A. Pendahuluan
Membicarakan
sejarah pertumbuhan ilmu-ilmu Islam dalam konteks yang sebenarnya, dapat dilihat
sejak dimulainya dakwah Nabi Muhammad saw secara resmi di Makah.
Konsentrasi dakwah beliau seperti diketahui pengajaran tentang tauhid, ibadat
dan akhlak. Sejak awal Nabi Muhammad saw tidak memperkenalkan ilmu-ilmu dalam
bentuk dikotomis (dibedakan), sebab, sumber ilmu hanya satu yaitu Allah al-‘Aaliim
(Tuhan yang Mahatahu). Selain itu, ilmu-ilmu yang aqliah/profan belum
begitu dibutuhkan. karena posisi ilmu tersebut hanya sebagai pelengkap dan
penunjang. Sedangkan pokok atau dasar bangunan keilmuan yang sebenarnya belum mapan.
Pokok
bangunan keilmuan yang dibangun nabi Muhammad saw awal terfokus pada ‘ruang’
penyingkapan ontologi (sumber) ilmu pengetahuan. Intinya, sumber ilmu
adalah Allah swt kemudian diberikannya kepada siapa yang berusaha mendapat itu
dengan menggunakan semua
potensi yang dimiliki
manusia seperti;
pancaindra, Aqal dan Qalbu. Jika, persolan tersebut telah
duduk, maka proses selajutnya akan lebih mudah. Untuk itu, pendidikan Islam
diera awal baru mengajarkan ilmu-ilmu utama (ilmu agama) tentang tauhid, ibadat
dan akhlak yang sifatnya wajib untuk diketahui/dituntut oleh manusia menurut
Imam al-Ghazali ( w.1111 M). Pertumbuhan ilmu-ilmu Islam awal disebut sebagai
masa perintisan ilmu-ilmu Islam. Kemudian era pembinaan pendidikan Islam
memasuki era Umawiyah (661-743 M) dan era puncak kemajuan
pada masa Abbasiyah (132 H/750 M- 656 H/1258 M),
sekaligus era mempertahankan, memperbaiki (restrukturisasi) pertumbuhan
ilmu-ilmi Islam.
Di atas telah
dikatakan bahwa prinsip dasar pengembangan ilmu pengetahuan melalui pendidikan
Islam tidak mengenal dikotomis (pembedaan) antara ilmu agama dengan ilmu aqliah/profan,
sebab sumbernya hanya satu yaitu Allah swt. Kemudian, prinsip ini menjadi pudar
dan bahkan hampir tidak dikenal pada era kemunduran Islam. Situasi tersebut berkaitan dengan sikap jenuh yang menimpa
masyarakat dan penguasa muslim di bidang politik dan teologi keagamaan, yang
puncaknya pada masa Abbasiyah akhir, tepatnya masa Bani Seljuq mengusai
pemerintahan Abbasiyah di Bagdad (447 H/ 1055 M-656 H/
1258 M). Sehingga concern
pertumbuhan ilmu berkisar ilmu-ilmu agama, sedangkan ilmu aqliah/profane
tidak menjadi perhatian utama, bahkan, dicurigai keberadaannya, seperti ilmu
kalam.
Berkaitan
dengan Madrasah sebagai tempat pertumbuhan ilmu-ilmu Islam yang dimaksud pada
sesi materi ini adalah Madrasah dalam konteks lembaga perguruan tinggi, baik
karena nama dan sekaligus proses kegiatan keilmuan telah memenuhi standar
sebagai Madrasah yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam lebih lanjut setingkat
universitas atau perguruan tinggi, atau penamaan saja, karena posisinya
dianggap memenuhi standar sebagai lembaga perguruan tinggi/universitas baik di
masa Umawiyah II (Spanyol) maupun masa Abbasiyah salah satunya Madrasah
Nidzamiyah. Sedangkan arti Madrasah sebagai tempat proses belajar mengajar
sepanjang lintasan sejarah pendidikan Islam mulai Nabi Muhammad saw yang yang
dikategorikan pendidikan dasar seperti Kuttab, Ribath, Zawiyah, Saloon
Sastra, Rumah Ulama, Pendidikan Istana dan lain-lain tidak akan dibahas.
