang menjadi fokus kajian ini seperti yang disebutkan di atas. Sedangkan Pendidikan Islam Periode kemunduran Abbasiyah akan menjadi bahasan tersendiri, setelah ini.
Empat pokok bahasan yang akan dikupas pada sesi ini yaitu: Awal Perkembangan Pendidikan Islam Bani Abbasyah, Tokoh-tokoh ilmuan dan konstribusinya dalam Pendidikan Islam masa Abbasiyah, Lembaga Pendidikan Islam Masa Abbasiyah, Klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Abbasiyah, kesimpulan dan soal-soal latihan
Setelah membahas materi ini mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan keempat bahasan di atas dengan baik.
             
B. Pembahasan
1.         Awal Perkembangan Pendidikan Islam Bani Abbasyah
Peletak utama dasar-dasar kekuasasan  Bani Abbasiyah adalah Abu Abbas As-Saffah (749-754 M)[3]. Namun sebagai pembina awal kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan Khalifah Al-Manshur (754-775) yang telah mendesain dengan baik berdirinya kota Bagdad dekat tempat Ctesiphon atas perencanaan filosof Persia, Nawbakht, dan ahli astronomi Masya’allah, seorang Muslim Yahudi. Dalam limapuluh tahun perencanaannya, kota Bagdad muncul menjadi kota paling penting di dunia dengan menyaingi Konstatinopel[4]. 
Berawal dari penyakit Al-Mashur yang susah dicarikan obatnya, maka didatangkanlah Jurjis ibnu Bakhti Yashu, seorang dokter Nestoria yang terkenal, dari akademi Kedokteran Jundi Syapur Ke istana Abbasiyah. Suatu Peristiwa yang memberikan pengaruh yang besar atas perkembangan sains dan seni pengobatan pada masa selanjutnya. Keberhasilan dokter Jurjis ibnu Bakti Yashu dalam menyembuhkan penyakit khalifah Al-Mashur maka mereka diberikan kemakmuran hidup di Bagdad oleh khalifah sebagai dokter-dokter istana, mereka juga membangkitkan studi karya-karya besar Hippocrates (436 SM) dan Galen (200 SM)[5]. 
Kemudian muncul pula ahli matematika dan astronomi India ke Istana al-Manshur pada tahun 773 M dengan membawa sebuah buku Sinddanta (Shindhin, sebuah risalah tentang astronomi) menyebabkan khalifah memerintahkan penerjemahan karya itu ke dalam bahasa Arab[6].
Muhammad Ibrahim al-Farazi melaksanaka tugas itu dengan baik dengan dibantu oleh pembantu-pembantunya yang cakap. Dalam beberapa tahun Irak (Bagdad) melahirkan sejumlah ahli astronomi yang sangat mumpuni hingga memberikan sumbangan yang berarti sekali sampai abad 14[7].
Di antara harta berharga yang didatangkan dari Bizantium, diperolehnya naskah-naskah Yunani tentang geometri, astronomi, kedokteran dan filsafat. Proyek penterjemahan berlangsung dengan baik atas sokongan Khalifah Harun-ar-Rasyid dan Al- Makmun[8].
Dari negeri Persia (Iran) Islam memperoleh astronomi, namun yang paling berpengaruh bidang kesusastraan dan seni rupa Arab. Di antara sastra terkenal yang diterjemahkan Khalilah wa Dimmah diterjemahkan seorang Zoroaster yang telah masuk Islam Ibnu al-Muqaffa (757 M)[9]. 
Proyek besar yang tengah dilakukan para khalifah Abbasiyah adalah transfer ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa ke dalam bahasa Arab sehingga mudah dipelajari oleh ulama atau cendikiawan muslim yang tidak banyak yang mampu menguasai bahasa tersebut. Program penterjemahan yang penomenal khalifah al-Makmun bidang filsafat, kedokteran dan sains Yunani.
Tercatat bahwa Hunain bin Ishaq (809-873 M) mendapat bayaran penterjemahan setara dengan berat buku yang diterjemahkan[10].  Adalah sebuah langkah fantastis oleh penguasa untuk mendorong semakin berkembangnya ilmu pengetahuan. Kebangkitan sebuah peradaban terkait dengan bersemangat tidaknya ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan menggeliat bila penguasa benar-benar cinta ilmu pengetahuan. Terbukti masa gilang gemilang peradaban Abbasiyah tatkala pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan benar-benar menjadi primadona. 
 Seiring dengan menggeliatnya proyek penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab, secara bersamaan kegiatan pendidikan Islam berjalan lebih bersemangat, karena semakin luasnya materi-materi baru yang didapatkan dari berbagai penjuru negeri. Para ulama dan cendikiawan muslim bertambah semangat menggali dan mengembangkan ilmu-ilmu baru tersebut.
Tempat-tempat penterjemahan yang digunakan sekaligus menjadi tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan Islam. Istana, labor observasi dan rumah-rumah ulama menjadi tempat yang biasa digunakan sebagai tempat penterjemahan sekaligus pelaksanaan pendidikan Islam. Bait al-Hikmah yang didirikan khalifah Al-Makmun menjadi tempat yang luas digunakan untuk proses kegiatan keilmuan dan proses pendidikan Islam.  
Ada beberapa faktor yang berkesinambungan menjadi pendorong kemajuan pendidikan Islam pada masa Bani Abbasiyah menurut Ramayulis yaitu[11] :
a.                   Karena adanya kekayaan yang melimpah dari pajak (kharaj).baik dari perdagangan maupun pertanian, dengan kekayaan itu, khalifah mudaj merealisasikan perencanaan untuk dalam maupun luar negerinya, serta pengembangan ilmu pengatahuan
b.                  Perhatian beberapa khalifah yang besar kepada ilmu pengetahuan seperti al-Mansur (757-775 M), al-Mahdi (775-785 M), Harun al-Rasyid (785-809 M), al-Makmun (813-833 M), al-Wathiq (824-8-47 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M). Tak kalah pentingnya, pengaruh keluarga Barmak, yang berasal dari Balk, pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Persia. Keluarga ini mempunyai pengaruh yag kuat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Bagdad. Mereka di samping menjadi Wazir juga menjadi pendidik anak khalifah di istana.
c.                   Kecenderungan umat Islam dalam mengggali ilmu pengetahuan besar sekali, maka banyaklah ulama di setiap kota  Islam masa itu.
d.                  Kondisi masyarakat Irak, yang mendesak perlunya suatu lmu baru kerena sungai Dajlah dan Furat menuntut penataan pengairan yang lebih baik serta pengelolaan perpajakan yang lebih sempurna.
e.                   Umat Islam yang telah bercampur baur dengan orang Persia, terutama Mawali, mereka inilah yang memidahkan ilmu pengetahuan  dan filsafat dari bahsa mereka ke dalam bahasa Arab.
f.                    Bagdad sebagai pusat pemerintahan, lebih dahulu maju dalam ilmu pengetahuan, dari pada Damaskus masa itu.
g.                  Lancarnya hubungan kerjasama, dengan Negara-negara maju lainya, seperti India, Bizantium dan lainya
h.                  Ditemukannya teknologi kertas[12], sehingga memudahkan para ilmuan mendokumenkan ilmu pengetahuan yang ditemukannya.
i.                    Secara umum tidak adanya saingan yang berarti dengan peradaban lainya[13].
