16/12/2016

PERKEMBANGAN INTELEKTUAL SELAMA DINASTY ABBASIYAH PERIODE KHALIFAH AL MA’MUN (813-833 M)



A.    Pendahuluan
Al-Ma’mun, Abu al-Abbas ‘Abd Allah ibnu Harun al-Rasyid (786-833 M), khalifah ‘Abbasiyah ketujuh, yang terkenal sebagai khalifah yang paling intelek dari keluarga ‘Abbasiyah. Di bawah kekuasaanya (813-833 M),  Dinasty ‘Abbasiyah mencapai masa keemasannya ketika ia menyatukan kerajaan dan mendorong pengembangan pemikiran Islam. Selain itu, penterjemahan ke dalam bahasa Arab dari bahasa Romawi (dan Syiria) untuk berbagai ilmu pengetahuan seperti; filsafat, astronomi, matematika, dan ilmu kedokteran Yunani, yang telah mendapatkan dorongan besar pada masanya.  Pada waktu itu, Bait al Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) dibangun[1] sebagai perpustakaan yang paling bergengsi pada masanya, dan kemudian menjadi sebuah sumber budaya baru yang bahasa Arab dalam penuturan dan Islam sebagai inspirasi, namun sangat dipengaruhi oleh tradisi Yunani. Selanjutnya, sarjana-sarjana berusaha di sana menyatukan warisan intelektual “Barat” dan “Timur”.
Jadi, kita dapat melihat bagaimana dunia Islam telah menemukan dan mempelajari ilmu pengetahuan dari berbagai kerajaan seperti Romawi dan India, di samping itu, para sarjana yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai latar belakang kepercayaan. Di antara mereka ada sarjana yang Muslim, Kristen, Zoroarter dan Sabiah, semuanya bekerja di bawah alur pemikiran Mu’tazilah.  Al-Ma’mun sendiri seorang penganut paham Mu’tazilah yang mempunyai berkonstribusi dalam mengembangkan serta memajukan pendidikan yang bercorak kebebasan akal tersebut[2]. Yang menariknya, bahan-bahan baku dari Bait al-Hikmah tidak dibatasi pada ilmu teologi dan filsafat tetapi secara luas kepada bidang astronomi (perbintangan), dan matematika, sebagai mana juga ilmu perpetaan.
Al-Ma’mun sendiri telah secara aktif mengambil bagian dari kekayaan khasanah ilmu pengetahuan yang ada untuknya. Terutama sekali setelah menerima gelar  imam/pemimpin kaum muslimin/khalifah dan membuktikan penguasaan yang baik terhadap ilmu pengatahuan, di samping kekuasaanya di bidang politik dan militer. Dengan kemampuan tersebut membuatnya bangga, sehingga memerintahkan sejumlah sarjana, yang masuk di dalamnya Harran seorang penyembah bintang, untuk menterjemahkan buku-buku warisan Yunani ke dalam bahasa Arab[3]. Akhirnya, dialah yang  menjadi satu-satunya penguasa  dari khalifah ‘Abbasiyah yang meresmikan sebuah usaha tersistematis serta menetapkan usaha penyelidikan dan menerjemahan Ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
Makalah ini merupakan hasil saduran dari artikel yang dikarang oleh Lathiful Khuluq dengan judul “Perkembangan Intelektual selama Dinasty Abbasiyah periode khalifah al Ma’mun (813-833 M).  dengan judul asli “Intellectual Development During of The ‘Abbasid Caliph al-Ma’mun (813-33 M)” , yang penulis ambil dari buku “The Dynamic  Islamic of  Civilization” dalam arikel ini banyak manfaat yang penulis pikir perlu diungkapkan kepada para pembaca untuk kalangan mahasiswa Unieversitas Muhammadiyah Sumatera Barat secara umum serta bagi mahasiswa pada fakutas Agama Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam secara khusus, yang mana mereka rata-rata belum begitu tertarik untuk membaca dan memahami artikel dalam bahasa asing khusus bahasa Inggris, demikian itu disebabkan keterbatasan penguasaan mereka terhadap bahasa warga dunia tersebut. Sehingga saya berusaha menyadur ke dalam bahasa Indonesia sesuai pula dengan kemampuan yang saya miliki.
Penulis artikel ini sebenarnya tengah berusaha menguraikan perkembangan pemikiran Islam semasa kekuasaan al-Ma’mun. Yang khususnya, menguraikan perjelmaan/perubahan dan penyatuan ilmu pengetahuan asing  menjadi ilmu pengetahuan Islam. Dengan berusaha menjelaskan sejarah penerjemahan karya-karya asing ke dalam bahasa Arab. Terutama karya-karya dari Yunani, serta perkembangan Bait al Hikmah sebagai pusat intelektual dan budaya masa itu. Sebagaimana juga akan menguraikan  sejarah perkembangan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi kerajaan. Dilanjutkan dengan  usaha-usaha kaum muslimin dalam “meng-Islam-kan”  ilmu pegetahuan baru yang mereka dapatkan juga akan disajikan dan terakhir soal-soal latihan essay.