Sedangkan dimaksud ilmu-ilmu Islam yang tumbuh di Madrasah mengacu
kepada ilmu dalam pengertian integral (satu) tidak dikotomik (pembedaan). Diera
pertumbuhan Madrasah dalam pengertian perguruan tinggi di masa Umawiyah II Spanyol maupun periode Abbasiyah awal
(masa kemajuan), mengajarkan ilmu-ilmu Islam secara integral. Namun pada era
Islam mundur di akhir Abbasiyah pertumbuhan ilmu-ilmu Islam mulai fokus kepada
ilmu keagamaan. sehingga konotasi ilmu-ilmu Islam hanya bernuansa keagamaan,
sedangkan aqliah/profan tidak termasuk, padahal secara prinsip, semua
ilmu itu milik Allah yang bersifat intergral dan bukan dikotomis.
Adapun fakus
bahasan materi ini adalah ; Madrasah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Fungsi Madrasah dalam
Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan Agama, Peranan Ulama dalam
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Kesimpulan, dan
Soal-soal Latihan.
B. Pembahasan
Para
pakar sejarah pendidikan Islam telah menempatkan prototype perguruan tinggi
dalam dunia Islam tertuju kepada Madrasah
Nidzamiyah. Ahmad Syalabi, menjelaskan dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam”
bahwa masih ada beberap Madrasah yang dibangun selain Nidzamiyah, seperti ;
Madrasah Ayubiyah di Mesir, Madrasah Nurudin Zanky, sekolah Kedokteran dan
An-Nuryah Kubra[1]. Charles Michael Stanton,
menyebutkan Madrasah Nidzamiyah khususnya telah menginspirasi perkembangan dan
tatapengelolaan Universitas-universitas di Eropa di Abad kebangkitannya (Renaisance)
lebih spesifiknya di daratan Inggris dan Prancis[2] .
Dapat
difahami terlebih dahulu bahwa Madrasah diabdikan terutama kepada al-uluum al-Islamiyah atau
biasa juga disebut al-uluum ad-diniyyah dengan penekanan
khusus pada bidang fiqih, tafsir dan hadits. Meskipun ilmu-ilmu ini juga
memberikan ruang gerak kepada akal untuk melakukan ijtihad, dalam pengertian
bukan ijtihad yang dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Dengan demikian,
ilmu-ilmu non agama (profan) sejak awal perkembangan madrasah
sudah dalam posisi yang marjinal.
Meski Islam pada dasarnya
tidak membeda-bedakan nilai-nilai ilmu agama dan ilmu umum, namun dalam prakteknya
supremasi lebih diberikan kepada ilmu agama. Terlepas dari semua itu, jika
dipandang semata-mata dari sudut keagamaan dalam pengertian terbatas, supremasi
dan dominasi ilmu-ilmu keagamaan dalam batas tertentu agaknya mengandung
implikasi positif. Supremasi ini membuat transmisi syari'ah yang merupakan inti
Islam, dari generasi awal muslim kepada generasi berikutnya menjadi "lebih
terjamin", walaupun supremasi tersebut tidak berlangsung
dengan cara yang lebih dinamis.[3]
Karena itu tak heran ketika Charles
Michael Stanton tidak berhasil membuktikan kaitan yang jelas antara
lembaga penidikan tinggi Islam dengan kemajuan berbagai cabang sains dalam
peradaban Islam. Ini tidak aneh karena seluruh madrasah yang pernah diteliti
sepenuhnya bermuatan ilmu-ilmu agama. Hanya terdapat beberapa madrasah saja,
khsususnya di Persia yang mengajarkan beberapa bidang ilmu yang
"diharamkan" pada madrasah-madrasah Sunni[4].