Kondisi yang sangat tepat untuk perkembangan bani Abbasiyah ini, sebenarnya terjadi untuk lintas sektoral yang, selain pendidikan/pengajaran ilmu-ilmu aqliah yang diambil dari dunia luar dan daerah takhlukan, ilmu-ilmu agama tentunya tidak ketinggalan. Geliat ilmu agama dengan segala variannya berkembang dengan suburnya. Misalnya dalam bidang teologi/ilmu kalam Islam mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Makmun. Perseteruan pemikiran tidak hanya dalam lintas akademik murni melainkan merembes ke ranah politik dan kekuasaan. Karena kuatnya pengaruh teologi dalam kekuasaan Bani Abbasyah khusunya ketika al-Makmun berkuasa, lahirlah Istilah al-Mihnah (ujian kepada orang yang ingin masuk menjadi pejabat di kerajaan atau yang tidak mendukung). 
Pertikaian teologi yang melibat kekuasaan telah banyak membawa dampak negative kepada ulama yang tidak mendukung paham teologi yang berkuasa. Khusunya ulama-ulama yang menyebut dirinya pembela sunnah. Mereka tidak mau mengakui bahwa al-Qur’an itu makhluk sebagai mana yang dipercayai kaum Mu’tazilah (paham liberal) yang di dukung kekusaan. Mereka yang dianggap  membangkang, disiksa dan dipenjara. Bahkan ada yang wafat untuk mempertahankan kepercayaannya. Di antara ulama kalangan salaf yang kena getahnya ini adalah Muhammad bin Hanbal (lahir 164 H) di Bagdad[14]. Sedangkan yang wafat di antaranya Muhammad bin Maimun al-Jundi An-Naburi, Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i dan Abu Ya’kub Al- Buaithi[15].  
Namun, untuk ilmu aqliah  berkembangannya tidak seperti ilmu rumpun agama, bisa dikatakan relative stabil dan netral, karena ilmu-ilmu aqliah tersebut tidak menjadi bagian kepercayaan praktis masyarakat Islam kala itu. Bisa dikatakan kedudukannya hanya sebagai penopang kemajuan peradaban dan memudahkan kegiatan praktis masyarakat Islam.   Jadi, tidak terjadi sentiment seperti ilmu rumpun agama.

2.    Tokoh-tokoh ilmuan dan konstribusinya dalam Pendidikan Islam masa Abbasiyah,
Salah satu faktor kesuksesan dinasti abbasiyah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan adalah dengan banyaknya ilmuan muslim pada zaman tersebut yang memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sekaligus kepada pendidikan Islam diantaranya adalah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Kindi, Ibnu Haytham, al-Rhazi dan lainya di bawah ini diuraikan sebagai berikut[16]:
a.   Ibnu Sina
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Ia juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qanun fi al-Tibb yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā, ia lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Iran), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Iran.
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “bapak kedokteran modern.” George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.” pekerjaannya yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Al-Qanun fi At-Tibb.
b.   Ibnu Rusyd
Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520 Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja’far Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai “Kadi” (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang memengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada. Beberapa karya ibnu Rusyd yang terkenal diantaranya adalah Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih), Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran), Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat).
c. Al-Kindi
Al-Kindi (801-873), bisa dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang ia terjemahkan sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan.
Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah memengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi. Ia menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.
Al-Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan olehIbnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid’ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu.
 d.  Ibnu Haytham
Abu Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham (965-1039), dikenal dikalangan Barat dengan namaAlhazen, adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ia banyak pula melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop.
Ibnu Haitham dilahirkan di Basrah pada tahun 354H bersamaan dengan 965 Masehi, ia memulai pendidikan awalnya di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di bandar kelahirannya. Setelah beberapa lama berkhidmat dengan pihak pemerintah di sana, beliau mengambil keputusan merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan beliau telah melanjutkan pengajian dan menumpukan perhatian pada penulisan.
Kecintaannya kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir, selama di sana beliau telah mengambil kesempatan melakukan beberapa kerja penyelidikan mengenai aliran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang cadangan dalam menempuh perjalanan menuju Universitas Al-Azhar. Setelah itu beliau menjadi seo­rang yang amat mahir dalam bidang sains, falak, mate­matik, geometri, pengobatan, dan falsafah. Tulisannya mengenai mata, telah menjadi salah satu rujukan yang penting dalam bidang pengajian sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai pengobatan mata telah menjadi asas kepada pengajian pengobatan modern mengenai mata.
 e.   Al-Rhazi
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (865-925) atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran. Ia lahir pada tanggal 28 Agustus 865 Hijirah dan meninggal pada tanggal 9 Oktober 925 Hijriah. Nama Razi-nya berasal dari nama kota Rayy. Kota tersebut terletak di lembah selatan jajaran Dataran Tinggi Alborz yang berada di dekat Teheran, Iran. Di kota ini juga, Ibnu Sina menyelesaikan hampir seluruh karyanya.
Ar-Razi sejak muda telah-mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah sakit di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit Muqtadari di Baghdad.
Saat masih kecil, ar-Razi tertarik untuk menjadi penyanyi atau musisi tapi dia kemudian lebih tertarik pada kimia dan pada umurnya yang ke-30, ar-Razi memutuskan untuk berhenti menekuni bidang kimia dikarenakan berbagai eksperimen yang menyebabkan matanya menjadi cacat. Kemudian dia mencari dokter yang bisa menyembuhkan matanya, dan dari sinilah ar-Razi mulai mempelajari ilmu kedokteran. Dia belajar ilmu kedokteran dari Ali ibnu Sahal at-Tabari, seorang dokter dan filsuf yang lahir di Merv. Dahulu, gurunya merupakan seorang Yahudi yang kemudian berpindah agama menjadi Islam setelah mengambil sumpah untuk menjadi pegawai kerajaan dibawah kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mu’tashim.