B.     Gerakan Penterjemahan
Proyek penterjemahan ilmu pengetahuan asing telah dimulai sejak periode Dinasty Umayyah tepatnya diwaktu pangeran Khalid, anak Khalifah Yazid (680-83 M) berkuasa, di mana dia telah memerintahkan beberapa orang sarjana untuk menterjemahkan buku-buku kimia Yunani ke dalam bahasa Arab[4]. Kemudian, di lanjutkan oleh Dinasty/kekaisaran/kerajaan ‘Abbasiyah, yang mana gerakan penterjemahan dilakukan lebih serius dan tersistematis di bawah sebuah pengawasan. Karenanya, hampir semua ilmu pengetahuan Yunani, yang ada dalam perlindungan Gereja dan para Rajanya, diambil dan dipindahkan ke dalam bahasa Arab serta dipersembahkan untuk masyarakat khususnya kaum Muslim[5]. Jibril ibnu Bakhtishu (w.830 M), sebagai contoh, yang telah berkonstribusi dalam pengembangan ilmu sains, khususnya dalam bidang fisika.Meskipun demikian, usaha yang paling serius untuk mendapatkan ilmu pengetahuan asing hanya dilakukan pada masa kekuasaan Khalifah al- Ma’mun.
Pada masa al-Ma’mun telah dimulai sebuah proyek untuk pengembangan intelektual dunia Islam dengan mengirimkan banyak sarjana ke Yunani guna meneliti manuskrip-manuskrip (naskah) Yunani[6]. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Gagasan untuk memilih bahasa Syria sebagai target bahasa pertama karena pada kenyataanya para penterjemah kebanyakan sarjana-sarjana Kristen Syiria yang telah terbiasa menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Aramaik. Akibatnya, ketika al-Ma’mun memulai gerakan penterjemahan, mereka menjadi personil utama untuk melakukan tugas itu dan mereka telah lama melakukan pekerjaan yang sama, dalam pendekatan demikian hanya mereka yang tahu bagaimana caranya[7].
Penterjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab hanya dimulai Hunayn ibnu Ishaq (808-873 M),[8] seorang sarjana Kristen Hirah ahli bahasa Syiria yang mengimplementasikan metode baru ini dalam usaha penterjemahan. Para penterjemah menggunakan semua metode yang ada untuk melaksanakan proyek terjemahan itu, seperti membandingkan berbagai macam manuskrip/naskah; sebuah pendekatan yang memaksa mereka untuk mendapatkan naskah berbahasa Yunani sebanyak mungkin.  Mereka juga membandingkan naskah Yunani dengan terjemahan bahasa Syiria secara cermat, sebagai usaha guna memahami naskah tersebut secara lebih baik[9]. Selanjutnya, di Bagdad, Khalifah al-Ma’mun membentuk sebuah tim penterjemah yang terdiri dari Hunayn ibnu Ishaq dan kemenakan lelakinya Hubais, Ya’kub Qusta ibnu Luqa, orang-orang Kristen Nestoria seperti Abu Bishr Matta ibnu Yunus, Ibnu ‘Adi, Yahya ibnu Bitriq dan lainnya[10].
Metode-metode penterjermahan juga sudah mulai dikembangkan dalam rangka mengatasi berbagai macam kesulitan yang ditemui saat proses penerjemahan. Salah satu kesulitan yang sangat mendasar adalah bahasa Yunani yang digunakan dalam naskah tua tidak hanya telah mati, tetapi sangat berbeda dari logat/penuturan  orang-orang Yunani saat itu. Lebih jauh, dalam rangka untuk memahami barbagai macam naskah-naskah tersebut, para penterjemah harus memiliki pengetahuan tentang materi yang sedang ia terjemahkan. Ditambah lagi, naskah tersebut harus didiskusikan terlebih dahulu dan terkadang naskah asli yang ada merupakan satu-satunya naskah yang tersisa. Sehingga proses penterjemahan tersebut harus menyandarkan pada naskah tunggal saja.  Langkah ini dilakukan agar maksud teks asli tidak melenceng dengan terjemahannya.
 Demikian juga, naskah asli Yunani yang orisinil terkadang tidak tersedia dan para penterjemah harus menyandarkan pula pada versi bahasa Syiria. Yang mana biasanya hasilnya tidak begitu baik dan jauh berbeda dari makna naskah asli. Kesulitan lain adalah untuk bahasa Arab itu sendiri, di mana gaya bahasanya berbeda dengan dialek percakapan sehari-hari. Bagaimanapun, fleksibelitas bahasa Arab juga memberikan sumbangan yang berarti dalam proses penterjemahan. Louis Massignon mengatakan bahwa bahasa Arab sangat membantu dan menghasilkan eksplorasi pemikiran internal kaum muslimin. Terutama sekali cocok untuk bahasa pengantar ilmu pasti  dan untuk perkembangan selanjutnya terlihat progresnya dalam sejarah ilmu matematika. Peralihan dari llmu hitung dan  ilmu ukur yang berdasarkan intuitif dan sering bersifat perenungan kepada sebuah ilmu hitung yang menggunakan rational/akal, yang pada akhirnya kedua ilmu tersebut karena dari akar yang sama telah satukan oleh para sarjana muslim[11].
Jadi, pada abad ke sembilan, ada dua metode penterjemahan yang termahsyur. Yang pertama dikembangkan oleh Yuhanna ibnu Bitriq, Ibnu al-Naima al-Himsi dan yang lainnya. Mereka mendukung metode penterjemahan secara harfiah lmelalui penerjemahan kata-per-kata. Sesuai dengan itu, para penterjemah harus mempelajari setiap kosa kata Yunani sekaligus maknanya kemudian dipilih sebuah kosa kata Arab dan mencocokan makna dari kedua kosa kata tersebut kemudian menggunakannya dalam proses penerjemahan naskah. Bagaimanapun, cara ini tidak cukup terbukti ampuh karena kenyataanya tidak semua kosa kata Yunani dapat diterjemahkan dengan mencocokan dengan kosa kata Arab. Sebagaimana hasilnya banyak kosa kata tersisa yang tidak bisa diterjemahkan. Gabungan kalimat pada sebuah bahasa tidak selalu dapat disamakan untuk setiap gabungan bahasa lainnya.
Di samping bahasa kiasan yang umumnya ada di dalam setiap bahasa tentu tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa lain. Metode penterjemahan kedua yang dikembangkan oleh Hunayn ibnu Ishaq, al-Jawhari dan lainnya, serta dianggap lebih unggul dari metode sebelumnya. Dasar keunggulan tersebut terletak dari segi metodologinya, yang mengharuskan para penterjemah untuk membaca dan memahami semua kalimat bahasa Yunani terlebih dahulu, kemudian menterjemahkan maksudnya ke dalam bahasa Arab. Menggunakan metode ini berarti akan memberikan arti yang sama dalam maksud tetapi tidak secara struktur bahasa[12]. Hunayn juga telah meningkatkan kualitas penerjemahan dengan menciptakan sebuah “peristilahan”/terminology sebagai sebuah standar baru.
Terjemahan ilmu pengetahuan asing/Yunani ke dalam bahasa Arab paling  awal baru fokus pada tiga bidang ilmu pengetahuan, yakni, ilmu perbintangan, kimia dan kedokteran. Kecenderungan ini berakhir hingga paruh kedua abad ke Sembilan, ketika dua orang penerjemah terkenal, yaitu, Yahya ibnu ‘Adi (w.974) dan Abu ‘Ali ibnu Ishaq ibnu Zera (w.1008)  telah tampil pada waktu itu.  Yahya ibnu ‘Adi  dalam hal ini, tidak hanya memperbaiki banyak hasil terjemahan tetapi juga menulis ulasan pada hasil karya Aristoteles, yaitu, pembagian, Sophistic, Puisi, dan Metafisika, ia juga mengulas karangan Plato, seperti, Timeus dan Hukum. Dia juga seorang ahli ilmu logika terkenal yang telah menterjemahkan buku Prolegomena Ammonius dan pengantar untuk karya Porphyry yang berjudul, “Isagoge”. Di sisi lain, Bin Zera, telah pula memperbaiki terjemahan untuk buku kedokteran dan filsafat[13]. Karena itu, setelah dua ratus tahun (hingga abad sebelas). semua dasar-dasar karya Aristoteles dan juga banyak risalah yang tidak terkenalnya, dan sejumlah ulasan bahasa Yunani, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab[14].  Banyak karya Plato dan ragam teksnya, atau sejenisnya juga telah diterjemahkan sebagaimana juga beberapa karya Proclus dan tentunya naskah Plato baru lainnya. Selain itu, sejumlah literature ilmu pengetahuan, yang masuk di dalamnya, naskah teknik juga diterjemahkan. Bagaimanapun seperti, puisi Yunani, drama, dan literatur fiksi lainnya sebagaimana juga sejarah Yunani sangat jarang diterjemahkan[15]. Pemikiran seperti ini mungkin karena kaum muslimin telah merasa puas dengan sejarah yang mereka miliki dan kesusteraan serta tidak merasa butuh untuk memepelajari yang lainnya. Dengan penuh penyelasan, setelah mencapai puncaknya pada abad kesembilan, gerakan penerjemahan telah mulai secara terus-menerus merosot di abad ke sepuluh[16].
Pada waktu itu keemasan perekembangan Ilmu pengetahuan Islam, penerjemahan menjadi lebih kurang sebagai sebuah pekerjaan professional dan upah para penterjemah lebih kurang sama sebagaimana para tabib, dan bahkan lebih tinggi lagi dibanding para ulama/qadhi. Al-Ma’mun bahkan menggaji Hunayn sama dengan berat emas untuk setiap lembaran yang diserahkan dalam bahasa Arab[17]. Sebagaimana hasilnya, status para penterjemah benar-benar terhormat. Sebagian besar buku-buku terjemahan tersebut masih bersifat sekuler. Sungguh  jika dilihat sepintas lalu pada karya-karya tersebut, banyak sekali risalah yang berbau ilmu pengetahuan sekuler. Dengan begitu, langkah ini mengarah kepada sekulerisasi yang dikhawatirkan ulama tradisonal (sarjana Muslim), orang yang khawatir bahwa diterjemahkannya ilmu pengetahuan asing akan membahayakan kepercayaan orang Islam yang masih awam. Proyek yang tengah dilakukan ini menurut ulama artodok tidak dapat membantu penguatan Islam,  yang mana pada kenyataanya bahwa penerjemahan itu tidak dilakukan untuk kepentingan demi mempertahankan Agama Islam[18]. Bahwa adalah kenapa setelah ulama arthodok yang mempengaruhi pusat kepemimpinan Abbasiyah, sebuah usaha telah dibuat untuk mengekang  pengaruh ilmu pengetahuan asing dengan menolak dan mengehentikan semua gerakan penerjemahan tersebut.    