1. Madrasah dan Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam
a. Madrasah pada Masa
Dinasti Umayyah di Spanyol
Kurikulum madrasah di masa
klasik, tidak banyak menawarkan mata pelajaran yang bermacam-macam. Dalam suatu
jangka waktu, pengajaran hanya menyajikan satu mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh siswa. Sesudah materi tersebut selesai, baru diperbolehkan
mempelajari materi yang lain atau yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya,
pada tahap awal siswa diharuskan belajar baca tulis, berikutnya ia belajar
berhitung dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena belum adanya koordinasi
antar lembaga-lembaga dengan pemerintah seperti pada saat ini. Meskipun pada
kasus tertentu penguasa turut mengendalikan pelaksanaan pengajaran di
madrasah-madrasah sedangkan proses belajar mengajar sepenuhnya tergantung
kepada guru yang memberikan pelajaran.
Di bagian Barat wilayah Islam,
Dinasti Umayyah mengembangkan banyak jami'ah di kota Seville,
Cordova, Granada dan di kota-kota lain. Di Spanyol perkembangan pendidikan
tinggi di mulai pada abad kesepuluh. Bangsa Moor dan berikutnya bangsa Arab,
memasuki sepanyol pada tahun 712. Meskipun tahun 756, pangeran dari Dinasti
Umayyah, Abdul Rahman telah ditaklukkan oleh tentara dari Abbasiyah, Khalifah
Al-Mansyur dan mengangkat Amir di Cordova. Inisiatif lain abad keemasan Islam
di Spanyol bagian Selatan, di bawah Umayyah ini, terus berjalan abad kesebelas.
Sementara itu pada abad kesepuluh adalah puncak perkembangan intelektual muslim
di Spanyol dengan Cordova sebagai pusatnya. Universitas-universitas tersebut
menjadi simbol yang cemerlang bagi kepentingan pendidikan muslim dan memberikan
sumbangan khusus bagi kemajuan Eropa abad pertengahan[5].
Umat Islam di Spanyol telah
mencapai kejayaan yang gemilang, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan
pengaruhnya membawa Eropa dan juga dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks,
terutama dalam hal kemajuan intelektual. Dalam masa lebih dari tujuh abad
kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya di sana.
Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan
kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks.
Spanyol adalah negeri yang
subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada
gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Spanyol Islam merupakan
masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan),
al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang
berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara
Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada
penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang
berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua
komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap
terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan Kebangkitan Ilmiah,
sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.
b. Madrasah pada Masa
Dinasti Abbasiyah.
Keadaan yang sama juga
meliputi pendidikan tinggi di wilayah Dinasti Abbasiyah. Sejarah mencatat bahwa
kemajuan Islam zaman klasik dalam keilmuan mencapai puncaknya pada zaman
Dinasti Abbasiyah khsususnya masa kekhalifahan al-Ma'mun. Seluruh lembaga menawarkan
pendidikan univesitas dalam cakupan yang lebih luas, seperti bahasa Arab,
astronomi, kedokteran, hukum, logika, metafisika, aritmetika, pertanian dan
lain-lain[6]. Namun seiring
dengan berdirinya madrasah, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
mengalami penurunan ketika mu'tazilah[7] yang semula
menjadi madzhab resmi negara dibatalkan oleh Mutawakkil[8]. Ketika madrasah mulai berdiri,
ternyata perkembangan itu tidak menggunakan madrasah sebagai media transmisi,
bahkan filsafat dan ilmu pengetahuan itu dipelajari secara individual dan
mungkin di bawah tanah, karena dikawatirkan mengganggu supremasi ilmu-ilmu
agama. Sehingga pada saat itu terdapat beberapa mudarris yang
menawarkan program studi khusus dan lain-lain. Kekhususan itu dapat dilihat
dari nama sekolahnya. Misalnya madrasah Nahwiyah, sebagai lembaga yang
mengkhususkan diri dalam studi Islam tentang gramatikal bahasa Arab. Atau ada
juga madrasah Qur'aniyah yang mengkhususkan pendidikan al-Qur'an dengan saja.
Biasanya madrasah mempunyai
perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama, walaupun perpustakaan
telah lama terdapat di istana dan rumah-rumah bangsawan dan hartawan, perpustakaan
sebagai bagian dari madrasah adalah hal yang jarang[9]. Untuk menyediakan
manuskrif bagi mahasiswa, madrasah mencontoh praktek halaqah-halaqah gerakan
nasional yang telah terpenuhi oleh budaya Hellenistik[10] dan berkembang pesat
pada masa Dinasti Abbasiyah. Tersedianya berbagai karya bukan hanya sekedar
buku-buku pelajaran, meningkatkan belajar mahasiswa dengan memperkenalkan
mereka kepada bermacam-macam pandangan dan juga kepada sejumlah tulisan
tidak hanya sekedar kebutuhan langsung perkuliahan.
Madrasah yang didirikan Nizham
al-Mulk merupakan salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahuan menjadi
begitu cepat. Abu Usamah menulis: "sekolah-sekolah Nizham al-Mulk
termasyhur di dunia. Tidak ada satu negeri pun yang di situ tidak berdiri
Nizham al-Mulk[11].
Demikianlah Nizhamiyah
memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu aritmetika misalnya, sedangkan
madrasah-madrasah yang lain mengajarkan ilmu nahwu, tafsir, hadits, fiqh,
bahkan ada pula yang mengajarkan ilmu kedokteran. Walau pun memang secara umum
madrasah-madrasah mengajarkan ilmu keislaman. Seperti terlihat dari topik-topik
utama dalam kurikulum mereka mempelajari al-Qur'an, fiqh, teologi dan lain-lain[12].
Sebagaimana telah dipaparkan
di atas, bahwa Nizhamiyah mempunyai potensi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan memperhatikan kepada pengajaran aritmetika, seperti juga
terdapat di madrasah Muntansyiriyah. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut,
karena dahulu mereka tidak menyukai ilmu-ilmu seperti itu, tetapi pada
gilirannya ternyata ilmu tersebut mereka butuhkan. Bahkan, ditemukan sebuah
masjid dan madrasah yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan Yunani, misalnya
masjid Mustansyiriyah di Baghdad yang telah mengajarkan ilmu-ilmu murni,
seperti obat-obatan, farmasi dan geometri[13].
Berikut ini kronologi Keahlian
para pelajar pada Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah Al-Ma'mun[14].
No
|
Nama Mahasiswa
|
Masa Hidup
|
Keahlian
|
1
|
Jabir Ibn Hayyan
|
( 721-815 M )
|
Kimia
|
2
|
Abu Nawas
|
( 747-815 M )
|
Syair
|
3
|
Imam Syafi'i
|
( 767-820 M )
|
Fikih
|
4
|
Muhammad Ibn Ummar Al-Waqidi
|
( 748-823 M )
|
Sejarah, Fiqh, Hadits
|
5
|
Ibn Hisya
|
( w. 832 M )
|
Sejarah
|
6
|
Al-Nazzam
|
( 801-835 M )
|
Teologi
|
7
|
Ahmad bin Hanbal
|
( 780-855 M )
|
Fikih
|
8
|
Ibn Sai'd
|
( w. 834 M )
|
Sejarah
|
9
|
Muhammad Ibn Sa'i
|
( 784-845 M )
|
Sejarah, Hadits
|
10
|
Al-Khawarizmi
|
( 780-847 M )
|
Astronomi, Matematika
|
11
|
Abu Al-Huzail Al-'Allaf
|
( 752-849 M )
|
Teologi Mu'tazilah
|
12
|
Ashaq Al-Mawshilli
|
( 767-850 M )
|
Sya'ir Penyanyi
|
13
|
Al-Jahizh
|
( 776-869 M )
|
Sastrawan
|
14
|
Imam Bukhari
|
( 810-870 M )
|
Hadits
|
15
|
Hunayn Ibn Ishaq
|
( 809-873 M )
|
Fisika dan Kedokteran
|
16
|
Ar-Razi
|
( 865-925 M)
|
Kedokteran
|
17
|
Al-Bakhli Ibn Khardazbah
|
( 934 M)
|
Geografi
|
18
|
Ibna Sina
|
( 980 -1037 M)
|
Kedokteran
|
c. Madrasah
Akhir Periode Klasik Islam
Ba'da berakhirnya periode
klasik Islam, ketika Islam mulai mengalami masa kemunduran, Eropa bangkit dari
keterbelakangannya. Kebangkitan ini bukan saja terlihat dalam bidang politik
dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya,
tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan kemajuan di
bidang ilmu dan tekonologi itulah yang mendukung keberhasilan politik Eropa.