Razi kembali ke kampung halamannya dan terkenal sebagai seorang dokter disana. Kemudian dia menjadi kepala Rumah Sakit di Rayy pada masa kekuasaan Mansur ibnu Ishaq, penguasa Samania. Ar-Razi juga menulis at-Tibb al-Mansur yang khusus dipersembahkan untuk Mansur ibnu Ishaq. Beberapa tahun kemudian, ar-Razi pindah ke Baghdad pada masa kekuasaan al-Muktafi dan menjadi kepala sebuah rumah sakit di Baghdad dan setelah kematian Khalifah al-Muktafi pada tahun 907 Masehi, ar-Razi memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya di Rayy, dimana dia mengumpulkan murid-muridnya. Dalam buku Ibnu Nadim yang berjudul Fihrist, ar-Razi diberikan gelar Syaikh karena dia memiliki banyak murid. Selain itu, ar-Razi dikenal sebagai dokter yang baik dan tidak membebani biaya pada pasiennya saat berobat kepadanya.
f.     Al-Khowarizmi
Beliau adalah bapak Aljabar. Karyanya yang terkenal yaitu Kitab Al-Jabru wal Muqabbala. Dari buku ini kita mengenal ilmu Aljabar yang diajarkan di pelbagai sekolah di dunia termasuk di Indonesia. Beliau juga yang menemukan angka nol. Di Barat beliau dikenal dengan nama Alghorizm. Nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah ilmu matematika yang disebut Algoritma[17].
g.                  Jamsyid Giatsuddin Al-Kasyri
Beliau hidup pada abad ke-17. Beliau adalah ulama’ yang sangat pandai dalam hal agama dan ilmu pengetahuan. Beliau adalah seorang Professor dalam bidang Matematika dan Astronomi di Universitas Samarkand. Beliaulah peletak dasar aritmatika yang dilakukan atas dasar slide rule yang dianggap sebagai penemuan ilmiah paling penting dalam matematika pada abad kini. Buku karangannya yang terkenal yaitu Makhutu Miftahil Hisab[18].
h.                  As-Simay
As-Simay adalah seorang yang ahli dalam bidang Biologi. Salah satu buku hasil karya beliau yang terkenal adalah Kitabun Nabati was Syujjar. Buku ini mengupas masalah biologi, terutama bidang tumbuh-tumbuhan dan pepohonan.
i.      Ibnul Awwan
Ibnu Awwan adalah seorang yang ahli dalam bidang pertanian. Bukunya yang terkenal yaitu Al-Fallah[19].
j.      Al-Jahiz
Al-Jahiz adalah seorang yang ahli dalam bidang biologi, khususnya bidang ilmu hewan. Karyanya yang terkenal adalah Al-Hayawan[20].
k.    Sabit bin Qurrah Al-Hirany
Beliau seorang yang ahli dalam bidang matematika. Karyanya yang terkenal antara lain Kitab Hisabul Ahillah dan Kitabul ‘Adad.[21]
l.      Abu Abdillah Al-Qazwani
Dilahirkan pada abad ke-7 Hijriyah. Beliau adalah seorang ulama’ yang ahli dalam bidang sejarah. Kitab yang dikarangnya, Asarul Bilad wa Akhbarul Bilad adalah kitab terbaik pada masanya[22].
m.                Abu Ar-Raihan Al-Bairuni
Beliau telah menyusun Kitab Al-Atsar Al-Baqiah yang merupakan kitab pertama di dunia yang meneliti tentang sejarah, perbedaan bulan, tahun, penanggalan, sebab, dan cara mengistinbatkannya. Kitab lain yang terkenal adalah Tahqiqu lil Hindi min Ma’qulah Maqbulatun fi ‘Aqli au Marzulah. dianggap sebagai kitab yang mengadakan studi tentang India secara lengkap. Di dalamnya dijelaskan sifat-sifat alamnya, tanahnya, cuacanya, adat penduduknya, pertumbuhannya dan asal-usulnya[23].
3.         Lembaga Pendidikan Islam Masa Abbasiyah,
Pusat-pusat pendidikan Islam sebagai sebuah lembaga pendidikan banyak mengalami perkembangan, sesuai perkembangan tumbuhnya semangat keilmuan baik aqliah maupun agama. Berikut ini, lembaga pendidikan Islam untuk kegiatan keilmuan agama dan aqliah  adapun Lembaga pendidikan Agama yang berkembang menurut Charles Michael Staton yaitu:
a.         Masjid
Masjid secara historis masjid Quba pertama yang menjadi Institusi pendidikan Islam pertama didirikan nabi Muhammad selain tempat ibadah sekaligus tempat pengajaran. Metode pengajaran yang digunakan nabi adalah halaqah (melingkar). Kemudian pelaksanakan halaqah di masjid-masjid kaum muslimin era Abbasiyah terbagi menjadi dua jenis dan halaqah yang secara umum pada tingkat tinggi da halaqah  yang khusus diperuntukkan bagi kajian dalam salah satu mazhab yang empat[24].
Sedangkan Masjid sebagai lembaga dibagi menjadi dua tipe yaitu pertama, Masjid Jami’ yang dibangun Negara di bawah pengawasan khalifah atau Gubernur. Kedua, Masjid non Jami’ yaitu masjid local yang ekslusif. Bangunan ini lebih kecil ukuran bangunannya. Bangunan ini dibangun sesuai kesbutuhan sekelompok masyarakat Islam yang tinggal di lingkungan tertentu atau sekelompok penganut mazhab tertentu. Masjid seperti ini tersebar diseluruh kota-kota Islam Abbasiyah[25].
Setiap masjid Jami’ dipimpin seorang syaikh yang diangkat khalifah atau Gubernur. Kegiatan halaqah mengambil tempat di satu sudut atau di seputar pilar dalam masjid. Halaqah dalam satu masjid menawarkan materi pelajaran seperti ; hadis, tafsir, fiqih, ushul al-fiqih, nahu, sharaf, dan sastra Arab. Jumlah murid dalam setiap kajian tergantung popularitas seorang syaikh. Biasanya halaqah terdiri dari 10 sampai 20 orang murid[26].
b.        Lembaga Wakaf
Berdasarkan hukum wakaf, seseorang dapat membentuk satu wakaf yang assetnya akan mendukung satu lembaga yang dia pilih[27]. Lembaga wakaf mendukung kegiatan proses pendidikan Islam baik itu di masjid atau tempat lain, dukungan wakaf harta kaum muslimin yang disumbangkan digunakan  untuk membangun asrama mahasiswa (khan), biasanya penghuni asrama diisi oleh siswa atau mahasiwa yang jauh dari desa-desa, yang pada umumnya mereka belajar fiqih[28].
c.    Kuttab atau Maktab
Kuttab dan Maktab, berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Namun akhirnya memiliki pengertian pendidikan dasar, yang mengajar membaca dan menulis, kemudian meningkat kepada pengajaran al-Qur’an dan pengetahuan tingkat dasar. Mengenai waktu belajar di kuttab, dimulai dari hari sabtu sampai dengan hari kamis siang dengan materi al-Qur’an yang dilakukan dari pagi sampai Dhuha. Kegiatan menulis sampai waktu zuhur, dan Gramatikal Bahasa Arab, matematika dan Sejarah ba’da zuhur sampai siang[29].
d.        Al-Ribath
Al-Ribath adalah kegiatan sufi yang ingi menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata beribadah. Juga memberikan perhatian terhadap keilmuan yang dipimpin oleh syaikh yang terkenal dengan kesalehannya. Al-Ribath biasanya diisi oleh orang-orang miskin yang bersama-sama melakukan kegiatan sufistik. Bangunan al-Ribath mereka jadikan tempat tinggal untuk beribadah dan mengajarkan pelajaran agama[30].
e.         Al Zawiyah
Al-Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliah dan aqliah yang berkaitan dengan aspek agama serta digunakan oleh sufi sebagai tempat halaqah zikir dan tafakur untuk mengingat dan merenungkan keagungan Allah swt[31].