C.    Perkembangan Bait al Hikmah
Bait al-Hikmah merupakan lembaga ilmu pengetahuan yang didirikan oleh al-Ma’mun sekitar tahun 815 M[19]. Yang dipercayai menjadi sebuah penyontohan dari akademi kuno Jundishapur, aktivitas utamanya menterjemahkan filsafat Yunani dan karya-karya ilmu pengetahuan yang dibawa dari Romawi. Pemimpin pertama lembaga ini adalah Yuhanna (Yahya) ibnu Masawayh[20]. Pimpinan berikutnya Sahl ibnu Harun[21] dan Salm, orang yang ditugaskan oleh Said ibnu Harun. Di sana ada juga sejumlah besar  pengawai penterjemah, dan yang paling terkenal di antara mereka adalah Banu al-Munajjim, selain itu ada pegawai penyalin dan penjilid.   
Bait al Hikmah merupakan sebuah pengembangan dari perpustakaan yang dibangun oleh Harun al-Rasyid yang disebut Khizanat al-Hikma (Perbendaharaan Kebijaksanaan), di mana keturunan Barmaky[22] telah memulai penerjemahan bermacam risalah Yunani. Al-Ma’mun kemudian memberikan sebuah perintah resmi untuk gerakan penerjemahan, yang kemudian mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam dan budaya seutuhnya. Untuk lembaga ini al-Ma’mun mempekerjakan seorang ahli observatorium astronomi di Bagdad di bawah kendali seorang muallaf Yahudi yaitu; Sind ibnu Ali kemudian dilanjutkan Yahya ibnu Abi Manshur. Lebih lanjut, al-Ma’mun kemudian menambah observatorium lainnya di Mt. Qasiyun Palmyra (Damaskus). di mana para sajana Muslim menemukan sebuah tabel astronomi baru dengan memperbaiki satu-satunya table astronomi kuno peninggalan Ptolemy[23]. Sehingga, Bait al-Hikmah menjadi sebuah gabungan dari perpustakaan, pendidikan dan biro penerjemahan, dan yang paling penting sekali lembaga pendidikannya semenjak pembangunan museum Aleksandria[24].    Dalam pada itu, bahasa Syiria, pemikiran Yunani, sain dan karya-karya teknik telah diterjemahkan ke dalam bahasan Arab.
Tidak perlu diperbincangkan lagi, bahwa itu telah memainkan sebuah peranan yang amat penting dalam memindahkan hasil karya kuno yang ada kepada dunia Islam, dan darinya telah mendorong sebuah ledakan aktifitas intelektual di dunia Islam. Bait al-Hikmah juga berfungsi sebagai sebuah perpustakaan yang amat penting  yang kemudian diperkaya dengan sejumlah sumber-sember terjemahan. Kemudian daripada itu, telah memberikan  banyak inspirasi kepada beberapa orang untuk mendirikan  model perpustakaan yang serupa, dan membangun perpustakaan-perpustakaan lainnya. Beberapa orang sarjana menyakini bahwa lembaga ini dirancang dalam usaha untuk pengembangan adat kebiasaan Persia sebelum Islam. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada fakta bahwa kedua kegiatan seperti Universitas Jundishapur dan para penterjemah awal lebih memberikan perhatian kepada ilmu pengetahuan praktis ketimbang teori ilmu pengetahuan murni[25].
Bait al-Hikmah sebagian besarnya telah mengabdikan diri kepada perekembangan ilmu pengetahuan dengan penelitian para sarjana serta proses pendidikan  yang diberikan kepada para pelajar yang sebagian besar masih belum matang. Para sarjana yang dipekerjakan diberikan fasilitas tempat tinggal gratis oleh kerajaan  di lembaga tersebut[26]. Banu Musa (anak Musa ibnu Shakir seorang ahli astronomi terkenal), seperti Muhammad, Ahmad dan Hasan, sebagai contoh telah mendapatkan dukungan yang besar dari al-Ma’mun dan telah mampu menjadi sarjana yang terpelajar sebagai sebuah hasil perhatian pribadi yang telah ditunjukkan oleh  direktur utama Bait al- Hikmah, yakni Yunus ibnu Mansur[27]. Sarjana terkenal lain di lembaga ini yang bekerja sebagai penerjemah dan pengulas filsafat Yunani juga sebagai perumus dasar filsafat Islam adalah al-Kindi[28].  Selanjutnya,  menjelang berakhirnya rezim al-Ma’mun, Bait al-Hikmah telah memulai menerjemahkan karya-karya non logika; sebuah tahap yang menunjukan berkurangnya pengaruh pemikiran Aristoteles. Seorang perintis penerjemahan karya non logika adalah Jabir  ibnu Hayyan al-Azdi al-Thusi al-Sufi (721-815) yang telah memulai penerjemahan naskah ilmu kimia semenjak kekuasaan Harun al-Rasyid. Dan bahkan perhatian utamanya adalah ilmu kimia, Jabir juga mempelajari; ilmu logika, filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu klenik, ketabiban, mekanik,  dan hampir setiap bidang ilmu pengatahuan lainnya[29].
Bagaimanapun, sejak kekuasaan al-Mutawakkil, Bait al-Hikmah telah menunjukan kemerosotan yang terus-menerus. Khalifah al-Mutawakkil yang berkuasa merupakan seorang penyokong para ulama arthodok, yang kemudian menghacurkan orang-orang Mu’tazilah dan pusat ilmu pengetahuan mereka, Bait al-Hikmah. Meskipun begitu, satu hal yang mesti tidak terlupakan bahwa pembangunan Bait al-Hikmah telah menginspirasi banyak orang, sebagaimana juga para penguasa lainnya untuk mendirikan lembaga-lembaga yang serupa. Salah seorang dari mereka adalah Fatimah yang selama kekuasaan Hakim, telah membangun Dar-el-Hikma di tahun 1005 M. Bait al-Hikmah kemudian digabungkan ke dalam tempat sekolah hingga penyerangan tentara Mongol, yang telah membakarnya selama penghacuran Bagdad pada tahun 1258 M[30].
  