Kemajuan Eropa ini tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Islam di
Spanyol. Dari Spanyol itulah Eropa banyak menimba ilmu[15].
Pada periode klasik, ketika
Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan peradaban Islam yang sangat
penting menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu orang-orang Eropa Kristen banyak
menimba ilmu di perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi "guru"
bagi Eropa[16]. Banyak prestasi
yang diperoleh Spanyol Islam, bahkan dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks.
Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dilihat pada bidang-bidang sebagai berikut:
kemajuan dalam bidang intelektual, filsafat, sains, musik dan kesenian, bahasa
dan sastra, bahkan juga dalam bidang arsitektur. Kemajuan Eropa terus yang
berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi pada khasanah ilmu pengetahuan
Islam yang berkembang pada periode klasik[17].
Kontribusi khasanah ilmu
pengetahuan Islam pada kemajuan Eropa, antara lain di misalnya bidang pemikiran
Ibn Rusyd (1120-1198 M). Ia melepaskan belenggu taqlid dan menganjurkan
kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat
minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut
pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen[18].
Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme
(Ibn Rusydisme) yang menuntut kebebasan berpikir[19].
Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan
Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M[20]
dan rasionalisme pada abad ke-17 M. Buku-buku Ibn Rusyd dicetak di Venessia
tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada
tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di
Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke 17 M di Jenewa[21].
Pengaruh peradaban Islam,
termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya
pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas universitas Islam di
Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Valensia. Selama belajar di Spanyol,
mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim[22].
Bidang Matematika, para ilmuan
Islam telah berhasil menemukan struktur angka yang diambil dari struktur angka
India, dari usaha menerjemahkan buku-buku India. Struktur angka yang lebih
praktis dibanding struktur angka yang diciptakan orang-orang Romawi. Dalam
struktur ini setiap digit mempunyai arti satuan, puluhan, ratusan, r ibuan dan set
erusnya. Bandingkan dengan
struktur angka Romawi yang untuk menuliskan 388 harus ditulis CCCLXXXIII[23].
Dalam perkembangan berikutnya,
sarjana-sarjana muslim menemukan angka nol (shifir). Penemuan
angka nol ini merupakan penemuan paling berharga dalam bidang ilmu hitung.
Selain itu umat Islam juga menemukan ilmu al-Jabar. Di antara pakar al-Jabar
adalah Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi yang menyusun sebuah buku Kitabul
Jama wat Tafriq dan Hisab al-Jabar wal Muqabla (ringkasan
perhitungan retorasi dan ekuasi)[24].
Buku ini akhirnya dijadikan buku wajib di sekolah-sekolah dan universitas di
Eropa sampai akhir abad ke 16. Selain al-Khawarizmi juga ada al-Bani dan
al-Baruni (973-1048).
Di bidang kedokteran, karya
Ibnu Sina Al-Qanun merupakan rujukan terpenting dan terlengkap
di dunia kedokteran. Bahkan orang-orang Eropa menamakan kitab ini sebagai
ensiklopedia kedokterab karena mencakup penyakit TBC, penyakit kaki gajah,
penyakit cacing dan bahayanya. Al-Qanun dicetak di Eropa pada
tahun 1593 M, dicetak ulang sebanyak lima belas kali dalam bahasa latin yang
kemudian menjadi buku utama di fakultas-fakultas kedokteran di Eropa hingga
akhir abad ke 16 Masehi[25].