Lembaga pendidikan Islam yang memusatkan pada ilmu aqliah adalah :
a.    Bait al-Hikmah; Perpustakaan dan Observatorium
Bait al-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini adalah prototype institusi yang ada di masa Imperium Sasanid Persia, bernama ‘Jundisapur Academy’. Namun, kedua lembaga ini mempunyai perbedaan yang mendasar, kalau Jundisapur hanya menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja, sedangkan Bait al Hikmah memyimpan berbagai koleksi ilmu pengetahuan sekaligus tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan.  Pada masa khalifah Harun al-Rasyid, Bait al-Hikmah diberi dinamakan Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat peneletian. Sejak tahun 815 M khalifah al-Makmun mengubah namanya menjadi ‘Bait al-Hikmah’. Bait al-Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, dan bahkan Etiopia dan India[32].
Di institusi ini, al-Makmun mempekerjakan Muhammad ibn Musa al-Hawarizmi yang ahli di bidang al-Jabar dan Astronomi. Sedangkan direktur perpustakaan Bait al-Hikmah adalah Sahl Ibn Harun seorang nasionalis Persia yang ahli Pahlewi. Bait al-Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan metematika[33]. 
b.        Toko buku dan Perpustakaan
Walaupun sarjana-sarjana modern mungkin kesulitan mengakui toko-toko buku sebagai pusat pendidikan tinggi, tetapi mereka tetap mengakui fungsi tersebut di kota-kota Islam. Selama kejayaan Abbasiyah, toko-toko buku berkembang pesat di wilayah Timur Tengah dan peran pentingnya, menyebar keseluruh wilayah Islam khususnya melalui Afrika Utara dan Semenanjung Iberia[34].
Sebelum perusakan dilakukan bangsa Mongol di Bagdad ada 100 lebih penjual buku atau toko buku. Kota-kota Sharaz, Basrah, Kairo, Kodova, Fez, Tunis dan banyak kota yang mendukung berlipatgandanya jumlah buku. Para pembeli dan penjualnya sering kali berasal dari kalangan cerdik pandai, yang tentunya memberikan andil yang sangat besar bagi kehidupan intelektual dalam sebuah masyarakat melalui karya-karya pilihan mereka, yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Parsi. Atau bangsa-bangsa Timur dan melalui karya-karya berbahasa Arab  yang disalin dan disediakan untuk umum[35].
Proses pendidikan Islam terjadi di toko buku dan perpustakaan dengan lingkaran diskusi dan Sanggar Sastra. Perpustakaan adalah inti dari program pengajaran, yang memperluas materi-materi pelajaran dalam perkuliahan dan diskusi-diskusi[36].
c.      Rumah sakit dan Klinik
Rumah Sakit dan Klinik berfungsi sebagai pusat-pusat pendidikan tinggi selama kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Rumah Sakit seperti halnya dalam kasus Perpustakaan dan Laboratorium menerima dukungan Khalifah, Gubernur dan Sultan[37].
Proses pendidikan kedokteran diselenggarakan di lingkungan Rumah Sakit. Kelompok awal (para dokter yang terkenal) dapat bekerja dengan para muridnya secara pribadi, mempercayakan kepada mereka penanganan pasien di tempat pengobatan dan klinik mengontrol kemajuan pengobatan, dan melibatkan mereka dalam proses pengklinikan seperti operasi[38]. 
Tujuan dari bimbingan ini adalah untuk menggabungkan pelajaran-pelajaran teoritis dan praktis ke dalam pengalaman belajar terpadu terhadap pelajar yang bersangkutan. Seorang dokter mengajar di klinik atau rumah sakit seperti itu, yang dikerumuni murid-muridnya lebih menyerupai sistem modern, dalam hal; bimbingan dan ‘pengasramaan, di mana seorang dokter menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan secara bergilir kepada murid-muridnya[39].
d.        Kesusteraan-pendidikan Liberal dalam Islam
Orang-orang yang ingin meningkatkan pendidikan mereka melalui media informal tidaklah terbatas pada pelajaran ilmu-ilmu non Islam. Kerangka dari sebuah pendidikan secara umum telah terbentuk di dalam Islam melalui kususesteraan yang disebut ‘adab’, yang sering diterjemahkan sebagai pelajaran tatakrama[40].
Untuk membantu orang-orang mempelajari adab, beberapa ahli multi disipliner Islam menulis buku-buku teks yang menyajikan informasi dasar mengenai semua bidang ilmu pengetahuan tersbut[41]. Seperti al-Farabi dan al-Khawarizmi dll.
e.         Al-Qurhur (pendidikan rendah Istana)
Munculnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat didasarkan atas pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya setelah dewasa. Untuk itu, keluarga raja dan pejabat istana lainya berusaha mempersiapkan anak-anaknya sejak kecil dengan memperkenalkan tugas-tugas serta lingkungan   kerjanya di masa depan[42].
Para pejabat istana dan khalifah memperkerjakan para pendidik yang disebut muaddib di lingkungan istana. Syalabi mengatakan mendidik para calon raja (pangeran) adalah pekerjaan yang sangat digemari[43]. Keluarga terkenal sebagai pendidik di kalangan Istana adalah keluarga al-Barmakh di istana khalifah Abbasiyah.
f.     Rumah para Ilmuan (ulama’)
Beberapa ilmuan menjadikan rumahnya sebagai tempat pendidikan, antara lain; rumah Abi Muhammad ibn Hatim al- Razi al-Hafiz dalam mempelajari ilmu kedokteran, dan rumah Abi Sulaiman al-Sajastani dalam mempelajari ilmu filsafat dan ilmu mantik[44].
Dijadikannya rumah para ilmuan tersebut sebagai tempat proses pendidikan menurut Ramayulis dilatarbelakangi oleh beberapa hal di antaranya:
a.    Rumah dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus.
b.    Situasi dan kondisi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, dan lain-lain.
c.    Adanya anggapan, bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik daripada guru yang mendatangi murid.
d.    Jumlah murid yang banyak, sehingga sebagian hanya bisa ditampung belajar di rumah ulama yang bersangkutan[45].

4.    Ilmu pengetahuan yang berkembang Masa Abbasiyah.
Beberapa ilmu pengetahuan yang berkembang masa Bani Abbasiyah, yaitu ilmu kedokteran, hukum, filsafat, dan hadits[46]:
a.  Kedokteran
Ilmu kedokteran adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari berbagai keadaan sehat maupun tidak. Artinya kesehatan bisa hilang, dan jika hilang, perlu diperbaiki. Dengan kata lain, seni dimana kesehatan berkaitan, dan akan diperbaiki setelah hilang.
Kedokteran adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang cara-cara untuk mempertahankan tubuh dari penyakit dan cara-cara untuk penyembuhan tubuh dari penyakit tersebut. Pada kejayaanya, ilmuan muslim mempunyai pengaruh yang besar di bidang ini, bahkan ada yang dinobatkan menjadi bapak kedokteran dunia, yaitu Ibnu sina.