D.    Perkembangan Pemikiran Mu’tazilah
Paham Mu’tazilah merupakan sebuah gerakan keagamaan  yang didirikan di Basrah pada paruh pertama abad ke 2 H/8 M oleh Wasil ibnu ‘Ata’ (w. 131/748)[31], seperti penganut paham Qadariah, Mu’tazilah percaya bahwa setiap orang itu bebas untuk membentuk dan mengontrol perilaku mereka melalui sebuah teologi dengan pendekatan spekulatif, mereka juga menggunakan metode dialektika dan logika untuk mendukung keyakinan mereka itu. Mereka menganggap menyerupaan manusia dengan Tuhan seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an hanya sebagai simbol semata dan pernyataan kiasan yang ada menurut mereka mesti ditafsirkan[32].
Dan berbeda dengan pandangan penganut paham tradisional, mereka percaya bahwa penciptaan al-Qur’an dan menetapkan sebagai makhluk, dengan mengadopsi teori Aristoteles bahwa tidak ada yang bisa menciptakan dari ketiadaan. Akibatnya, mereka menyimpulkan bahwa Tuhan telah melakukan penciptaan al-Qur’an dan mengirimkannya ke dunia. Ditambah lagi, mereka menentang anggapan kaum tradisional bahwa al-Qur’an tidak diciptakan dan merupakan kalam Tuhan yang abadi atau Qadim[33]. Menurut Michelangelo Guidi, orang Mu’tazilah menjadi “sayap orang-orang agresif orthodok dalam melawan orang berpaham bid’ah yang menduakan Tuhan (menurut mereka Tuhan itu Esa, dan tidak menyerupai makhluknya sedikitpun, maka semua kemungkinan penyerupaan denganNya harus ditiadakan) dengan menciptakan untuk mereka senjata dialektika[34]”. Pada waktu itu, aliran Mu’tazilah menjadi sebuah pendidikan teologi yang sangat penting dalam dunia Islam.
            Di bawah pengaruh Ahmad ibnu Abi Du’ad, seorang hakim/qadhi Mu’tazilah yang kuat, al-Ma’mun telah mendukung pengajaran Mu’tazilah, sebagai sebuah kelompok intelektual Islam[35]. Orang yang mempertahankan bahwa agama dan akal dapat diasimilasikan[36]. Kontribusi al-Ma’mun dalam menetapkan garis ideologi Mu’tazilah yang dapat dianggap berasal darinya, paling kurang ada dua pemikiran. Yang pertama adalah sebuah doktrin yang dapat digunakan untuk dapat berkompromi dengan doktrin Syi’ah[37].   Kedua, Aliran Mu’tazilah telah menentang doktrin Kristen yang menegaskan bahwa Yesus merupakan perkataan Tuhan (kalam Tuhan) dan bersifat ilahiyah[38]. Agaknya, mereka telah percaya al-Qur’an juga kalam (perkataan) Tuhan, namun telah diciptakan dan tidak bersifat ilahiyah.  Karena itu, doktrin ini telah membuka kemungkinan bagi al-Ma’mun untuk secara bebas menafsirkan al-Qur’an, jika ia menghendaki. Bernard Lewis menyatakan bahwa “Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) dan penggantinya telah berusaha untuk menerapkan sebuah doktrin paham Yunani yang diketahui sebagai Mu’tazilah, sebagai doktrin resmi kerajaan, dan menyiksa pengikut paham selainnya.[39]
Akibatnya, al-Ma’mun mengumumkan sebuah perintah di hadapan semua hakim/qadhi dan rakyatnya untuk mengakui bahwa al-Qur’an sebagai makhluk. Selain itu, khalifah mengancam para hakim serta akan mencopot jabatannya jika tidak setuju dengan doktrin tersebut. Demikian pula para ‘ulama’ diancam dengan tidak diakui posisi dalam masyarakat serta kesaksiannya tidak dapat diterima, lebih jauh akan dihalangi dari pengajarannya[40]. Salah seorang ‘ulama’ yang mendapatkan penderitaan karena penyiksaan yang berketerusan adalah Ibnu Hanbal. Beliau telah mendapatkan hukuman dan dipenjara karena penolakannya untuk tidak mau bersikap lebih liberal dan mengakui paham teologi Mu’tazilah yang rasionalistik[41]. Kebijakan ini kemudian tetap dilanjutkan oleh dua khalifah pengganti al-Ma’mun, yakni, al-Mu’tasim dan al-Wathiq (813-847 M), mereka juga berusaha untuk memberantas pemahaman kaum tradisional orthodok  melalui sebuah rangkaian penyiksaan.
            Selajutnya, sejak tahun 848 M, Khalifah al-Mutawakkil secara bertahap telah membalikan keadaan yang tidak menguntungkan bagi kaum ortodok ini dengan menghukum orang-orang Mu’tazilah, membakar buku-buku mereka, mengusir mereka dari istana dan memecat mereka dari posisi kekuasaan, dalam waktu yang sama ia mengambil keyakinan kaum tradisional sebagai mazhab kerajaan. Pada tahun 849 M, al-Mutawakkil secara resmi menghapus kebijakan pendahulunya tersebut. Dan menitahkan, semua diskusi mengenai al-Qur’an dihentikan serta mengakhiri penyiksaan (mihna)[42]. 
Bernard Lewis menyebutkan bahwa “ketika al-Mutawakkil (847-861 M) memerlukan dukungan yang terkenal untuk melawan tentara Turki yang membangkang ia memaksa mengikat dan bahkan menekan kaum Mu’tazilah serta menyuruh mereka untuk mengadopsi pemahaman kaum tradisional.[43]” Bagaimanapun, gagasan kaum Mu’tazilan tidak pernah mati. Dan, bahkan ulama Ash’ary sendiri, sebagai sebuah aliran teologi tradisional orthodok, menggunakan metode Mu’tazilah itu untuk merubuhkan doktrin Mu’tazilah[44]. Lagi pula, pada zaman modern, banyak aktivis muslim dan sarjana menggunakan pokok pemikiran Mu’tazilah tersebut untuk membangkitkan kembali pemikiran Islam melawan Barat[45]. 