2. Fungsi Madrasah dalam
Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan Agama
Ada semacam degree
agreement bahwa madrasah dipandang sebagai lembaga yang khusus
mentransmisikan ilmu-ilmu agama dengan memberikan penekanan khusus pada bidang
fiqih, tafsir, dan hadits dan tidak memasukan ilmu-ilmu umum dalam
kurikulumnya. Menurut Azyumardi Azra, hal ini disebabkan karena 3 alasan:
a. Ini berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian ilmu-ilmu
keagamaan (al-'uluum ad-diniyyah) yang danggap mempunyai
supremasi lebih dan merupakan jalan 'tol' menuju Tuhan.
b. Secara institusi madrasah
memang dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang agama.
c. Berkenaan dengan
kenyataan bahwa hampir seluruh madrasah didirikan dan dipertahankan dengan dana
wakaf dari penguasa politik Muslim atau dermawan karena didorong adanya
motivasi kesalehan[26].
Madrasah dapat diterima di
kalangan masyarakat banyak karena kurikulum yang terfokus pada bidang
keagamaan, seperti pelajaran fiqih misalnya dianggap dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat dan dapat diberikan pada anggota masyarakat dalam segala tingkatan
umur. Di samping itu pula kerena pengajar madrasah adalah para ulama yang
notebene merupakan panutan masyarakat serta pembela kepentingan mereka dan
memiliki keududukan khusus dalam pemerintahan[27]
Karena, dapat kita simpulkan
bahwa madrasah memiliki fungsi dan peran yang besar dalam mentransmisikan ilmu
pengetahuan Islam. Adapun jenis pentranmisiannya adalah sebagai berikut:
a. Ilmu Pengetahuan yang
Ditransminsikan Madrasah
Para ahli telah banyak melakukan penelitian tentang hal ini, bahwa
ilmu-ilmu yang ditransmisikan oleh madrasah adalah; Al-Qur'an dan tafsirnya,
hadits dan ilmu haditsnya, fiqih dan ushul fiqihnya, ilmu kalam dan bahasa Arab
yang meliputi nahwu, sharaf, balaghah sebagai penunjangnya.
b. Cara Madrasah
Mentransmisikan Ilmu Pengetahuan Islam
Di antara madrasah yang cukup
populer di masanya adalah madarasah Nizhamiyah. Bagaimana cara madrasah ini
mentransmisikan ilmu pengetahuan Islam, yaitu dengan menyelenggarakan ujian.
Namun pernanan guru masih sangat mendominasi oleh karena besarnya pengaruh guru
secara individual. Misalnya, ijazah yang seharusnya dikeluarkan atas nama
madrasah, tapi dikeluarkan atas nama guru. Namun demikian dalam hal ini tidak
berarti bahwa madrasah tidak mempunyai fungsi strategi terhadap tansmisi ilmu.
Seperti pendapat Fazlur
Rahman, bahwa mayoritas ulama termasyhur pada awal abad pertengahan bukan
produk madrasah melainkan alumni murid-murid informal dari guru individual
tidak dapat dibenarkan semuanya, sebab besar kemungkinan pengkajian disiplin
ilmu yang dilakukan antara peserta didik dengan syaikhnya di luar jam pelajaran
ini juga boleh jadi dimasukan ke dalam bagian kegiatan secara keseluruhan.
Adapun alur transmisi ilmu
pengetahuan di madrasah secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian:
a. Transmisi Lewat Lisan
Dunia pendidikan Islam zaman
klasik berkeyakinan bahwa belajar kepada syaikh secara pribadi dan langsung
mendengar uraian (bayan) dari syaikh tidak hanya membaca karya-karya tulisnya
dianggap sebagai metode transmisi yang paling baik. Seorang murid tidak
dianggap cukup hanya membaca teks karya gurunya sendiri. Metode ini
dilaksanakan dengan cara guru membaca teks kemudian mensyarahnya dan murid
mendengarkan dan menyimak dengan seksama.
b. Transmisi Lewat Tulisan
Upaya transmisi lewat tulisan ini dilakukan karena pada masa itu harga
kitab/buku sangat mahal, sehingga seorang murid yang berkeinginan memiliki
sebuah buku/kitab maka tidak ada jalan lain kecuali ia harus menyalin dari
kitab gurunya. Usaha keras ini menjadi alasan dan bukti akan adanya transmisi
ilmu pengetahuan lewat tulisan.
3. Peranan Ulama dalam
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam
Lembaga pendidikan Islam
mempunyai peranan yang sangat penting dalam transpormasi ilmu pengetahuan.
Kegiatan intelektual dalam sejarah peradaban Islam merupakan mata rantai dari
serangkaian perjalanan sejarah lembaga pendidikan Islam pada masa nabi dan
khulafa'ur Rasyidin dengan adanya syufah dan dilanjutkan pada masa
Bani Umayyah dan mencapai puncak kejayaannya adalah pada masa Bani Abbasiyah
yang ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan seperti Madrasah Nidzamiyah
dan al-Azhar. Maka pengaruh ulama dalam mengembangkan tradisi keilmuan Islam tidak
terlepas dari lembaga pendidikan tersebut.
Adapun di antara ulama yang
memiliki peranan penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, baik
selama mendalami ilmu di lembaga madrasah maupun selama menjadi tenaga pengajar
di lembaga tersebut adalah al-Ghazali. Beliau merupakan alumni sekaligus
sebagai salah satu tenaga pengajar pada Madrasah Nizamiyah. Ia dikenal sebagai
seorang filosof, ahli fiqih, ahli sufi dan juga seorang negarawan. Ia tidak
kurang menulis 400 buku besar dan risalah. Ia juga dikenal sebagai ilmuan Islam
yang ensiklopedis. Banyak peneliti yang mengaitkan perkembangan keilmuan dengan
peran yang dimainkannya, khususnya selama ia menjadi syaikh di madrasah
tersebut.
Al-Ghazali (450
H/1059M-505 H/1111 M berasal dari Thus Persia, setelah menyelesaikan
pendidikan dasar di negerinya, ia menuntut ilmu di Jurjan pada syaikh Abu Nasr
al-Ismali. Setelah itu
meneruskan pendidikannya ke Naisabur. Di sana ia menjadi pengikut tetap
pengajian imam al-Haramain al-Juwaini yang menjadi syaikh madrasah Nizamiyah[28].
Ia menguasai berbagai cabang ilmu, seperti fiqih Syafi'I, perbandingan madzhab,
debat, ushul fiqih, ushuluddin dan mantiq. Sementara itu, ia pun menulis
buku-buku, di antara karyanya; Ihya Ulumuddin,[29] Maqasid, dan Tahafatul Falasifah, al-Mustafz, al-Basit, al-Wasit
serta al-Wajiz. Walaupun sudah
kurang luas peredarannya, tetapi sebagian besar fiqih yang menjadi buku daras atau
ulama syafi'iyah sekarang adalah turunan dari kitab-kitab itu.
C. Kesimpulan
Keberadaan madrasah dalam
pendidikan Islam turut mewarnai pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Hal ini
terbukti dari banyaknya ilmu pengetahuan yang berkembang baik yang
dikembangkang pada masa Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah.
Ada juga madrasah yang
mengkhususkan diri mempelajari satu disiplin ilmu tertentu, misalnya madrasah
nahwu, madrasah tafsir atau madrasah hadits yang pada gilirannya membawa
perkembangan pada ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian madrasah merupakan media
atau wadah pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para alumnus yang dihasilkan
madrasah turut pula menjadikan ilmu pengetahuan Islam berkembang. Mereka
mengembangkan ilmu-ilmu tersebut dalam karirnya di berbagailembaga maupun kehidupan
bermasyarakat.
Sola Latihan
:
1.
Bagaimana Islam
memandang Ilmu pengetahuan yang ada, mengapa demikian, jelaskan?
2.
Jelaskanlah pengertian Madrasah dan bagaimana Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam
melalui Madrasah.
3.
Jelaskan Fungsi Madrasah
dalam Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan Agama,
4. Jelaskanlah Peranan Ulama
dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam
5. Urainkanlah ide anda
bagaimana langkah-langkah mencapai perkembangan ilmu pengetahuan seperti di
zaman kejayaan Islam.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Amin, Samsul Munir, Sejarah Perdaban
Islam, Jakarta : Amzah, 2009, h. 177
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.
Makbulah, Deden, Kehidupan
Murid dan Mahasiswa pada Masa Khalfah Al-Ma'mun;dalam Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005
Nata, Abudin, Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan
Pertengahan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 176.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003
Nasim, Madrasah dan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam, dalam Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspek, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam
Kepada Ilmu dan Peradaban Modern, Jakarta: PM3, 1981, Cet. II
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2012
Syalabi, Ahmad, Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta: Bintang
Bulan, 1973
Staton, Charles Michael, Pendidikan
Tinggi Dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1994
Yasien, Khalil, Muhammad di Mata Cendekiawan Barat, Jakarta: Gema Insani
Press, 2002
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta:
Rajawali
Press, 199,1 cet.
I
Ramayulis, Nizar, Samsul, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan Indonesia,
Jakarta: Quantum Teaching, 2010
[2] Charles Michael Staton, Pendidikan Tinggi Dalam
Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1994, h. 47
[3] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999).
[4]http://www.tarbiyah-iainantasari.ac.id/artikel_detail.cfm?judul=159.
diakses tanggal 25 Oktober 2011
[5] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 23.
[7] Aliran yang memisahkan diri muncul di Basra, Irak, di abad 2 H.
Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) berpisah dari
gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha'
berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia
fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus
mukmin. http://id.wikipedia.org/wiki/Mu%27tazilah, diakses tgl. 25 Oktober 2011
[8] Al-Mutawakkil (821-861) adalah khalifah ke-10 Bani Abbasiyah (847-861),
http://id.wikipedia. org/wiki/Al-Mutawakkil, diakses tgl. 25 Oktober 2011.
[9]http://www.scribd.com/doc/23430579/Metode-Pendidikan-Islam-Klasik,
diakses pada tgl. 05 Nop. 2011.
[10] Istilah Hellenistik (berasal dari kata Héllēn, istilah yang
dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan nama
etnik mereka) mula-mula dipakai oleh ahli sejarah Jerman, Johann Gustav Droysen
merujuk pada penyebaran peradaban Yunani pada bangsa bukan Yunani yang
ditaklukkan oleh Aleksander Agung. Menurut Droysen, peradaban Hellenistik
adalah fusi/gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban Timur Dekat. Pusat
kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antioch
dan Aleksandria/Iskandariyah.
[12] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Pada Periode Klasik dan
Pertengahan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 176.
[14] Deden Makbulah, Kehidupan Murid dan Mahasiswa pada Masa Khalfah
Al-Ma'mun;dalam Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada
Media, 2005), h. 75
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah
II, (Jakarta: Rajawali
Press, 1991) cet. I, h. 67.
[17]http://jejaksejarahislam.blogspot.com/2011/04/andalusia-jejak-sejarah-islam-yang.html,
diakses tanggal 25 Oktober 2011
[22]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, h. 144-145
[23]S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan
Peradaban Modern, Jakarta: PM3, 1981, Cet. II h. 27
[25]Nasim, Madrasah dan Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Islam, dalam Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 206.
[26] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Logos, 1999.h. vii
[28] Ramayulis, Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan Indonesia, Jakarta:
Quantum Teaching, 2010, h. 3
[29] Kitab yang menjadi salah satu rujukan terpenting kajian tasawuf ini
banyak yang mengaguminya tetapi juga tidak sedikit yang memberikan keritik yang
cukup tajam. Di antaranya adalah Buya Hamka yang menuturkan: " ...
sebagai seorang ahli pikir yang bebas dan besar, beliau membebaskan pikirannya
dari pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu daripadanya, tetapi
hadits-hadits yang dijadikannya dalil, kerapkali tidak memperhatikan ilmu sanad
hadits, sehingga sebagaimana ditulis oleh ayahku dan guruku Syaikh Abdulkarim Amrullah
dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya' musti hati-hati, karena
banyak hadits yang lemah dan palsu. Itulah menjadi
bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang failasoof yang besar tidaklah
melengkapi ilmunya dalam segala -bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits,
tetapi dia besar dalam penciptaan fikiran. Kunjungi:
http://www.darulkautsar.net/, diakses tgl. 25 Oktober 2011.
No comments:
Post a Comment