1).   Fisiologi
يَا أَيُّهَا الإنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ (7) فَعَدَلَكَ فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah (Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh-mu.” (al-infithaar, 6-8).
“Dalam menentukan kegunaan setiap organ seharusnya kita melakukan percobaan untuk membuktikan kebenaran dan penelitian yang jujur, tanpa memperhatikan apakah pendapat itu sejalan atau tidak dengan pendahulu kita.” (Ibnu Nafis).
Fisiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fungsi organisme hidup serta bagian-bagiannya, dan mempelajari faktor fisika serta kimia dan proses yang terlibat di dalamnya.
Dalam pengembangan ilmu fisiologi, ilmuan muslim yang mempunyai pengaruh besar salah satunya adalah Ibnu Nafis (687-1288), dikenal sebagai bapak fisiologi sirkulasi karena dia adalah orang pertama yang menjelaskan sirkulasi paru-paru, sirkulasi coroner, dan sirkulasi kapiler. Bahkan dia orang yang paling awal menjelaskan tentang konsep metabolisme. Ibnu Nafis yang bernama lengkap ‘Ala’ al-Din ‘Ali ibn Abi l’Haram al-Qurasi tersebut, adalah salah satu dokter yang mendukung pembedahan pada manusia, dia juga pernah mengkritik pendapat Galen dan Ibnu Sina atas teori empat cairan yaitu pulse (denyut nadi), tulang, otot, usus, organ indra, esophagus, dan perut dalam bukunya Commentary on Anatomy in Avicenna’s Cannon.
Teori Galen yang lain pun sempat dibantahnya, Galen yang mengatakan bahwa jalur peredaran darah diantara dua ruangan pada jantung itu tidak terlihat, tapi Ibnu Nafis mengatakan sebaliknya. Bantahan Ibnu Nafis yang disebut juga sebagai “second Avicenna”  tersebut bukan untuk menjatuhkan Ibnu Sina maupun Galen karena kesalahan teorinya, tapi semata-mata untuk melengkapi teori mereka yang pasti mempunyai kekurangan pada setiap teori yang ia keluarkan.
Dokter arab Ibn al-Lubudi (1210-1267), berasal dari Damaskus, menulis The Collection of Discussion Relative to Fifty Psychological and Medical Question, menyebutkan bahwa jantung adalah organ pertama yang terbentuk dalam tubuh janin. Sedangkan menurut Hippocrates, organ yang pertama terbentuk adalah otak. Beliau juga menjelaskan bahwa tulang yang membentuk tengkorak dapat tumbuh menjadi tumor.
2).   Anatomi
As forthe parts of the body and their functions, it is necessary that they be approached through observation (الحس) and dissection (التسريح), while those things that must be conjectured and demonstrated by reason are diseases and their particular causes and their symptomps and how bated and health maintained (Ibnu Sina).
“Mengenai bagian-bagian tubuh dan fungsinya, perlu dilakukan pendekatan melalui observasi dan pembedahan. Sementara, hal tersebut harus diduga dan dibuktikan dengan alasan penyakit, penyebab dan gejalanya, serta bagaimana penyakit dapat diatasi dan kesehatan dapat terpelihara.”(Ibnu Sina)
Anatomi berasal dari bahasa   Yunani “ἀνατομίαanatomia dari “ἀνατέμνειν anatemnein”, yang berarti memotong. Sejarah anatomi adalah ilmu yang berkembang dari pemeriksaan awal seseorang yang menjadi korban persembahan sampai analisa canggih bentuk tubuh oleh ilmuan modern. Al Zahrawi, seorang dokter Muslim terkenal mencatan bahwa anatomi adalah sebuah ilmu yang sangat dibutuhkan untuk proses pembedahan, autopsi mayat dilarang untuk kebutuhan latihan maupun praktek, walaupun tidak ada larangan dalam ajaran agama.
Studi anatomi dimulai pada awal 1600 SM yang diperoleh dari data papyrus Mesir kuno. Lembaran itu menunjukan bahwa jantung, pembuluh darah, hati, ginjal, limpa, hypothamulus, rahim dan kandung kencing telah diketahui pada zaman tersebut, dan dalam lembaran tersebut tercatat bahwa pembuluh darah berasal dari jantung.
Ilmuan Anatomi yang terkenal pada abad ke 2 masehi adalah Galen, penemuannya pada anatomi tubuh menjadi buku teks anatomi dan telah digunakan selama ratusan tahun, tetapi hasil karyanya tersebut hilang dan ditemukan kembali oleh dokter kebangkitan eropa (Renaissance doctors) melalui hasil karya dokter muslim.
Setelah jatuhnya kekaisaran Roma, studi anatomi hampir hilang di Eropa, tetapi studi ini berkembang sangat pesat di dunia Islam sehingga muncullah para ilmuan Muslim yang ahli dibidang ini diantarannya Ibnu Sina, Ibnu Nafis, Hunayn, yang mempunyai peran aktif dalam mengembangkan ilmu ini. Dalam bukunya Sarh al-Qanun, Ibnu Nafis mempunyai kontribusi yang sangat besar yaitu pendapatnya tentang sistem sirkulasi darah dalam tubuh, yang baru ditemukan kembali tiga abad lalu. Dia menjelaskan tentang bronkitis dan interaksi pembuluh dalam tubuh dengan udara dan darah.
Al-Qanun fi al-Tibb karya Ibnu Sina, mencakup banyak penemuannya di bidang anatomi yang secara resmi diterima masyarakat zaman ini. Dia adalah saintis pertama yang menjelaskan tentang pendeskripsian perbedaan mata, seperti conjunctiva sclera, choroid, aqueous humour, optic chiasma, saraf penglihatan, iris, retina, kornea, dan lapisan lensa mata.
Selain Ibnu Sina, penjelasan anatomi mata pun ada kaitannya dengan Ibnu al-Haytham yang mewakili teori penglihatan oleh Galen, Euclid dan Ptolemy pada gambar yang dibuatnya pada tahun 1083 M di mesir, ilmuan yang sempat hidup dizaman Abbasiyah dan Fatimiyah ini menjelaskan tentang hubungan antara saraf-saraf penglihatan (optic nerves) dan bola mata menuju otak.
3).  Alat-alat kedokteran
Selain mempunyai peran penting dalam berkembangnya ilmu kedokteran, ilmuan muslim pun mempunyai banyak kontribusi dalam menemukan adn mengembangkan alat-alat kedokteran guna mempermudah dokter dalam proses penyembuhan, seperti yang tertulis pada Kitab Al-Tasrif karya Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas al-Zahrawi (936-1013).
Buku at-Tasrif yang dikarang al-Zahrawi menggambarkan beberapa alat medis yang ditemukan oleh ilmuan muslim, di antaranya adalah plester pelekat, benang bedah, cauterligature (tali-pengikat), forceps (tang-penjepit), injection syringe, thermometer, retractor, scalpel, surgical hook, surgical rod, dll.