E.     Usaha untuk mengislamkan Ilmu Pengetahuan Asing
Semangat umat Muslim untuk mengusai ilmu pengetahuan dan pemikiran baru telah didorong oleh ajaran Islam itu sendiri. Di mana semua umat Muslim diwajibkan untuk menelaah semua ciptaan Tuhan. Al-Qur’an sendiri mendorong penjelajahan alam dunia ini. Karena itu, ayat al-Qur’an pertama, sebagai contoh, menantang kaum muslimin untuk membaca dan menceritakan[46]. Lebih dari itu, dalam al-Qur’an tersebut, Tuhan menjanjikan akan mengangkat derajat ‘orang yang berpendidikan’ (orang yang berilmu pengetahuan) (Qur’an, 58:11)[47]. Jadi, Pesan dalam al-Qur’an mendorong kaum muslimin untuk menuntut ilmu pengetahuan dan hikmah di manapun berada.
     Tidak seperti Dinasty Umayyah yang belum memberikan perkembangan ilmu pengetahuan yang berarti, Dinasti Abbasiyah telah mengambil langkah aktif untuk mendapatkan kebudayaan Hellenistik[48]. Karenanya, dorongan keilmuan mereka, bersama dengan restu agama Islam berkaitan dengan ‘ilmu telah membimbing mereka kepada kebangkitan dunia intelektual Muslim di abad pertengahan. Pada waktu itu, sarjana Muslim seperti al-Kindi (w. 870)[49], muridnya, al-Sarakhsi (w. 899), al-Farabi (w.950)[50],  Abu Sulaiman al-Mantiqi al-Sajistani (w.985) dan al-Amiri (w. 992) telah mengembangkan keilmuan yang mereka miliki sesuai dengan semangat Islam[51].
     Sebuah kasus untuk bahasan ini adalah Abu Ya’qub ibnu Ishaq al-Kindi yang merupakan seorang pengarang paling terkenal, ahli matematika, dan ahli ilmu pengatahuan (scientist). Dan, bahkan telah menpelajari ilmu Metafisika karangan Arsitoteles, al-Kindi telah membangun teorinya dan berhenti mengikuti pemikiran Yunani ketika pemikiran mereka tidak sejalan dengan wahyu al-Qur’an[52]. Menurutnya, “ilmu pengetahuan adalah hakikat segala sesuatu dan kebenaranya alami”. adalah sama seperti pesan Nabi Muhammad Saw. Al-Kindi juga mengakreditasi sebuah rumusan untuk perbendaharaan teknik berfilsafat dalam bahasa arab dan merupakan satu rumusan ulang dari filsafat Yunani yang telah disesuaikan dengan doktrin Islam. Dalam hal ini, ia telah diikuti oleh al-Farabi, melaluinya, pondasi filsafat menjadi terbangun baik dalam Islam[53].
     Para sarjana menjadi bersemangat dan tekun dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahua, serta orang Muslim yang datang kemudian telah pula meneruskan langkah kedua pakar ilmu pengetahuan tersebut untuk menjadi nahkoda penelitian dan penyelidikan sains. Selain itu, pencarian mereka akan ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti pada pemikiran pubakala klasik tersebut, tetapi telah merambah kepada usaha penjelajahan alam itu sendiri. Jadi, Islam telah secepat mungkin menghasilkan ilmuan yang asli lahir dari rahim Islam itu sendiri dalam berbagai cabangnya, seperti, ahli astronomi, matematika dan kedokteran. Sarjana Muslim telah mengasimilasikan dan menyempurnakan warisan ilmu pengetahuan tersebut dan telah menemukan hal-hal baru sejauh itu baik. Untuk melakukan tugas tersebut, mereka disediakan oleh penguasa Islam dengan beberbagai perangkat pendukung guna menunjang keahlian mereka dalam meneliti dengan berbagai lembaga seperti, perpustakaan, pusat penerjemahan, rumah sakit, dan observatorium[54]. Sebagai contoh, para astronom selama kekuasaan al-Ma’mun telah menemukan hukum gerakan peredaran tatasurya dan telah meletakkan landasan dalam menentukan pergerakan bintang-bintang serta telah dapat menentukan titik terjauh planet-planet[55] di jagad raya.
     Tambahan lagi, di bawah bimbingan al-Qur’an dan Hadis Nabi, sarjana Muslim telah menyerap ide-ide dari banyak sumber tetapi demikian itu selalu menjadi landasan semangat universal agama Islam. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan alam dari Yunani, Kaldea, Persia, India, dan Cina telah diubah menjadi ilmu pengetahuan Islam. Selain itu, kaum Muslimin telah menyatukan ilmu pengetahuan tersebut ke dalam sebuah bahan baru yang mana inspirasinya adalah Islam[56]. Lebih lanjut, mereka tidak mengambil sain dunia Timur dan Yunani yang bertentangan dengan Islam atau yang akan memberi noda kepada nilai-nilai moral yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadis. Mereka hanya mencari informasi yang berfaedah menurut mereka[57].
     Di bawah perlindungan al-Ma’mun, orang-orang yang professional, tabib, ahli hukum, guru, penulis, dan seterusnya-telah menerjemahkan karya-karya filsafat utama Aristoteles sebagaimana juga mereka telah menterjemahkan buku yang berisi ulasan-ulasan Plato terbaru (Neo-Platonic) dan karya Galen dari abad pertengahan, dan banyak karya ilmu pengetahuan Persia dan India telah juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Setelah itu, sarjana Arab mengasimilasi semua ilmu pengetahuan tersebut dan mengilhaminya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan, Islam kemudian menghilangkan banyak sifat asli, semangat padang pasir dan membubuhkan semangat nasionalis Arab[58]. Demikian itu, sampai sekarang masih tetap dipergunakan untuk menjadi sebagai sebuah petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan untuk masa depan. Meskipun begitu, beberapa filosof Muslim telah melupakan ide ‘Islamisasi’ filsafat Yunani dan mengambilnya sebagai mana adanya dengan tanpa menyaring ide-ide tersebut terlebih dahulu. Sekolah Aristoteles Arab, sebagai contoh mereka menerima ajaran Aristoteles bahkan ketika terjadi konflik dengan pernyataan hafiah al-Qur’an. Beberapa dari mereka bahkan melangkah lebih jauh dengan menyakini bahwa al-Qur’an mempunyai sebuah arti lain (esoteric) yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan[59]. Selain itu, beberapa orang sarjana Muslim seperti Ibnu Sina, telah mencoba mengharmonisasikan Islam dengan ilmu pengetahuan tersebut tanpa merubah dasar doktrinya[60].
     Pada sisi lain, beberapa sarjana Muslim lainya telah berusaha mengkritisi ilmu pengetahuan Yunani berdasarkan nilai-nilai Islam. Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa, “Orang seperti Ishraqi dan Ibnu Taimiyah telah melakukan sebuah upaya penolakan yang tersistematis untuk ilmu logika Yunani. Abu Bakar al-Razi mungkin orang yang pertama yang mengkritisi ketokohan Aristoteles[61].  Jadi. seseorang dapat menyatakan hal itu, bahkan banyak filosof Muslim mengasimilasikan pemikiran Yunani, bahkan banyak pula di antara mereka telah mengambil budaya serta pemikiran Yunani tersebut mentah-mentah. Tidak mengejutkan kemudian, hakikat dari ajaran Islam adalah berdasarkan monolistik, yang telah menjadi dasar kecenderungan ini[62]. Akibatnya, ketika menterjemahkan karya-karya Yunani, banyak Dewa dan Dewi yang disebutkan di dalamnya telah menjadi simbol dari Tuhan dan Malaikat-malaikat sesuia versi bahasa Arab[63].
     Pengambilalihan orang Muslim atas warisan budaya klasik tersebut telah membawa kepada jaman keemasan pemikiran Islam; sebuah era yang sering disebut era Kebangkitan Islam[64]. Ini adalah sesuatu kenyataan yang sebenarnya, bahwa penakhlukan yang dilakukan oleh bangsa Arab tidak pernah berusaha untuk menghancurkan budaya kerajaan sebelumnya, akan tetapi kaum muslimin senantiasa mengambil dan mencontoh lebih banyak  model  institusi, administrasi dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Sebuah contoh kasus dalam masalah ini adalah pengambilalihan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam Islam. Jadi, pusat filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani sebelumnya, seperti Mesir dan Syiria, telah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam[65].


F.     Kesimpulan
     Al-Ma’mun memiliki peran yang sangat besar dalam pengembangan intelektual muslim. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan membuat dia mendorong para sarjana untuk menterjemahkan ilmu pengetahuan Persia, Yunani, dan India ke dalam bahasa Arab, kemudian memperkaya dan menyebarkan  tradisi Muslim tersebut. Selain itu, perannya dalam proses ini tidak hanya termasuk mengirim para sarjana untuk mencari naskah dari pusat peradaban kuno seperti Romawi, Alexandria, dan India, tapi juga telah menggaji banyak sarjana yang aktif dalam usaha mentransformasi ilmu pengetahuan serta mengguyur mereka dengan harta. Oleh karena itu, usaha serius ini dilakukan dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan asing, yang menggerakkan Khalifah al-Ma’mun  untuk membentuk gerakan penterjemahan. Hal ini telah dibantu pula dengan kelenturan bahasa Arab, yang mampu menyerap semua istilah yang kompleks. Selain itu, aktifitas penerjemahan tersebut tidak berhenti hanya pada proses penterjemahan saja, akan tetapi sebuah langkah dalam usaha menciptakan ilmu pengetahuan yang lahir dari rahim Islam telah dibangun oleh sarjana-sarjana Muslim, seperti yang dilakukan Ibnu Sina. Al-Ma’mun juga membangun Bait al-Hikmah yang telah menjadi pusat utama penerjemahan dan kemahiran ilmu pengetahuan asing guna dipindahkan ke dalam bahasa Arab. Sebagai sebuah lembaga yang menggabungkan antara; perpustakaan, biro penerjemahan dan observatorium, Bait al-Hikmah telah menjadi symbol kekuatan kekaisaran Abbasiyah. Selain itu, sebagai sebuah pusat penelitian, Bait al-Hikmah telah berkonstribusi dalam pengembangan intelektual Muslim selama abad pertengahan. Sungguh, Bait al-Hikmah telah menjadi sebuah lembaga prestisius yang memberi tanda atas kemegahan kekaisaran Abbasiyah kepada dunia. Ambisi dari  penguasa Muslim membangun pusat intelektual tersebut mungkin dapat dilihat sebagai sebuah usaha kekaisaran Abbasiyah untuk menyaingi pusat peradaban yang diciptakan kerajaan sebelumnya, sebagai contoh, Jundishapur dan Aleksandria, serta pusat kebudayaan pada zaman itu, seperti pusat kebudayaan yang dibangun kekaisaran Umayyah II di Spanyol dan Romawi. Selanjutnya, proses penerjemahan itu telah melahirkan kebangkitan sarjana-sarjana Muslim dalam menciptakan ilmu pengetahuan melalui proses analisis dan kritik terhadap karya-karya ilmu pengetahuan yang telah diterjemahkan sebelumnya.
     Perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Dinasty Abbasiyah telah didorong oleh keterbukaan kekaisaran, yang mana pada gilirannya sikap inclusive tersebut sebenarnya diilhami oleh sifat keterbukaan Islam itu sendiri. Ini sangat jelas sekali jika melihat fakta bahwa para Penguasa Islam telah menerima sarjana-sarjana non Muslim sebagai abdi kekaisaran untuk bersama mengembangkan ilmu pengetahuan, sebagai contoh, Hunayn ibnu Ishaq seorang Kristen Syiria, yang mana ia telah secara aktif berpartisipasi dalam aktifitas tersebut. Para sarjana tersebut, bahkan menjadi inisiotor utama dari aktifitas itu, khususnya selama periode awal. Selain itu, Islam itu sendiri telah mendorong kaum Muslimin untuk mencari ilmu pengetahuan dan hikmah di manapun berada. Jadi, usaha untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan ilmu asing tersebut berdasarkan semangat ajaran Islam. Dan, bahkan beberapa sarjana Muslim telah dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Yunani dan Persia, sebagian lainnya, telah sukses pula menciptakan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan dasar ajaran Islam yang monolistik. Selanjutnya, bahkan Islam telah banyak menghilangkan karakter aslinya, yang mana telah didasarkan dari kehidupan padang pasir, banyak dari perkembangan intelektual tersebut tidak bertentangan dengan hakikat ajaran Islam. Karenanya, semua aspek-aspek itu telah menciptakan batasan kebudayaan dan kebangkitan aliran rasionalistik, yang mana pada gilirannya, menggiring kepada masa keemasan Islam. Masa keemasan tersebut telah berhasil menjembatani antara ilmu pengetahuan klasik dan kebangkitan bangsa Eropa, yang kemudian menggiring kepada masa industrialisasi dan modernisasi bangsa Eropa dan Dunia. 



  


DAFTAR PERPUSTAKAAN

Al Tikriti, Bahjat Kamil, “The Religious Policy of al-Mutawakkil ‘Ala Allah al ‘Abbasi (232-247 H/847-861 M),” M.A. Thesis, The Institut of Islamic Studies, McGill University: Montreal, Canada, July, 1969

Al-Hillali, Muhammad Taqi-ud-Din and Khan, Muhammad Muhsin (eds.), The Noble Qur’an in the English Leanguage, Virginia, U.S.A. Saadawi Publications, 1985

Baloch, N.A Baloch, Great Books of Islamic Civilization, Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1989

D. Sourdel, “al-Barmakids” El 2, I, Tt

-------------, “Bayt al-Hikmah,”E 12, Tt

-------------, “Bayt al Hikma,” El 2, Tt

-------------, “la politique des succsesseurs d’ al-Mutawakkil,”Studia Islamica, XIII (Paris), 1960

Dodge, Bayard, Muslim Education in Medieval Times, Washington, D.C., The Middle East Institute, 1962

Dampier, Sir William  Cecir, A History of Science and Relations with Philosophy and Region, Cambridge: the University Press; New York: the MacMillan Company, 1942

Fakry, Majid, A History of Islamic Philosophy, New York and London: Columbia University Press, 1970

Gibb, Hamilton A.R., Studies on the Civilization of Islam, ed. by Stanford j. Shaw and William R.Polk, Boston: Beacon Press, 1962

Goodman, “The Translation,” in Young et al. (ed.), Tt

Hitti, Philip K, History of the Arab, London: MacMillan Education Ltd., 1970

Holt et al, (eds), The Cambridge, Tt

Iqbal, Allama Muhammad, The Recounstruction of Religion Thought in Islam Lahor: n.p., 1965
Lewis, Bernard, “Government, Society and Economic Life under Abbasids and Fatimids,” in M. Hussey (ed.), Cambridge Medieval History, vol. IV, Cambridge University Press, 1966-67

--------------, “Government, Society and Economic Life under Abbasids and Fatimids,” in M. Hussey (ed.), Cambridge Medieval History, vol.IV, Tt

Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, Cambridge: University Press, 1994

Mez, Adam, The Rainassance of Islam, Transleted by S. Khuda Bukhsh and D.S., Margoliuth, New York: AMS Press, 1975

Massignon and Arnaldez, R., La Science antique et Medieval, Paris: n.p., 1957

Nasr, Sayyed Hoseein, Science and Civilization in Islam, Cambridge, Massachusett: University Press, 1968

Pinto, Olga, The Libraries of the Arabs during the Time of the Abbasids ,  Islamic Culture 3, 1929  

Qadir, C.A., Philosophy dan Science in the Islamic World, London, New York, Sydney: Croom Helm, 1968

Rekaya, M., “al-Ma’mun,” El 2, III, Tt

Rosenthal, Franz, The Classical Heritage in Islam, London: Routledge, 1992

Semaan, Khalil I (ed), Islam and the Medieval West of Intercultural Relations, Albany: State University of New York Press, 1980

Staton, Charles Michael, Higher Learning in Islam, the Classical Period A.D.700-1300, New York: Rowman & Littlefield, Inc., 1990

Sarton, George,  A History of Science, Ancient Science through the Golden Age of Greece, Cambridge: Harvard University Press, 1952

Sarton, George, Introduction the History of Science  from Homer to Omar Kayyam, Washington, D.C.: the Williams & Wilkins Company  Baltimore, 1953,

Taton, Rene (ed.), Ancient and Medieval Science from Beginnings to 1450, transled by A.J. Pomeran B.S.c., New York: Basic Book Inc., 1963

W. Montgomery Watt, The Influence of Islamic on Medieval Europa, Edinburg: Press, 1972

Walzer, Ricard, Greek into Arabic Essay on Islamic Philosophy, Columbia, South Carolina: University of South Carolina Press, 1970

------------------, “Abu Nasr Muhammad b. Muhammad al Farabi, “El 2, II, Tt

Zakeri, Mohsen, ‘ Sahl b. Harun b. Rahawayh, “ El 2, III, Tt


[1] Olga Pinto, The Libraries of the Arabs during the Time of the Abbasids ,  Islamic Culture 3, (1929), h. 228  
[2] Philip K Hitti, History of the Arab, (London: MacMillan Education Ltd., 1970), h. 245; lihat juga Khalil I Semaan (ed), Islam and the Medieval West of Intercultural Relations, ( Albany: State University of New York Press, 1980), h. 65 & 72
[3] M. Rekaya, “al-Ma’mun,” El 2, III, h. 331-339
[4] Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, (London: Routledge, 1992), h. 3
[5] Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: University Press, 1994), h. 94
[6] Majid Fakry, A History of Islamic Philosophy, (New York and London: Columbia University Press, 1970), h. 24
[7] Hitti, History, h. 310; Charles Michael Staton, Higher Learning in Islam, the Classical Period A.D.700-1300, (New York: Rowman & Littlefield, Inc., 1990), h. 63
[8] W. Montgomery Watt, The Influence of Islamic on Medieval Europa, (Edinburg: Press, 1972), h. 32  
[9] Rosenthal, The Classical, Op.Cit, h.6-8
[10] George Sarton, A History of Science, Ancient Science through the Golden Age of Greece, (Cambridge: Harvard University Press, 1952), h. 351-352
[11]  Massignon and R. Arnaldez, La Science antique et Medieval, (Paris: n.p., 1957), h. 450
[12] Franz Rosenthal, The Classical, Op.cit, h. 15-17
[13]  C.A. Qadir, Philosophy dan Science in the Islamic World, (London, New York, Sydney: Croom Helm, 1968), h. 37
[14] Holt et al, (eds), The Cambridge, h. 438-582-781-2
[15] Stanton, Higher, Op.cit, h. 66
[16] Holt et al, (eds), The Cambridge, h. 783
[17] Sayyed Hoseein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge, Massachusett: University Press, 1968), h. 69
[18] Rene Taton (ed.), Ancient and Medieval Science from Beginnings to 1450, transled by A.J. Pomeran B.S.c (New York: Basic Book Inc., 1963), h. 387; lihat juga Fakhry, A History, Op.cit. h. 16  
[19]Mohsen Zakeri, ‘ Sahl b. Harun b. Rahawayh, “ El 2, III h. 839-840; lihat juga Watt, The Influence, Op.cit, h. 31
[20] On the Barmakids see D. Sourdel, “al-Barmakids” El 2, I, h. 1033-1036
[21] Hitti, History, Op.cit, h. 375; lihat juga D. Sourdel, “Bayt al-Hikmah,”E 12, h.1141; Taton, (ed.), Ancient, Op.cit, h. 409 
[22] Ibid, h. 310; lihat juga Qadir, Pilosophy, Op.cit, h. 36; Stanton, Higher, Op.cit, h. 131; George Sarton, Introduction the History of Science  from Homer to Omar Kayyam, (Washington, D.C.: the Williams & Wilkins Company  Baltimore, 1953), h. 557-558
[23] Holt et al. (eds.), The Cambridge, h. 748
[24] Ibid., h. 783
[25]Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times, (Washington, D.C., The Middle East Institute, 1962), h. 16 & 19
[26] N.A Baloch, Great Books of Islamic Civilization, (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1989), h. 211; Sir William  cecir Dampier, A History of Science and Relations with Philosophy and Region, (Cambridge: the University Press; New York: the MacMillan Company, 1942), h. 77
[27] Staton, Higher, Op.cit, h. 80-81
[28] Nasr, Science, Op.cit, h. 42-43
[29] Staton, Higher, Op.cit, h. 78
[30] D. Sourdel, “Bayt al Hikma,” El 2, h. 1141; lihat juga Goodman, “The Translation,” in Young et al. (ed.), Religion, Op.cit, h. 484
[31] Staton, Higher, Op.cit, h.132
[32] D. Gemaret, ,”Mu’tazila, El 2, VII, h. 783
[33] Fakhry, A History, Op.cit, h. 309
[34] Staton, Higher, Op.cit, h.75 ; Staton, Higher, Op.cit, h. 4-5
[35] Hamilton A.R.Gibb, Studies on the Civilization of Islam, ed. by Stanford j. Shaw and William R.Polk, (Boston: Beacon Press, 1962), h. 70
[36] Fakhry, A History, Op. cit, h. 108-109 ;Staton, Higher, Op.cit, h. 65
[37] Sourdel, “la politique des succsesseurs d’ al-Mutawakkil,”Studia Islamica, XIII (Paris), 1960, h. 6
[38]  Rosenthal, The Classical, Op.cit, h. 4-5
[39] Bernard Lewis, “Government, Society and Economic Life under Abbasids and Fatimids,” in M. Hussey (ed.), Cambridge Medieval History, vol. IV, (Cambridge University Press, 1966-67), h. 642
[40] Bahjat Kamil al Tikriti, “The Religious Policy of al-Mutawakkil ‘Ala Allah al ‘Abbasi (232-247 H/847-861 M),” M.A. Thesis, The Institut of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, July, 1969, h. 28-29
[41] Staton, Higher, Op.cit, h. 27
[42] Ibid, h. 76
[43] Bernard Lewis, “Government, Society and Economic Life under Abbasids and Fatimids,” in M. Hussey (ed.), Cambridge Medieval History, vol.IV, Op,cit, h. 642
[44] Fakhry, A History, Op. cit, h. 229-235
[45] Lihat Qadir, Philosophy, Op.cit, h. 156-57
[46] [46] Muhammad Taqi-ud-Din al-Hillai and Muhammad Muhsin Khan (eds.), The Noble Qur’an in the English Leanguage (Virginia, U.S.A. Saadawi Publications, 1985) h. 959-960
[47] Ibid, h. 854
[48]  Rosenthal, Classical, Op.cit, h. 4
[49] Ricard Walzer, Greek into Arabic Essay on Islamic Philosophy, (Columbia, South Carolina: University of South Carolina Press, 1970) h. 12-15
[50] Ibid, h. 18-23; R. Walzer, “Abu Nasr Muhammad b. Muhammad al Farabi, “El 2, II, h. 778-781
[51]  Rosenthal, Classical, Op.cit, h. 6
[52] Dikutip dalam Baloch, Great, Op. cit, h. 43
[53] Ibid, h. 42-43
[54] Holt et al, (ed.), The Cambridge, Op.cit, h.747
[55] Ibid, h. 761
[56] Nasr, Science, Op.cit, h. 30
[57] Stanton, Higher, Op.cit, h. 98
[58] Hitti, History, Op.cit, h. 309
[59] Nasr, Science, Op.cit, h. 31
[60] Walzer,Greek, Op.cit, h.248-9
[61] Allama Muhammad Iqbal, The Recounstruction of Religion Thought in Islam (Lahor: n.p., 1965), h. 129; dikuitp dalam Qodir, Philosophy, Op.cit, h. 104
[62] Lihat Adam Mez, The Rainassance of Islam, Transleted by S. Khuda Bukhsh and D.S., Margoliuth, (New York: AMS Press, 1975)
[63] Qadir, Philosophy, Op. cit, h. 73
[64] Walzer, Greek, Op.cit, h. 167
[65] Holt, et al, (ed.), The Cambridge, Op.cit, h. 780-781

No comments: