A.
Pendahuluan
Pendidikan
Islam secara umum dimulai sejak berjibakunya Nabi Muhammad saw dengan
masyarakat Arab Quraisy di Makkah. Awal pendidikan Islam secara resmi ketika
turunnya wahyu pertama dilanjutkan wahyu kedua dan dikuatkan dengan turunnya
surat al-Hijr: 94-95[1]
tentang cakupan pendidikan Islam sudah waktunya meluas menuju masyarakat Internasional
dengan memanfaatkan kegiatan haji pada tahun ke 12 kenabian. Kegiatan
pendidikan Islam menjadi keharusan dilakukan nabi Muhammad saw untuk
menyadarkan bangsa Arab tentang arah kehidupan manusia di dunia ini. Pola
pendidikan Islam awal tentu tidak seperti keadaan yang kita kenal sekarang
dengan fasilitas lengkap dan modern.
Sesuai masanya pendidikan Islam awal, sangat sederhana dengan fasilitas
seadanya, namun outputnya tidak bisa diabaikan, para ulama berpendapat,
bahwa hasil didikan awal tersebut menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah.
Adapun
pembahasan sesi ini akan difokuskan pada; pengertian lembaga pendidikan Islam,
perkembangan pendidikan Islam periode awal dan institusi-institusi pendidikan
Islam pra kebangkitan Madrasah dan Kuttab, kesimpulan dan soal-soal latihan
B. Pembahasan
1. Pengertian Lembaga Pendidikan
Islam
Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu
yang memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan
mengadakan suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari
pengertian ini dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu:
a.
Pengertian secara fisik, materil, konkrit
b.
Pengertian secara non-fisik, non-materil dan abstrak[2]
Dalam bahasa Inggris, lembaga disebut institut (dalam pengertian
fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan
lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution,
yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian
fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian nonfisik
disebut dengan pranata[3].
Ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama
pengertian fisik materil, konkret, dan kedua pengertian secara nonfisik, non
materil dan abstrak. Adanya dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti
karena lembaga ditinjau dari beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau
dari aspek nonfisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu
mencapai tujuan. Adapun lembaga pendidikan Islam secara terminologi dapat
diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung
pengertian konkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian secara
abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta
penanggung jawab pendidikan itu sendiri[4].
Secara terminologi menurut Hasan Langgulung lembaga pendidikan adalah
suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang
terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik
yang tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi
simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk
dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat
kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah mesjid, sekolah,
kuttab dan sebagainya. Pendidikan Islam termasuk bidang sosial sehingga dalam
kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga
sosial tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a.
Asosiasi, misalnya universitas, persatuan atau perkumpulan,
b.
Organisasi khusus, misalnya penjara, rumah sakit dan sekolah-sekolah,
c.
Pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan atau pola hubungan sosial yang
mempunyai hubungan tertentu[5].
Lembaga sosial adalah himpunan norma-norma tentang keperluan-keperluan
pokok di dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan
lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap
atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah
dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna
tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Berdasarkan uraian di atas,
lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang
bergerak dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak
didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat diartikan dengan suatu wadah atau
tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses
pembudayaan[6].
2. Awal Perkembangan Pendidikan
Islam
Perkembagan pendidikan Islam dikelompokkan
kepada tiga tahap dan dua periodisasi
(Makah dan Madinah).
a. Tahap Pendidikan Islam pada Periode Makah
Tahapan Pertama ditandai ketika Nabi
Muhammad saw melakukan pendidikan secara sembunyi-sembunyi terhadap kaum
kerabatnya di Makah. Aktifitas tersebut setelah wahyu pertama surat al-‘Alaq
1-5 diturunkan Allah swt melalui malaikat Jibril (ar-Ruh- al Amin).
Perkembangan pendidikan Islam masa
sembunyi-sembunyi terbatas untuk kaum kerabat dan
orang-orang dekat nabi dari golongan bani Hasyim dan sebagian kecil golongan
Bani Makhzum[7].
Kegiatan pendidikan Islam langsung dibina nabi Muhammad saw yang diadakan di
rumah Arqam bin Abi Arqam. Pendidikan di rumah Arqam bin Abi Arqam berlangsung
selama 3 tahun sampai turun wahyu kedua dalam surat al-Mudatsir 1-7.
Adapun para sahabat awal (as-Sabiquuna-al-Awwaluun)
yang menjadi peserta didik (menerima dakwah)
Nabi ialah istri nabi sendiri, Khadijah, Ali
bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Shidiq dan Arqam bin Abi Arqam. Intensitas pendidikan
di rumah Arqam lebih ditingkatkan seiring semakin bertambahnya jumlah orang- orang yang bergabung yang
kebanyakan mereka adalah golongan mustad’afin (terpinggirkan) secara ekonomi dan politik
kekuasaan di Makah.
Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy (1999) menyebutkan, ketika
orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh
lelaki dan perempuan, pembinaan dan pengajaran pada tahap ini kemudian telah menghasilkan sekitar
empat puluh lelaki dan perempuan penganut Islam[8]. Materi-materi pendidikan dan pengajaran
yang diberikan nabi fokus pada mengajarkan al-Qur’an dan Sunnah[9],
orientasi materi bertitik tolak pada;
1. Penanaman ketauhidan ke dalam jiwa para
sahabat, sehingga setiap tingkah laku para sahabat mampu memancarkan
nilai-nilai ketuhanan dalam setiap tingkah lakunya baik dalam keadaan sendiri
maupun bersama-sama di lingkungan keluarga dan masyarakat. Efek dari
penjewantahan nilai-nilai tersebut ikut membantu proses penyebaran secara tidak
langsung pendidikan Islam ke tengah-tengah masyarakat Quraisy yang lebih luas[10].
2. Pendidikan ibadah, amal ibadah yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad di Makah tentang shalat, sebagai pernyataan
pengabdian hanya kepada Allah swt. Ibadah shalat juga titik balik pengingkaran
kaum muslimin awal kepada tuhan-tuhan nenek moyang bangsa Arab sekaligus proses
penanaman tauhid uluhiyah[11].
3. Pendidikan akhlak, nabi Muhammad saw sangat
menganjurkan penduduk Makah yang telah menerima Islam agar melaksanakan akhlak
yang terpuji, seperti; menepati janji, pemaaf, bersyukur, tawakal, tolong
menolong, berbuat baik kepada ibu bapak, membantu orang miskin dan orang
musafir dan meninggalkan akhlak yang buruk[12].
Sedangkan untuk perencanaan pembelajaran
al-Qur’an sebagaimana disebutkan as-Suyuti (dalam Syalabi) bahwa para sahabat
menghafal 10 ayat. Di mana jumlah ini tidak ditambah sampai materi tersebut
difahami dan diamalkan oleh para sahabat (peserta didik)[13].
Perencanaan pembelajaran seperti di atas
dinamai hidden curriculum (kurikulum tersembunyi). Namun walaupun
tersembunyi kurikulum tersebut telah terstruktur dengan baik bila dibandingkan
dengan sistem pendidikan modern hari ini. Nabi Muhammad saw ternyata jauh-jauh
hari telah dengan cerdas meletakkan dasar-dasar kurikulum yang terukur model
perencanaan pendidikan Islam. Perencanaan yang telah dibuat nabi tersebut
dianggap luar biasa, mengingat ilmu-ilmu pedagogik belum dikenal. Ilmu pedagogik
yang berkembang masa itu masih mengandalkan aspek oral (lisan).
Adapun selain oral seperti tulis baca masih belum dikenal secara luas,
sehingga dengan situasi demikian membuat perencanaan pembelajaran seperti
sekarang adalah menjadi tidak mungkin lahir.
Kondisi yang sangat sederhana itu ternyata
merupakan kunci keberhasilan pendidikan Islam. Pertanyaannya adalah mengapa
bisa demikian? Hal tersebut karena penekanan pendidikan Islam diarahkan
berdasarkan pada konteks keahlian dan kemampuan peserta didik. Peserta didik dibina dan ditempa sampai
benar-benar matang dan siap dengan keahlian yang diinginkan Nabi Muhammad saw
sebagai pendidik. Proses pendidikan diseting dengan menetapkan setiap indikator
keberhasilan harus tercapai dengan sempurna, baru kemudian disusul dengan
materi selanjutnya. Terkadang untuk satu materi Nabi sering mengulangi sampai
ranah afective peserta didik mampu berkembang dengan baik.
Pola pendidikan seperti ini juga telah
membawa keberhasilan yang signifikan atas kegiatan pendidikan yang dilakukan
KH. Ahmad Dahlan (1868-1923 M) di Yogyakarta saat beliau melakukan gerakan
perubahan di sana. Disebutkan pada salah satu pertemuan (pengajian al-Qur’an di
Langgar), KH. Ahmad Dahlan ditanya oleh peserta didiknya tentang pengkajian
surat al-Maun yang tidak pernah selesai dibahas. Mereka protes mengapa
pelajaran selanjutnya tidak diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan kepada mereka.
Menyikapi nada protes peserta didiknya
tersebut KH. Ahmad Dahlan melemparkan sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab
oleh para peserta didiknya, yaitu sudahkah mereka melaksanakan materi-materi
yang sedang dibahas tersebut. Setelah mendengar pertanyaan demikian dari KH. Ahmad
Dahlan para peserta didiknya terdiam, karena memang mereka belum
melaksanakannya.
Sangat urgen sekali hari ini, walau kita
tidak boleh menyebutkan kata terlambat terhadap proses yang baik seperti yang
dilakukan Nabi dan KH. Ahmad Dahlan di atas,
bahwa sudah mesti menyingkapkan kekaburan pemikiran kolektif kita bahwa
perencanaan pendidikan berbasis keahlian dan kemampuan perlu kembali
dijewantahkan dengan konsisten oleh para perencana dan pelaku pendidikan
(dosen, guru dll) agar pembelajaran menjadi lebih mendapatkan makna
esensialnya. Maksudnya adalah jangan sampai proses pendidikan hanya berjibaku
pada indikator berbasis kejar setoran dengan menetapkan target waktu tertentu
sementara kita sering mengalpakan perhatian terhadap bagaimana peningkatan
kemampuan peserta didik dari waktu ke waktu. Dengan demikian pelajaran yang ditambah hanya
menjadi sampah intelektual belaka.
Mungkin penjelasan di atas merupakan bentuk
‘kegalauan’ yang mewakili kesadaran esensi pendidikan Islam yang terkubur dan
telah menghilang yang perlu dibangkitkan kembali. Tentu saja untuk
mengembalikan apa yang dijelaskan di atas memerlukan perubahan mindset
berani dalam mengajar materi agama Islam. Adapun perubahan pemikiran (mindset)
yang berani itu adalah tidak ragu menabrak sistem pendidikan yang ada dengan
semangat kecerdasan. Kita sadari bahwa pengajar tidak hanya menciptakan proses
transfer knowledge belaka, namun lebih jauh, yang menjadi lebih penting
menanamkan nilai-nilai ilmu itu kepada peserta didik yang muaranya menjadi
pakaian kepribadiannya.
Adapun metode pendidikan yang digunakan
oleh Rasulullah periode Makah ada beberapa bentuk, diantaranya yaitu[14]:
a. Metode
Personal, metode semacam ini terjadi dengan cara individual, yaitu antara dai
(pendidik/penceramah) dan mad’u (jamaah). Dengan langsung
bertatap muka sehingga materi yang disampaikan
langsung diterima, dan biasanya reaksi yang ditimbulkan mad’u langsung
diketahui. Pendekatan
ini Rasul lakukan untuk mencegah guncangan reaksioner di kalangan masyarakat
Quraisy, yang pada saat itu masih percaya dengan kepercayaan animisme warisan
leluhur mereka.
b. Metode
Diskusi, di mana Dai sebagai
narasumber sedangkan Mad’u sebagai audience.
Tujuannya ialah untuk pemecahan problematika yang ada kaitannya dengan dakwah,
sehingga apa yang menjadi permasalahan dapat
ditemukan jalan keluarnya. Pada masa sembunyi-sembunyi diskusi masih seputar ketauhidan,
atau apa saja ajaran Islam itu, dan juga mengenai kehidupan setelah mati.
Diskusi pada kondisi seperti itu tidak leluasa karena harus
dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
c. Metode Bi
al-Hal, dakwah metode ini dilakukan dengan ajakan melalui upaya penyatuan
antara pemahaman atau pengetahuan (thinking) dengan keyakinan atau
perasaan (feeling). Dengan demikian, dakwah dengan metode ini dapat
dilakukan dengan mauidhah hasanah (memberi contoh teladan).
Metode
pendidikan dan pengajaran ini sesuai dengan kebutuhan dan situasi makah dalam kurun 3 tahun masa pendidikan Islam periode sembunyi-sembunyi. Di mana taktik
ini dilakukan agar pemimpin Quraisy tidak terlalu terkejut atas kehadiran Islam di Mekah. Masalah kemapanan agama dan hirarkis kekuasaan yang ada di Makah
sangat sulit memberikan celah untuk munculnya agama baru apalagi agama Islam.
Adapun Islam dengan doktrin dan misinya telah dianggap sangat revolusioner dan
sangat radikal. Misi Islam yang dianggap terlalu ekstrem radikal
tersebut adalah upaya mencongkel kemapanan kaum borjuis (kaya) dengan
penyamarataan antara budak dan majikan. Salah satu misi Islam bahwa kaum budak
dipandang sama dengan majikan untuk masalah hak dan kewajiban. Penyetaraan ini
tentu mengganggu kemapanan sosial bangsa Quraisy secara umum. Budak menjadi
setara dengan majikan yang selama ini sangat berkuasa terhadap mereka. Kemudian
memberikan pembagian harta warisan yang pantas kepada kaum wanita yang
sebelumnya hanya sebagai ‘pelengkap penderita’ bahkan sekaligus bisa diwariskan
(wanita termasuk harta warisan).
Kedua, setelah turun wahyu
kedua surat al- Mudatsir 1-7 yang
bermaksud supaya nabi Muhammad saw mengadakan pendidikan secara terang-terangan
kepada bangsa Quraisy khususnya[15].
Dalam wahyu kedua ini Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah swt
agar melakukan aktivitas pendidikan tidak lagi terbatas kepada kaum kerabat terdekat serta tidak lagi dengan cara tersembunyi akan
tetapi kegiatan pendidikan sudah saatnya dilakukan dengan cara terang-terangan.
Sebab isyarat wahyu menyebutkan bahwa waktunya sudah tepat untuk melaksanakan
pendidikan lebih luas kepada masyarakat Quraisy. Diantaranya ketersediaan sumber daya insani (SDI) berupa
keberadaan tenaga pendidik. Selain Nabi sebagai pendidik utama, para sahabat
dianggap berkompeten menjadi pendidik bagi masyarakat Arab karena telah ditraining
langsung oleh Nabi Muhammad saw selama 3 tahun untuk pokok materi pendidikan
mengenai ketauhidan.
Ketiga, setelah melakukan pendidikan dan pengajaran Islam secara
terang-terangan kepada
bangsa Quraisy, nabi Muhammad saw mengubah strategi pendidikan menjadi terbuka untuk umum
(secara umum). Pendidikan dan pengajaran ini bersifat internasional yang
berlandaskan pada surat al-Hijr: 94-95. Sebagai tindak lanjut dari
perintah Allah tersebut pada musim haji, Nabi mendatangi kemah jamaah haji.
Pada awalnya
banyak jamaah haji yang menolak kecuali sekelompok jamaah dari Yastrib. Jamaah
Yastrib tersebut berasal dari kabilah Khazraj yang sangat antusias menerima pengajaran Nabi[16]. Untuk meneruskan
pendidikan dan pengajaran Islam yang telah dirintis Nabi tersebut seterusnya diserahkan
kepada Mus’ab bin Umair seorang sahabat beliau yang telah mengikuti proses
pendidikan Islam selama 3 tahun di rumah Arqam bin Abi Arqam. Tugas itu tidak
dilaksanakan di masa berlangsungnya haji akan tetapi langsung di Kota Yastrib.
Dengan diutusnya Mus’ab bin Umair ke Yastrib telah membuka harapan baru bagi
perkembangan pendidikan Islam untuk masa selanjutnya.
Dua tahapan pendidikan Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw hanya untuk kota Makah, tahapan ini digunakan Nabi untuk
mempersiapkan tenaga pendidik dari keluarga dekatnya atau golongan Quraisy.
Pertimbangan yang digunakan ialah :
Pertama, pendidikan
Islam lambat laun harus disebarkan, sehingga membutuhkan tenaga-tenaga yang
siap didistribusikan sesuai kebutuhan, maka para sahabat awal merupakan input
yang sangat masuk akal, karena selain keterampilan dalam mengajar juga
dibutuhkan nyali yag cukup kuat, sebab situasi kala itu tidak mendukung untuk
mengadakan pendidikan Islam. Di samping materi-materinya dinilai sangat radikal
untuk ukuran bangsa Arab.
Kedua, keefektifan
dan keefesienan, maksudnya, pendidikan calon pendidik terdiri dari kalangan
arab Quraisy sendiri atau orang yang telah mengenal dan berasimilasi dengan
baik ke dalam budaya Quraisy, terutama linguistik Arab (kebahasaan) di Makah[17]. Pertimbangan tersebut,
berkaitan dengan materi (wahyu) yang akan disampaikan sesuai dialek
Quraisy.
Ketiga, aspek
penjiwaan/internalisasi materi ajar yang diberikan kepada peserta didik (audience).
Maksudnya, kondisi psikologi para sahabat calon pendidik secara kontekstual,
sangat tepat untuk mendukung penguasaan, kemantapan transfer knowledge
dan values kepada audience. Karena sebagian mereka adalah kaum
lemah dan sebagian budak yang terpinggirkan di Makah, sedangkan materi yang
akan diberikan berkaitan langsung dengan semangat pembebasan mereka dari
kemapanan budaya feodal patriacal[18]
Quraisy tersebut.
Pada tahapan ketiga, proses pendidikan telah bisa disebut bercakupan
internasional. Karena pesan pendidikan telah disampaikan juga kepada orang
Yastrib suku Khazraj. Dengan ruang lingkup pendidikan Islam yang semakin
meluas, maka metode dan materinya juga
ikut bertambah sesuai materi (wahyu) yang diturunkan Allah swt. (penambahan
materi pendidikan sudah masuk pada periode pendidikan Madinah).
a.
Tahap Pendidikan Islam Terbuka (Periode Madinah)
Tahapan pendidikan Islam periode ini terlaksana dengan turunnya surat al-Hijr:
94-95. Pelaksanaan ibadah haji merupakan momen yang sangat tepat untuk
melaksanakan proses pengajaran/penyebaran pesan (wahyu) kepada jamaah haji yang
datang ke Makah. Suku Khazraj adalah yang pertama menerima pengajaran ini.
Aspek psikologis adalah faktor utama sehingga mereka mudah menerima
pengajaran. Karena materi yang disampaikan juga sangat relevan dengan kebutuhan
mereka yang sedang dilanda perang saudara akut antara suku ‘Aus dan suku
Khazraj di kota Yastrib. Sesuai dengan materi awal Nabi Muhammad saw di Makah
yang concern pada ketauhidan dan akhlak mulia, di antaranya berakhlak
baik kepada sesama manusia dan saling tolong menolong antar sesama manusia.
Materi ini sangat mereka harapkan, bukan saja harapan sebatas pesan oral, akan
tetapi lebih jauh supaya bisa diaplikasikan di negeri mereka yaitu Yastrib.
Kemudian aspek yang tidak kalah pentingnya adalah kewibawaan Nabi
sebagai pengajar adalah hal yang sangat berkesan sekali, sehingga mereka
berharap Rasul datang ke kota mereka untuk memberikan pengajaran sekaligus
tinggal di sana.
Peserta didik Nabi di kelas internasional ini terdiri 12 laki-laki dan 1
orang perempuan[19].
Kemudian tahap kedua sebanyak 73 laki-laki dan 2 orang perempuan[20]. Karena semangat dan
kesungguhan mereka, sekaligus untuk kontinuitas pendidikan kelas internasional
ini, maka untuk sementara Nabi mengutus Mus’ab bin Umair sebagai tenaga pendidik yang siap dan pilihan
yang tepat waktu itu. Dikatakan siap karena beliau telah mendapat pendidikan
langsung dari Nabi di rumah Arqam bin Abi Arqam. Dikatakan tepat, karena Mus’ab
bin Umair dianggap mempunyai kapabalitas, cakap secara fisik (tampan) dan
memiliki wibawa, sehingga dengan alasan tersebut, proses transfer materi
pengajaran /pendidikan Islam menjadi mudah.
Kota Yastrib sebagai destinasi (tujuan) program pengembangan
pendidikan Islam adalah sesuatu yang sangat logis mengingat kondisi Makah yang
tidak bersahabat terhadap program pengembangan pendidikan Islam. Maka para
sahabat (tenaga pendidik) dengan berombongan melakukan hijrah ke Yastrib. Karen
Amstrong menyebutkan perpindahan/hijrah ini merupakan titik balik perkembangan
pendidikan (dakwah) Islam lebih luas[21].
Adapun inti program pengembangan pendidikan di Makah berorientasi pada;
persiapan tenaga pengajar/pendidik, persiapan dan penempaan mental calon
pengajar/pendidik. Dapat disebut bahwa tenaga pendidik awal ini telah melakukan
magang/praktek lapangan (istilah modern) di Makah. Orientasi pendidikan Islam
di Makah secara umum dikategorikan sebagai kelas tamhidi (persiapan),
kecuali untuk calon pendidik awal, pengajaran yang diberikan Nabi lebih
mendalam. Kondisi laten budaya Quraisy yang kental, menyebabkan proses
pengajaran hanya dapat dilakukan secara terbatas.
Namun langkah ini sangat efektif, karena bangsa Quraisy telah
mendapatkan informasi/pengetahuan Islam secara umum. Di saat fathuh (penaklukan)
Makah di kemudian hari, orang Quraisy lebih mudah menerima pendidikan Islam,
karena sebelumnya mereka telah memiliki pengetahuan tentang pengajaran Islam.
Artinya bangsa arab di Makah telah mempunyai basic tentang Islam,
sehingga banyak di antara mereka yang dengan sukarela masuk Islam ketika
penaklukan berlangsung. Sebagian ada juga yang masuk secara terpaksa, namun
proses dialogis yang terus dilakukan Rasul dan para Sahabat, mereka yang
terpaksa menjadi bisa menerima.
Kembali kepada topik ini, pada pagi hari tanggal 4 September 622 M,
rombongan sahabat Makah (Muhajrin) telah sampai di Yastrib. Di hari yang
sama Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar baru tiba di Quba’. Mereka tinggal di sana
selama 3 hari sebelum menyusul rombongan Muhajrin di Yastrib. Di Quba’
nabi memberikan pengajaran dan pendidikan kepada penduduknya sekaligus
mendirikan institusi pendidikan Islam pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad
saw[22].
Di kota Madinah, program penggemblengan tenaga pengajar/ pendidik dapat
dilakukan dengan maksimal. Demikian itu terbukti ketika para sabahat Anshar (orang
Yastrib yang telah Islam) dan Muhajrin menjadi ujung tombak tenaga
pendidik Islam baik di Madinah maupun ke semua penjuru negeri Arab.
Kemudian setelah Rasul sampai di Yastrib pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal I
H bertepatan tahun 622 M, beliau mendirikan masjid sebagai institusi pendidikan
Islam yang kedua dalam dunia Islam.
Adapun materi pendidikan Islam yang diberikan Nabi periode ini
diklasifikasikan sebagai berikut [23]:
1. Pendidikan keimanan,
2.
Pendidikan Ibadat,
3.
Pendidikan Akhlak,
4.
Pendidikan Kesehatan (Jasmani), dan
5.
Pendidikan Kemasyarakatan atau kewarganegaraan.
Ramayulis menambahkan materi periode Madinah meliputi :
1.
Tulis Baca Al-Qur’an,
2.
Kesejahteraan keluarga, dan
3. Sastra Arab.
Sedangkan metode yang digunakan Rasul di Madinah meneruskan metode
pendidikan di Makah dan beberapa tambahan yaitu [24]:
1.
Ceramah,
2.
Dialog,
3.
Tanya jawab atau diskusi,
4.
Demontrasi,
5.
Teguran langsung,
6.
Sindiran,
7.
Pemutusan dari Jamaah,
8.
Pemukulan (berkaitan dengan pengajaran Shalat untuk anak-anak),
9.
Komparatif kisah-kisah,
10.
Menggunakan kata Isyarat, dan
11.
Keteladanan.
Proses pendidikan yang dialogis menggunakan metode di atas nilai-nilai
yang terkandung, untuk pendidik dan peserta didik dapat digambarkan sebagai berikut[25]: Memperhatikan peserta didik secara menyeluruh
serta kebutuhan-kebutuhannya dalam proses pembelajaran antara lain;
mendengarkan pernyataan peserta didik, memperkenankan peserta didik
mengutarakan isi hatinya, memilih tempat yang cocok untuk bertemu dengan peserta didik seperti di
masjid, dan memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan peserta didik.
Untuk peserta didik pernyataan yang diberikan harus jelas, pertanyaan
yang disampaikan harus ringkas, persiapan jasmani dan rohani untuk mencari ilmu,
kesiapan untuk menerima tanggapan dari pertanyaan-pertanyaan, pertanyaan
bermanfaat, pertanyaan akurat dan ilmiah,
pilihan waktu yang tepat bertemu dengan guru, duduk dekat dengan guru
dan posisi duduk yang baik dan menyehatkan.
3. Bentuk-bentuk Institusi/ Lembaga Pendidikan Islam Pra Kebangkitan Madrasah
dan Kuttab
Institusi
atau lembaga pendidikan Islam dengan nama langsung Madrasah dengan pengertian
tempat menuntut ilmu atau seperti tempat proses belajar-mengajar yang kita
ketahui hari ini baru ada pada masa akhir Bani Abbasiyah di bawah pengaruh suku
Seljuk Turki periode 2 di Baghdad yang berkuasa tahun 448-552 H/1055-1157 M[26]. Madrasah yang konotasi
Universitas terbesar didirikan masa ini oleh Perdana Menteri Sultan Maliksyah
(465-485/1072-1092)[27] yakni Nizam al- Muluk.
Salah seorang tokoh ilmuan yang fenomenal di bidang keagamaan dan filsafat
ialah Imam al-Gazali (1059-1111 M).
Sedangkan Kuttab
sebagai tempat belajar telah ada sebelum Islam datang di Makah. Kuttab sebagai
lembaga pendidikan dasar sebelum Islam telah digunakan di Makah untuk kegiatan
baca tulis. Seorang sejarawan Arab mencatat bahwa orang asli Makah yang pertama
mengenal tulis baca diajar oleh seorang Kristen dan bahwa jumlah orang Makah
yang mengenal tulis baca ketika Islam datang adalah 17 orang[28]. Namun menurut Ahmad
Syalabi, orang yang pertama pandai tulis baca ialah Sofyan Ibnu Umaiyah Ibnu
Andu Syams dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf ibnu Zuhrah Ibnu Kilab. Kedua orang ini
mempelajarinya dari Bisyr Ibnu Abdil Malik yang belajar di Hirah[29]. Mungkin saja orang Hirah
Kristen yang mengajarinya. Tetapi jumlah orang yang pertama pandai tulis baca
waktu lebih dari satu orang.
Lebih lanjut
Ibnu Batutah (779 H), menyebutkan kegiatan pembelajaran di tingkat Kuttab ini
pendidiknya mengajarkan menulis dengan menggunakan kitab-kitab syair dan
sebagainya.[30]
a.
Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam
Sebelum
berkembangnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus
dan bahkan bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bentuk-bentuk
lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah;
1)
Kuttab
sebagai lembaga pendidikan dasar
2)
Badiah (padang
pasir, dusun tempat tinggal Badwi)
3) Masjid.
Lembaga-lembaga
pendidikan Islam sebelum kebangkitan Madrasah yaitu
1)
Maktab/Kuttab
2)
Halaqah
3)
Majlis
4)
Masjid
5)
Khan
6)
Ribath[31].
b. Rumah
Ulama sebagai Lembaga Pendidikan
Masjid
bukanlah satu-satunya tempat diselenggarakannya pendidikan
Islam. Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting dalam mentransmisikan
ilmu agama dan pengetahuan umum. Sebagai tempat transmisi keilmuan, rumah
muncul lebih awal daripada masjid. Sebelum masjid dibangun, ketika di Makah Rasulullah
menggunakan rumah al-Arqam
sebagai tempat memberikan pelajaran bagi kaum muslimin. Selain itu, Beliau pun
menggunakan rumah Beliau sebagai tempat untuk belajar Islam[32].
Untuk mencapai tujuan dalam menyampaikan risalah tauhid sangat diperlukan
suatu wadah atau lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu wadah berprosesnya seluruh
komponen pendidikan secara berkesinambungan dalam pencapaian tujuan pendidikan
yang sempurna. Adakalanya kelembagaan dalam masyarakat secara eksplisit membuktikan bahwa kuatnya tanggung jawab kultural dan edukatif
masyarakat dalam mempraktikkan ajaran Islam.
Hasan Langgulung menjelaskan
bahwa lahirnya pendidikan Islam di tandai dengan munculnya lembaga – lembaga
pendidikan Islam. Ketika wahyu di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad
saw, maka untuk menjelaskan dan mengajarkan kepada para sahabat,
Nabi mengambil rumah Arqam bin Abi al- Arqam sebagai tempatnya, disamping
menyampaikan ceramah di berbagai tempat. Atas dasar
inilah dapat dikatakan rumah Arqam sebagai lembaga pendidikan pertama dalam
Islam. Hal ini berlangsung kurang lebih 3 tahun. Namun sistem pendidikan pada
lembaga ini masih berbentuk halaqah dan belum memiliki kurikulum dan silabus
seperti yang dikenal sekarang. Sedangkan sistem dan materi – materi pendidikan
yang akan disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi saw[33].
Dengan dijadikannya
rumah Arqam bin
Abi al-Arqam oleh Rasulullah Muhammad saw. sebagai tempat berkumpul para sahabat
dalam menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah melalui malaikat Jibril as.,
ini membuktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam Islam.
Dalam pendidikan Islam selanjutnya, model sistem pendidikan ini terus dikembangkan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan masyarakat, dan zaman.
Sebelum masjid dibangun, maka
di samping memberi pelajaran di rumah Arqam, Nabi juga mengajar di rumahnya di
Makah, maka berkumpullah para sahabat di sekitar beliau untuk menerima
pelajaran yang disajikan oleh Nabi. Kondisi tetap seperti itu hingga turunlah
surat al-Ahzab ayat 35. Ayat ini di turunkan di Madinah sesudah masjid dibangun. Dengan turunnya ayat ini Allah telah meringankan kesibukan Nabi disebabkan
mengalirnya manusia ke rumah beliau yang boleh dikatakan tidak henti-henti[34].
Meski
rumah bukanlah tempat yang ideal untuk memberikan pelajaran,
banyak rumah ulama yang dipakai sebagai
tempat belajar. Mungkin saja pelajaran di rumah dapat mengganggu penghuni rumah
tersebut, namun ulama-ulama tidak keberatan rumahnya dipakai tempat belajar. Hal ini disebabkan
semangat menyebarkan pengetahuan mereka dan karena belajar mengajar mempunyai nilai
ibadah. Mereka dengan ikhlas dan senang hati menyediakan rumah-rumah mereka
sebagai kelas-kelas belajar.
Belajar
di rumah-rumah ulama merupakan fenomena umum di masyarakat Islam. Ini
menunjukkan tidak ada rasa terganggu atau berat hati bila rumah mereka dipakai
tempat belajar. Seharusnya, mereka berbangga hati karena pelajar-pelajar harus
datang ke rumah mereka untuk bertanya dan belajar. Banyak laporan sejarah yang
menjelaskan bahwa banyak pelajar yang menunggu di depan pintu rumah
ulama-ulama. Mereka kesana untuk mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi
atau mendiskusikan persoalan-persoalan fiqih. Ada di antara mereka yang
menghadap ulama untuk meminta riwayat hadist, mendengarkan
puisi, atau belajar ilmu lainnya[35].
C. Kesimpulan
Bahwa lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang
bergerak dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak
didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat diartikan sebagai suatu wadah atau
tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses
pembudayaan nilai-nilai yang ingin dicapai lembaga pendidikan Islam.
Awal perkembangan
pendidikan Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi sejak turunnya wahyu
pertama surat al-‘Alaq: 1-5. Kemudian pendidikan Islam secara
terang-terangan ketika telah turunnya surat al-Mudatsir: 1-7, namun
lingkupnya masih Arab Quraisy Makah. Sedang proses pendidikan terbuka yang
meng-internasional setelah turunnya surat al-Hijri:94-95. Momen kegiatan
pendidikan secara luas ini terjadi ketika musim haji tahun ke-12 kenabian, yang
pertama sekali disambut dengan antusias oleh suku Khazraj dari Yastrib
berjumlah 12 laki-laki dan 1 orang perempuan. Tahap pendidikan terbuka ketiga
ini cikal bakal berkembangnya pendidikan Islam di Madinah setelah Nabi hijrah
ke sana tahun 622 M.
Adapun materi-materi
pendidikan yang ditekankan nabi Muhammad saw adalah Al-Qur’an dan Sunnah dengan
fokus penekanan ketauhidan, ibadah dan akhlak terpuji, sedangkan pendidikan
Islam di Madinah ada tambahan materi seperti; kesejahteraan keluarga, kesehatan
(jasmani), kewarganegaraan, kesusastraan Arab dan baca tulis al-Qur’an. Metode
yang dipakai adalah ceramah, dialog,
tanya jawab atau diskusi, demonstrasi, teguran langsung, sindiran, pemutusan
dari jamaah, pemukulan (berkaitan dengan pengajaran shalat untuk anak-anak),
komparatif kisah-kisah, menggunakan kata isyarat, dan keteladanan.
Sedangkan lembaga
pendidikan Islam yang berkembang masa awal ini adalah, Kuttab
sebagai lembaga pendidikan dasar, rumah-rumah para ulama (para sahabat), Badiah (Padang Pasir, dusun tempat
tinggal Badwi), Masjid, Halaqah, Majlis,
dan
Ribath.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Amstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi, Surabaya: Risalah Gusti, 2012, cet. 7, h. 204
Forum Komunikasi Alumni Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indosesia (FKPPCD), The Dinamics Of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, h.55
Maryam, Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Moderen, Yogyakarta: LESFI, 2009, cet.3, h.144
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, h. 6
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, h.23
Staton, Charles Michae, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing, 1994, h. 18
Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet.1, h.33
[1] Pada ayat ke-94 berbunyi yang artinya “Maka sampaikanlah secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang
musyrik”.
Ibnu Abbas berkata, “Ayat
Tentang فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ ‘Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu)’, maknanya adalah,
tindak lanjuti apa yang diperintahkan kepadamu.”
Ibnu Al A’rabi berkata,
“Makna اِصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ ‘Sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu),’ adalah
sasarlah. Dikatakan فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ “Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu),” maksudnya,
pencarkan persekutuan dan kesatuan mereka dengan menyerukan kepada tauhid,
sesungguhnya mereka itu terpecah-pecah dengan sebagian yang menyambut”.
Firman Allah : وَأَعْرِضْ عَنِ المُشْرِكِيْنَ “Dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. Tentang
ayat yang mulia ini, ada dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama :
Pertama, makna ayat ini adalah jangan pedulikan pendustaan dan olok-olok mereka
serta jangan pula hal itu menyusahkanmu, sesungguhnya Allah yang menjagamu dari
mereka. Jadi makna ayat menurut penakwilan ini adalah sampaikanlah secara
terang-terangan apa yang diperintahkan kepadamu, yakni sampaikanlah risalah
Tuhanmu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik, yakni jangan pedulikan dan
takut kepada mereka. Makna ini adalah seperti halnya firman Allah :
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ
النَّاسِ
Artinya : “Hai rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak kamu kerjakan
(apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia” (QS. Al Maidah ; 67)
Kedua, bahwa Nabi SAW pada mulanya diperintahkan untuk berpaling dari
orang-orang musyrik, kemudian perintah itu dihapus dengan ayat-ayat perang.
Diantara ayat-ayat yang menunjukkan hal itu adalah firman-Nya
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Ikutilah apa yang telah
diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu ; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah
dari orang-orang musyrik” (QS. Al-An’am ;
106), dan firman-Nya
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَانْتَظِرْ إِنَّهُمْ مُنْتَظِرُونَ
“Maka berpalinglah kamu dari
mereka dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu” (QS. As-Sajdah ; 30), dan firman-Nya
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلا
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
“Maka berpalinglah (Hai
Muhammad) dari orang-orang yang berpaling dari peringatan Kami dan tidak
mengingini kecuali kehidupan dunia” (QS. An-Najm ; 29), dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.
Pada ayat ke 95 yang artinya, “Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari
(kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok (kamu)”. Allah terangkan dalam
ayat yang mulia ini, Dia memelihara Nabi-Nya dari orang-orang yang
memperolok-oloknya, yaitu kaum Quraisy. Di tempat lain disebutkan kalau Allah
juga menjaganya dari selain mereka, seperti firman-Nya tentang Ahli
Kitab, فَسَيَكْفِيْكَهُمُ
اللهُ “Maka Allah akan
memelihara kamu dari mereka.” (QS. Al-Baqarah : 137), dan
firman-Nya ألَيْسَ اللهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ “Bukankah Allah cukup untuk
melindungi hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar : 36), dan ayat-ayat lainnya. (http://achmadalfarisi.blogspot.com/2012/09/jaminan-perlindungan-allah-terhadap_29.html/2013/11/2)
[7] Arqam bin Abi Arqam salah seorang anggota golongan
Bani Makhzum, pemimpin golongan ini yang terkenal adalah Abu Lahab.
[8]http://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/asep-sobirin/atsar-dakwah-dan-pendidikan-rasulullah-saw/2013/10/29
[9] Forum Komunikasi Alumni Program Pembibitan Calon Dosen
IAIN se-Indonesia (FKAPPCD), The Dinamics Of Islamic Civilization,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, h.55
[13] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1973, cet.1, h.40 (Ahmad Syalabi mengutip keterangan ini dalam Al-Itqan
Fi ulumi al-Qur’an, 2: 208)
[17] Bilal bin Rabbah seorang budak dari Habsyah/Eitoupia
yang telah mengenal serta berasimilasi dengan kebudayaan Quraisy Makah, mulai
dari sebelum Islam datang sebagai seorang budak
[18] Yang kaya sangat berkuasa, yang lemah menjadi sangat
lemah posisinya karena secara materi mereka tidak bisa banyak berbuat apa-apa
karena kecilnya akses kepada jaringan sumber-sumber kekayaan dari itu pengaruh
mereka menjadi tidak begitu berarti. Seperti yang dijelaskan Karen Amstrong,
dalam bukunya ‘Muhammad Sang Nabi’, bahwa keluarga Hasyim disaat
Muhammad lahir sedang mengalami penurunan popularitas, sebelumnya klan ini
sangat dihormati, disebabkan factor prestise tidak lagi pada kepahlawanan
seorang pemimpin akan tetapi factor kekayaan seorang kepala suku/pemimpin.
Seperti contoh Paman Nabi Abu Jahal menjadi sangat dihormati walaupun kejam
dibanding Abdul Mutalib sendiri atau Abu Talib, karena mereka tidak kaya dalam
klan Bani Hasyim. Atau Golongan Bani Makhzum lebih dihormati dibanding Bani
Hasyim.
[22] Abudin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusi Pendidikannya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h.197
[26] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa
Klasik Hingga Moderen, Yogyakarta: LESFI, 2009, cet.3, h.144
No comments:
Post a Comment