4). Buku-buku dan teks kedokteran    
Kemajuan ilmu pengetahuan pasti mempunyai sumber-sumber yang terpercaya dan salah satunya adalah buku, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada zamannya, ilmuan-ilmuan pada zaman Abbasiyah banyak menulis buku, dibawah ini penulis akan mencantumkan buku-buku dan teks kedokteran yang ditulis oleh ilmuan-ilmuan pada zaman Abbasiyah yang beberapa dari buku tersebut telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, di antaranya:
No.
Judul
Penulis
1
Firdaous al-Hikmah (Paradise of Wisdom)
Ali ibn Sahl Rabban al-Tabari (860)
2
Adab al-Tibb (Ethics of Physician)
Ishaq bin Ali Rahawi (854-931)
3
Masalih al-Abdan wa al-Anfus (sustenance for the body and Soul)
Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934)
4
Al-Hawi (the Comprehensive Book of Medicine)
Muhammad ibn Zakariya Razi (865-925)
5
Shukuk ala alinusor (Doubts about Galen)
6
Man la Yahduruhu al-Tabib (A Medical Adviser for the General Public)
7
Al-Judari wa al-Hasbah (A Treatise on the Smallpox an Measles)
8
Disease of Children
9
Sense of Smelling
10
The Experimental of Medical Science and its Application
11
The Book of Simple Medicine
12
The Book of Disasters
13
Food and its Harmfulness
14
Why abou Zayd Balkhi Suffers from Rhinitis When Smelling Roses in Spring
15
Stone in the Kidney and Bladder
16
The Book of Tooth Aces
17
Food for Patients
18
Benefits of Honey and Vinegar Mixture
19
The Book of Surgical Instrument
20
Fruits Before and after Lunch
21
About the menstrual Cycle
22
Fatal Disease
23
About Poisoning
24
Misconseptions of a Doctor Capabilities
25
The Social Role of Doctors
26
Kitab Kamil as-Sina’a  at-Tibbyya (Complete Book of the Medical Art)
Ali ibn Abbas (982-994)
27
Kitab Tibb al-Machayikh
Ibn al-Jazzar al-Qayrawani (898-980)
28
Risalah al-Shafiyah fi Adwiyat al-Nisyan (Teratise on Drug for Forgetfulness)
Ibn Ishaq bin Hunayn (900)
29
Al-Taisir
Ibn Zuhr (1091-1161)
30
The Method of Preparing Medicine and Diet
31
Aqrabadhin (Medical Formulatory)
Al-Kindi (803-873)
32
De Gradibus, Treatise on Diseases Caused by Phlegm
33
Al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine)
Ibnu Sina (980-1037)
34
The Book of Healing
35
Kitab at-Tasrif (Book of Healing and Concessions or The method of Medicine )
Abu al-Qasim Khalaf ibn Abbas al-Zahrawi (936-1013)
36
Sharh Tashrih al-Qanun Ibn Sina (Commentary on Anatomy in Avicenna’s Canon)
Ala al-Din Abu al-Hasan ibn Abi Hazm al-Qurashi al-Dimashqi (Ibnu Nafis) 1213-1288
37
Al-Shamil fi al-Tibb (The Comprehensive Book on Medicine)
38
Kitab al-Mukhtar fi al-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs)
39
Commentary on Compound Drugs
40
Al-Mujaz fi al-Tibb (A Summary of Medicine)
Abu Ali al-Hassan ibn al-Hasan ibn al-Haytham (Ibn al-Haytham) (965-1040)
41
Risalat al-A’ada’a (An Essay on Organ)
42
Al-Shamel fi al-Tibb (Reference Book for Physician)
43
Kitab al-Munazir (Book of Optics)
44
The Polished Book on Experimental Ophtalmology
45
Kitab al-Saydala (The Book of Drugs)
Abu Rayhan al-Biruni (937-1050)
46
Al-Athar al-Baliyah
47
Collection of Discussion Relative to Fifty Psychological an Medical Questions
Ibn al-Lubudi (1210-1267)
48
The Books of Elite Concerning the Unmasking of Mysteries and Tearing of Velis
Gaubari (1200)

5) Farmasi
Di antara ahli farmasi masa Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah al-Mugni (berisi tentang obat-obatan), Jami’ Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi)[47].
b. Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan dalam bidang politik, ekonomi, dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat dalam kriminalisasi. Dalam pelaksanaannya, hukum mempunyai dua bentuk yaitu hukum pidana dan hukum perdata.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan–perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang–undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan atau denda bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal dua jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran. Dalam Islam hukum pidana dinamakan qisas yaitu nyawa dibalas nyawa, tangan dibalas tangan, tetapi apabila seseorang membunuh, maka tidak langsung dibunuh tetapi diadakannya penyelidikan lebih lanjut terlebih dahulu tentang kejadian yang sebenarnya.
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat dengan cara tertentu, hukum ini disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Hukum perdata digolongkan menjadi beberapa bagian, diantaranya hukum keluarga, hukum harta, hukum perikatan, dan hukum waris.
Khalifah kedua dinasti Abbasiyah, al-Mansur mereformasi Baghdad menjadi ibukota dinasti pada tahun 762 M sehingga membawa perubahan besar pada dunia Islam dengan munculnya sebutan “The Golden Age of Islam” dan perubahan hukum-hukum kenegaraan dengan berdasar pada hukum-hukum berbasis pada al-Qur’an dan Sunnah sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Pada abad kedua kekuasaan dinasti ini, sekolah tinggi hukum aliran sunni dan syiah didirikan, salah satu ahli hukumnya adalah Ibnu Rusyd, seorang yang menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang fisikawan sekaligus hakim. Kedudukannya sebagai pemuka agama dalam bidang hukum islam dan hakim di kordoba sangat dihormati. Pada zamannya, banyak orang yang datang untuk berkonsultasi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu hukum. Pada masa Harun ar-Rasyid, mazhab imam Hanifah menjadi dasar hukum karena pendapat-pendapat hukumnya merupakan sebuah reformasi yang dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di kota Kufah, kota yang maju pada zamannya. Salah satu muridnya adalah Abu Yusuf yang menjadi Qadhi al-Qudhat, yang hidup pada zaman Harun ar-Rasyid.
Pada masa dinasti ini, hukum yang lebih dominan dipakai adalah hukum syi’ah sehingga resmi menjadi dasar ideologi abbasiyah dalam menentukan hukum dalam mengatasi sebuah kasus.
c. Filsafat
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat diartikan sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumya. Pada masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid (786-809 M) dan khalifah al-Ma’mun (813-833 M) kitab-kitab filsafat Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kemudian dipelajari, didalami, dan diadakan perubahan-perubahan sesuai dengan ajaran Islam. Adapun tokoh-tokoh filsafat (ahli filsafat) Islam yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah antara lain Abu Ishak Al-Kindi (809-873 M), Abu Nashr al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1036 M), Al-Gazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198).
Salah satu filsafat terkenal adalah al-Ghazali, dia adalah orang yang pertama kali menggabungkan konsep ilmu filsafat dan mistik dalam kehidupan sehari-hari. Pada masanya, terjadi sebuah krisis kepercayaan yang tinggi dilingkungannya sehingga menggugah al-Ghazali untuk belajar filsafat dengan maksud untuk mencari kebenaran tentang perbedaan tradisi umat muslim, dan keputusan terakhirnya adalah menjadi pengikut sufi mistik.
Dia juga menulis tentang kriteria seseorang dikatakan murtad secara sistematis, dia menulis bahwa barang siapa yang berpandangan bahwa bumi diciptakan tanpa ada tujuan, atau tuhan tidak maha kuasa, kebangkitan setelah mati itu bohong, adalah orang yang ingkar terhadap agama dan harus dibunuh.
Filsafat yang lainnya adalah al-Kindi, konsep filosofinya berdasar pada konsep fisik dan metafisik Aristotelian yang hampir sama dengan konsep Neoplato. Dengan dasar filosofinya, al-Kindi pernah mencoba untuk mempadukan antara konsep pembelajaran islami dengan filosofi Aristotelian dan Neoplatonic sehingga didirikanlah Mashsha’i atau sekolah keliling yang mengajarkan tentang islam, dan dialah orang yang menulis risalah On the First Philosophy yang dipersembahkan untuk khalifah al-Musta’sim.
Mashsha’i yang didirikan oleh al-Kindi banyak mendapatkan perpaduan konsep dari filosofi lain, seperti al-Farabi yang melengkapi konsep perpaduan awal, dan ibn Sina yang membawa Mashsha’i menuju puncak kesempurnaan. Banyak orang menyadari bahwa al-Farabi atau “guru kedua” setelah Aristoteles, bukan hanya sebagai pendiri filosofi politik Islam, tetapi juga sebagai pendiri filosofi Islam itu sendiri. Dalam penilaian terhadap filosofi Aristoteles dan Plato, dia menulis komentar pada hukum-hukum yang dibuat oleh Plato. Al-Farabi mendapatkan pelatihan filosofi dari seorang Kristen bernama Yuhanna b. Haylan.
d. Hadits
Hadits berasal dari bahasa arab yaitu الحديث yang bermakna perkataan, dalam syariat Islam hadits bermakna segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw baik perkataan, perbuatan, maupun apa yang dilakukan para sahabat nabi dan disetujui olehnya. Pada zaman dinasti Abbasiyah, ilmu hadits merupakan salah satu ilmu yang berkembang pesat, bahkan para ulama hadits di zaman tersebut masih terkenal sampai hari ini, seperti Imam Bukhari (194-252 H / 810-866 M), Imam Muslim (204-261 H / 820-875 M), Ibnu Majah (207-273 H / 822-887 M), Abu Dawud (202-275 H / 818-889 M), dan Tirmidzi (200-279 H / 816-82 M), mereka merupakan para perawi hadits yang terjamin keshahihannya.
Kumpulan hadits yang mereka riwayatkan telah dikumpulkan dalam bentuk buku yang diberi judul atas nama mereka sendiri, seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, dan Sunan at-Tirmidzi.
e.         Ilmu Tafsir
Berkembangnya ilmu tafsir pada abad ketiga hijriah dalam upaya memenuhi kebutuhan untuk memahami al-ur’an sebagai bertambah banyaknya jumlah penduduk Islam akibat bertambah luasnya kekuasaan Islam. Beberapa tafsir al-Qur’an yang ada waktu Abbasiyah antara lain: Jami’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Ibn Jarir al-Thabari, Mu’alim al-Tanzirl (al-Baghawi), tafsir al-Kabir (al-Razi), Tafsir Abu Bakar al-Isham dan Tafsir Ibn Jarwi al-Asadi[48].
f.          Ilmu Fikih Qira’at
       Ilmu qira’at muncul sesuai dengan luasnya wilayah Islam, sehingga factor lahjah sangat mempengaruhi pengucapan bacaan al-Qur’an untuk setiap wilayah Islam. Pembacaan al-Qur’an yang berbeda juga didasari teks al-Qur’an yang tidak mempunyai titik dan baris. Adapun ulama yang ahli sebagai pembahas pertama ilmu Qiraat dari segi dasar dan sanad yang dianut setiap ahlinya adalah Harun Ibnu Musa al–Bushani (w.170). beberapa tokoh Qiraat yang terkenal pada masa ini adalah; Nafi’, Ibn Kasir, Ibn Amir, Abu Amru, Ashim Hamzah, Al Kasai, Yahya Ibn Haris, al-Zimani, Hamzah ibn Habib dan sebagainya[49].
g.        Ilmu kalam
       Ilmu kalam disebut juga ilmu logika, ilmu yang bagaimana cara berlogika. Masuknya ilmu kalam ini menurut Ramayulis berkaitan dengan masuknya bangsa-bangsa yang beradab sebelumnya ke dalam kekuasaan Islam. Ilmu kalam yang mampu menjelaskan tentang kejelasan aqidah Islam,
       Orang sebelum Islam telah biasa menggunaka ilmu semacam ini untuk berdebat mempertahankan keyakinannya. Oleh karena itu Islam juga memerlukan ilmu ini untuk mempertahankan ajarannya dari serangan atau dalam menyakinkan orang ahli kitab dan sebagainya.
       Adapun tokoh Mutakallimin yang terkenal masa itu adalah ; Washil bin Atha’, Amr Ibn ubaid pelopor aliran Muktazilah, Abu Hasan al-Asy’ari. Al-Juwani pemuka aliran Asy’ariyah[50].
h.        Ilmu Fikih
Munculnya ilmu Fiqih berkaitan dengan bertambah banyak persoalan umat Islam dalam lapangan praktis oleh bekembangnya perikehidupan masyarakat Islam. Tentu persoalan umat masa Nabi dan sahabat tidak bisa lagi dipadakan harus ada ijtihad baru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis yang berguna untuk menuntun kehidupan masyarakat Islam, dalam hubungannya dengan tuhan, alam atau sesamanya dalam pergaulan sehari-hari.
            Menurut Charles Michael Staton jumlah mazhab fikih mencapai 500 mazhab. Namun hanya empat mazhab yang mahsyur yaitu ; Abu Hanifah (699-767 M), Imam Malik (715-795 M), Imam Syafi’I (767-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)[51] sedangkan dari syi’ah ada Ja’far Shadiq. 
i.          Ilmu Tarikh
Nama seperti Muhammad Ishak (w.152 H) adalah yang pertama menulis sejarah (Tarikh) nabi Muhammad saw, kemudian diringkas oleh Ibn Hisyam (w. 218 H) dengan judul bukunya syarh ibn Hisyam.  sedangkan penulis lainya adalah Ibnu abi Mahruf, Al-Waqidi, Ibn al-Kilbi, Ibn Sa’ad ibn al –Hikam, Ibn Qutaibah dan Nubkhiti[52].
j.          Ilmu Nahwu
Tokoh yang paling utama dalam ilmu nahwu adalah khalifah Ali bin Abi Thalib ra, kemudian keahlian terapannya adalah Abu Aswad al-Duali yang hidup pada masa Bani Umayyah, beliau sekaligus dianggap telah membinan dasar-dasar ilmu ini. Pada masa Abbasiyah perkembangan ilmu nahwu bertambah pesat, tersebut nama ahli seperti ; Sibaiwahi, Isa Ibnu Umar, al-Saqafi, Abu Amir ibn al-A’la, dan sebagainya. Untuk ulama yang ahli tersebut seperti ; Al-Kasai, Abu Ja’far dan Al –Ruas[53].
C. Kesimpulan
Kemajuan suatu peradaban telah membuktikan, bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan sangat berperan dalam memberikan kemilau sebuah Daulah, Dinasti atau Kerajaan. Tidak terkecuali di zaman modern ini faktor ilmu pengetahuan yang berkembang dan maju disebabkan oleh pelaksanaan pendidikan yang baik. Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengingatkan bagi Negara-negara yang ingin maju lebih cepat setara dengan bangsa yang telah maju, hendaklah memperhatikan lembaga pendidikannya dengan baik. Memperhatikan dalam arti membangun pendidikan nasionalnya dengan kesungguhan, baik fasilitas, tenaga edukasi, suasana akademis yang kondusif, keterbukaan mimbar akademik dan sebagainya.
Jauh sebelum nasehat di atas diungkapkan, pemerintahan Islam seperti Bani Abbasiyah telah memberikan perhatian khusus kepada bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mengadakan dan memperbaiki semua fasilitas lembaga pendidikan Islam. Memberikan apresiasi yang luar biasa kepada para   ulama dan cendikia yang ada di zamannya.
Ilmu pengetahuan menjadi primadona dalam perhatian masanya. Banyak ilmuan terkenal seperti ; Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Ibnu Haytham, Al-Rhazi, Al-Khowarizmi, Jamsyid Giatsuddin Al-Kasyri, As-Simay, Ibnul Awwan, Al-Jahiz, Sabit bin Qurrah Al-Hirany, Abu Abdillah Al-Qazwani, Abu Ar-Raihan Al-Bairuni, untuk ulama bidang keagaman seperti ; Ibn Jarir al-Thabari, al-Baghawi al-Razi, Abu Bakar al-Isham dan Ibn Jarwi al-Asadi. Nafi’, Ibn Kasir, Ibn Amir, Abu Amru, Ashim Hamzah, Al Kasai, Yahya Ibn Haris, al-Zimani, Hamzah ibn Habib, Washil bin Atha’, Amr Ibn ubaid, Abu Hasan al-Asy’ari. Al-Juwani, Imam Malik, Imam Syafi’I,  Imam Ahmad bin Hanbal, Ja’far Shadiq, Muhammad Ishak, Ibnu abi Mahruf, Al-Waqidi, Ibn al-Kilbi, Ibn Sa’ad ibn al –Hikam, Ibn Qutaibah dan Nubkhiti, Ibn Hisyam, ; Sibaiwahi, Isa Ibnu Umar, al-Saqafi, Abu Amir ibn al-A’la, Al-Kasai, Abu Ja’far dan al –Ruas,
Serta tumbuhnya kembangnya lembaga pendidikan Islam baik yang mengkhususkan diri pada pendalaman keagamaan maupun ilmu-ilmu aqliah  seperti; Masjid, Lembaga Wakaf, Kuttab atau Maktab, al-Ribath, al Zawiyah, Bait al-Hikmah; Perpustakaan dan Observatorium, Toko buku dan Perpustakaan, Rumah sakit dan Klinik, Kesusteraan, al-Qurhur (pendidikan rendah Istana), Rumah para Ilmuan (ulama’), dan bidang kajian yang tumbuh diantaranya ; Kedokteran, Hukum, Filsafat, dan Hadits, Ilmu Tafsir, Ilmu Fikih Qir’at, Ilmu kalam, Ilmu Fikih, Ilmu Tarikh,dan Ilmu Nahwu.
Selain itu, buku-buku teks kedoktaran telah banyak ditulis serta tidak luput pula penciptaan alat praktek untuk medis telah berkembang sedemikian rupa. Buku-buku teks kedoteran telah banyak disadur oleh bangsa Barat ke dalam bahasa latin dan Inggris.  
Tak bisa dipungkiri lagi suasana keilmuan telah melahirkan modifikasi dan penambahan ilmu pengetahuan yang hebat pada masa Bani Abbasiyah. Khazanah keilmuan sebagian telah menjadi acuan bagi para ilmuan yang datang kemudian, sampai memasuki masa kemunduran Abbasiyah.
 Di era kemunduran bisa dilihat pendidikan dan keilmuan tidak lagi menjadi perhatian utama, karena pemerintahan disibukkan oleh godaan politik dan kekuasaan, serta khalifah yang berkuasa kurang perhatian, lemah dan tidak cakap. Ini bisa disebabkan, karena tidak baiknya pendidikan Istana untuk calon pangeran yang akan menjadi raja. Atau boleh jadi juga faktor pendidik Istana yang tidak berkompeten dalam memberikan binaan kepada calon raja atau khalifah tersebut dan sebagainya. Untuk melihat lebih jauh bagaimana pendidikan Islam di era kemunduran Abbasiyah akan diuraikan setelah materi ini. 
  

  

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 
Khan, Muhammad Abdur Rahman, Sumbangan Umat Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, Penterjemah: Drs. Adang Affandi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993, Cet. III

Maryam, Siti dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III,

Mursi, Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Penterjemah, Khairul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet. 3

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012
Staton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi  dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994 

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt


[3] Siti Maryam dkk, Sejarah peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2009, Cet.III, h. 98
[4] Muhammad Abdur Rahman Khan, Sumbangan Umat Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, Perj: Drs. Adang Affandi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993, Cet. III, h. 9
[5] Ibid, h.10
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid,h. 11
[9] Ibid, 12
[10] Ibid, h.13
[11] Ramayulis, sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h.76-77
[13] Tambahan dari penulis
[14]Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Penterj, Khairul Amru Harap dan Achmad Faozan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, Cet. 3, h. 341
[15] Ibid, h.345
[18] Ibid
[19] Ibid
[20]  Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Penerj. H. Afandi  dan Hasan Asari, Jakarta: PT Logos Publishing House, 1994, h. 34 
[25] Ibid, h. 35
[26]  Ibid, h. 36
[27]  Ibid, h.41
[28] Ibid, h. 45
[29] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.Cit, h. 78
[30] Ibid, h. 82
[31] Ibid
[32] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, Op.Cit, h. 105
[33] Ibid
[34] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Op.cit, h. 161-162
[35] Ibid,h.162
[36] Ibid, h.165
[37] Ibid, h.172
[38] Ibid, h. 173
[39] Ibid, h. 174
[40] Ibid, h. 175
[41] Ibid,h. 176
[42] Ramayulis, sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 79
[43] Ahmad syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Tt, h.207-208
[44] Ramayulis, sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 81
[45] Tambahan dari penulis
[47] Samsul Munir Amin, Sejarah Perdaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, h. 51
[48] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h.86
[49] Ibid,h. 87
[50] Ibid
[51] Charles Michael Staton, Pendidika Tinggi Dalam Islam, Op.cit, h.29
[52] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Op.cit, h. 89
[53] Ibid

No comments: