18/10/2016

Berbaik Sangka Terhadap Ujian Allah

Ketika ujian itu datang bisa jadi Allah sedang rindu mendengarkan suara merdu dari rintihan do'amu. Dia hanya ingin kamu menyapa-Nya lebih lama dari kamu menyapa dunia & segala urusan di dalamnya..

Kapan Kita Mendo'akan Keduanya ???

Keberhasilan adalah harapan orang tua kita, setiap langkah dan tetesan air matanya terucap alunan doa yang merdu dan indah,ia rela membuat dirinya miskin demi anaknya, ia merasa kenyang saat kita minta kebutuhan pokok meskipun perutnya melilit kesakitan karena lapar..uang ratusan ribu tak berarti di matanya demi perlengkapan hidup kita,, tubuh yang kita rawat untuk menjaga kelembutan sementara orang tua kita di tengah teriknya matahari membuat kulitnya keriput,,keringat bercucuran demi mencari sesuap nasi. tapi adakah kita meneteskan air mata untuknya dan mendoakannya.... ???????

Telusur Karismatika K.H Moch Chaedar



TELUSUR KARISMATIKA
K.H MOCH CHAEDAR DALAM PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN
NURUL FALAH
KAUNGCAANG CADASARI PANDEGLANG



















DISUSUN OLEH :
MUZAYAN, M.Ag

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN
TAHUN 2016-2017


Abstrak

Kiai sebagai pemimpin pondok pesantren bertanggungjawab penuh terhadap pengelolaan lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Untuk mewujudkan organisasi pesantren yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat di masa akan datang diperlukan penerapan model-model kepemimpinan efektif manajemen modern, namun tetap memperhatikan aspek-aspek situasional kultur, nilai-nilai (values) dan aspek-aspek budaya setempat.
Fokus penelitian ini meliputi: 1) Telusur karismatik KH Moch Chaedar, 2) Proses merintis dan mengembangkan Pondok Pesantren Nurul Falah, 3) Gaya kepemimpinan yang digunakan oleh KH Moch Chaedar dalam merintis dan mengembangkan Pondok Pesantren Nurul Falah.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Ingin mengetahui sosok karismatik KH Moch Chaedar, 2) Ingin mengetahui proses perintisan dan pengembangan Pondok Pesantren Nurul Falah Kaungcaang Cadasari Pandeglang, 3) Mampu mendeskripsikan gaya kepemimpinan yang digunakan KH Moch Chaedar dalam perintisan dan pengembangan Pondok Pesantren Nurul Falah Kaungcaang Cadasari Pandeglang.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, jenis penelitian studi kasus. Untuk pengumpulan data yang relevan guna menjawab fokus penelitian, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perintisan Pondok Pesantren Nurul Falah Kaungcaang Cadasari Pandeglang berawal dari kedatangan KH Moch Chaedar pada tahun 1952 yang menjadi pendorong beberapa bakal santri datang ke Desa Kaungcaang Cadasari Pandeglang, untuk berguru kepada beliau. Pengembangan Pondok Pesantren Nurul Falah Kaungcaang dimulai dengan adanya kerjasama KH Moch Chaedar dengan masyarakat setempat. Pengembangan-pengembangan Pondok Pesantren Nurul Falah Kaungcaang di antaranya pendirian Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Nurul Falah.
Peranan KH Moch Chaedar di antarnya sebagai perintis, pengasuh, pengajar, pengembang, dan agen kebudayaan. Sedangkan gaya kepemimpinan KH Moch Chaedar adalah demokratis-karismatik
Saran penelitian ini yaitu: 1) bagi Menteri Agama khusunya bidang Kepontren untuk mempermudah proses pemberian bantuan kepada pondok pesantren berdasarkan kebutuhan mendasar dan mendesak bagi pondok pesantren tersebut. 2) bagi organisasi keagamaan yang ada khusunya organisasi yang mengurusi pondok pesantren di Indonesia, agar bukan hanya sekedar menjadi sebuah komunitas perkumpulan, tetapi dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui kegiatan-kegiatan ilmiah seperti halaqoh-halaqoh diniyah guna pengembangan pondok pesantren. Hal ini dilakukan untuk mempererat tali silaturahim dan pengembangan pondok pesantren. 3) Bagi pengurus Pondok Pesantren Nurul Falah selaku penerus dan pemimpin di Pondok Pesantren Nurul Falah untuk tetap memberi waktu berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat sekitar guna membangun kerjasama agar tujuan pendidikan tercapai karena pendidikan adalah tanggung jawab bersama. 4) Para santri, alumni Pondok Pesantren Nurul Falah diharapkan supaya berusaha mempelajari bidang kepemimpinan pondok pesantren sehingga menguasai bagaimana pelaksanaan kepemimpinan di lingkungan pendidikan non-formal. Sedangkan 5) Bagi para peneliti lain diharapkan melanjuntukan penelitian berupa kepemimpinan kiai dalam bidang lainnya yang relevan.



A. PENDAHULUAN
Kiai ditempatkan oleh masyarakat sebagai agent of change dalam setiap konstalasi perubahan sosial, yakni kiai eksis dengan Pondok Pesantren untuk menyuarakan progres kehidupan ke arah yang lebih baik, kiai adalah glar yang diberikan masyarakat kepada orang yang ahli dalam bidang agama Islam yang memiliki atau mengasuh serta membina Pondok Pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam Klasik kepada santrinya.
Sedangkan istilah kiai memiliki kaitan erat dengan status yang diberikan kepadanya, yaitu sebagai pengasuh sekaligus pemilik pondok pesantren. Sebagai pengasuh dan pemilik pondok pesantren, maka peran kiai dalam pondok pesantren sangatlah sentral dan urgen.
Lembaga pendidikan Islam disebut pesantren apabila mempunyai tokoh sentral yang disebut kiai. Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas melainkan terkandung fleksibilitas pengertian, yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lbh konkrit krn masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif (Artikel 1). Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awal pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selama benar.
Dalam perspektif sejarah lembaga penidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang sejak sekitar abad ke 18. seiring denga perjalanan waktu pesantren sedikit demi sedikit maju tumbuh dan berkembang sejalan dengan proses pembangunan serta dinamika masyarakatnya. Ini menunjukkan bahwa ada upaya-upaya yang dilakukan pesantren untuk mendinamisir diri sejalan dengan tuntutan dan perubahan masyarakatnya.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal seperti :
  • Peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama bahwa pada tahun 1977 ada 4195 pesantren dengan jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981 kemudian meningkat menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri 59 juta orang pada tahun 1985.
  • Kemampuan pesantren untuk selalu hidup ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun dana serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Pesantren juga mampu mendinamisir diri di tengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat.
Sedangkan perkembangan secara kuantitatif maupun kemampuan bertahan ditengah perubahan tidak otomatis menunjukkan kemampuan pesantren untuk bersaing dalam memperebuntukan peserta didik.
Hal yang sangat teramat penting dalam pondok pesantren adalah tokoh Kiai di dalamnya, eksistensi seorang kiai dalam sebuah pondok pesantren menempati posisi sentral. Kiai merupakan penggerak, inspirasi dan sumber pengetahuan santrinya secara absolut. Kiai di kebanyakan pondok pesantren mempunyai tugas yang banyak, kiai mempunyai peran perintis, pengelola, pemimpin, pengasuh bahkan pemilik tunggal. Kiai bebas menentukan format pesantrennya, sesuai dengan format yang diinginkannya tanpa ada campur tangan siapapun. Meski format itu sendiri akan sangat dipengaruhi oleh gaya dan kemampuan kiai tersebut. Hal itulah yang akhirnya menentukan ciri khas dari sebuah pondok pesantren. Bagi santri, peran kiai yang paling besar adalah sebagai guru dan teladan bagi santrinya.

B. Biografi KH Moch Chaedar
KH. Moch Chaedar Zuhri lahir di Petir, 12 April 1923 putera kedua dari lima bersaudara. Ayah beliau bernama KH. Moch. Emed Zuhri bin Amin dan Ibundanya bernama  Ratu Mahdiyah. Beliau berasal dari  keluarga sederhana namun terpandang, keluarga Kiai, pejuang, harmonis, selalu memberikan pengayoman kepada keluarga, masyarakat dan terkenal dengan kebaikannya, sehingga perilakunya menjadi panutan masyarakat sekitar.

Edang adalah nama kecil beliau. Diberi nama Moch Chaedar Zuhri karena mempunyai arti tersendiri, yaitu Chaedar artinya singa (melambangkan berani dan kuat) dan Zuhri artinya bunga. Makna dari nama beliau adalah berani memberantas kemungkaran dan menyampaikan yang hak tentang agama.[1]

KH. Moch Emed Zuhri adalah sosok pejuang yang religius membela agama Islam pada masa penjajahan sehingga oleh Tentara Belanda beliau diasingkan ke Digul, Papua. Beliau seorang Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah di Cigodeg, Petir. Jadi, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sehingga KH. Moch Chaedar Zuhri menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah di Kaungcaang.

Sebelum Ayahandanya dibawa oleh Tentara Belanda ke Digul, beliau menitipkan KH. Moch Chaedar kepada salah satu santrinya yaitu KH. Azhari berasal dari Desa Cimeong, Baros.[2] Dengan alasan karena KH. Azhari adalah salah satu santri yang paling dekat dengan Ayahanda KH. Moch Chaedar , sehingga kebaikan KH. Azhari tidak diragukan lagi.[3]

Di dalam kehidupan manusia, masa kanak-kanak atau masa kecil dianggap sebagai masa bermain atau bersenang-senang sehingga pendidikan yang diberikan pada anak usia tersebut biasanya dilakukan sekadarnya. Artinya, pendidikan tersebut dilakukan tergantung pada keinginan si anak karena jika dipaksakan mereka mudah marah atau menangis.

Para tokoh pendidikan modern menyatakan bahwa pendidikan masa anak-anak adalah penting dilakukan dengan slogannya “bermain sambil belajar”. Ini digunakan untuk lebih mencerdaskan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Asumsinya, pendidikan modern tidak lagi berpedoman pada bakat alami atau tidak, akan tetapi menciptakan atau memunculkan bakat yang terpendam pada diri sang anak.[4]

Namun, hal berbeda terjadi  pada KH. Moch Chaedar. Sejak anak-anak, bakat kepemimpinannya sudah tampak. Ketika beliau duduk di bangku Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar), beliau pernah tidak dinaikkan kelas. Suatu hari, Ibu Gurunya datang menemui Ibunda beliau dan Ibu Guru tersebut mengatakan bahwa Chaedar adalah anak yang pemberani, sehingga ia tidak dinaikkan ke kelas selanjutnya lantaran tidak ada seorang pun yang berani memimpin kelas tersebut. dan hanya Chaedar lah yang pintar memimpin kelas tersebut diantara teman-teman yang lainnya.[5]

Perilaku yang telah tertanam sejak kecil ini tetap bertahan sampai akhir hayatnya. Hal itu menjadikan beliau layak menjadi pemimpin  yang kharismatik, dengan keadilannya menyampaikan yang hak tentang agama dan sikap anti-kekerasan dalam mengubah kejahatan menjadi kebaikan.

Di dalam bidang pendidikan, KH. Moch Chaedar terkenal memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan ilmu seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya. Beliau tidak gampang puas dengan ilmu yang sudah didapatnya dan berpindah-pindah dari guru satu ke guru lain.[6]

Sejak usia tiga tahun, KH. Moch Chaedar Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) di Cigodeg, Petir. Setelah lulus SR, beliau melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Jamiatul Khairiyah, Tanah Abang. Pada masa itu, Pengasuh Pondok Pesantren tersebut adalah KH. Mansur (Kakek dari Ustadz Yusuf Mansur).

Selanjutnya, KH. Moch Chaedar Zuhri melanjutkan ke Pondok Pesantren Riyadul Awwalin di Cangkudu, Baros selama tiga tahun lamanya. Kemudian, beliau melanjutkan di Cilaku (Cianjur), dibawah asuhan KH. Momo selama tiga tahun.[7]

Setelah mondok dari Cilaku (Cianjur), KH. Moch Chaedar Zuhri pulang ke Cimeong, karena anak seorang Kiai, banyak wanita yang berminat ingin menjadi pendamping hidup beliau. Akhirnya, KH. Moch Emed Zuhri dan KH. Azhari berencana untuk menjodohkan beliau dengan puteri pertama dari KH. Azhari yang bernama Hamdanah binti Arca Wati. Tepat pada hari Jum’at, 10 Maret 1941 KH. Moch Chaedar Zuhri dan Hamdanah menikah dengan perbedaan usia yang cukup jauh. Pada waktu itu, KH. Moch Chaedar Zuhri berusia 18 tahun dan istrinya berusia 9 tahun.[8]

Setelah menikah, beliau kembali mencari ilmu di Plered (Purwakarta), di bawah asuhan Mama KH. Bakrie. Beliau bersama Hamdanah, KH. Azhari, Arca Wati, Sayuti, Dimyati dan Maemanah Ngeli (pindah sementara) pada tahun 1949. Karena suasana di Cimeong dalam keadaan tidak nyaman.[9]
Mama KH. Moch Chaedar Zuhri  tidak pernah aktif di partai politik. Hanya, beliau oleh partai politik dijadikan tokoh yang dituakan di Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Masyumi. Karena beliau, orang yang dianggap oleh partai politik tersebut sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dan dekat dengan rakyat. Sehingga bisa menggerakkan masyarakat untuk mendukung partai politik tersebut.

Dalam karier pekerjaan, beliau seorang Pegawai Negeri Sipil Departemen Penerangan Agama di Baros. Namun beliau, mengajukan pensiun muda dengan alasan beliau ingin lebih fokus mengurus Pondok Pesantren dan Madrasah. Alhamdulillah Mama berhasil lebih fokus mengurus dan mengembangkan pondok, santrinya pun berasal dari berbagai daerah.[10]

Atas keberhasilan tersebut beliau mendapat julukan “Mama” dari masyarakat sebagai penghormatan atas dedikasinya pada pondok dan masyarakat, secara otomatis gelar Kiai pun melekat pada Mama KH. Moch Chaedar Zuhri atas keberhasilannya di bidang ilmu agama.[11]

C. Pemikiran KH Moch Chaedar
Dari sisi pemikiran perkembangan masa depan adalah langkah yang selalu beliau tempuh. Butir-butir program yang selalu di munculkan bersifat futuristik, up to date dan beberapa langkah  lebih maju dari pemikiran-pemikiran sebelumnya. Tidak bosan-bosannya beliau selalu berbicara tentang kemajemukan ataupun tentang gejolak tendensi relativitas iman (bagaimana menempatkan agama di posisi semestinya).

Kepedulian beliau mengenai dunia lembaga pendidikan dan pesantren, tak diragukan lagi. Beliau lebih mengedepankan kepada pendidikan, Mama punya pemikiran jauh kedepan walaupun beliau seorang Kiai tapi beliau ingin mendidik anak-anaknya agar mempunyai pendidikan formal dan non formal supaya bisa bergaul.

KH. Moch Chaedar dikenal bukan hanya perintis lembaga pendidikan, kita juga bisa melihat beliau sebagai Pengurus Pondok Pesantren. Ini adalah salah satu bukti bahwa Mama tidak sekedar sebagai aktivis sosial, tapi lebih dari itu sebagai pengayom para santrinya. Mungkin sebagian orang ada yang melihatnya bahwa aktivitas beliau adalah kerja-kerja yang tidak mendatangkan materi. Namun bagi beliau, materi adalah bukan satu-satunya yang dituju di dunia ini. Beliau tetap konsisten dalam mengelola Pondok Pesantren dan lembaga kemasyarakatan.

Ada beberapa pemikiran dari KH. Moch Chaedar yang perlu dan harus dilanjutkan estafetnya. Pertama, beliau mempunyai kelebihan dalam menggabungkan ilmu agama dengan ilmu umum (integralistik) baik itu berwujud pesantren maupun lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Kedua, yang penting dari beliau adalah sangat hati-hati dan tidak gegabah dalam memutuskan sesuatu.

Ketika harus diposisikan mengenai peta wacana pemikiran beliau. Pada dasarnya, kuncinya adalah dakwah. Diarea inilah pemikiran beliau bersemayam. Selangkah lebih maju, bagaimana beliau menempatkan Islam, tidak hanya sesuai dengan zaman, tetapi baginya Islam harus mendahului zaman. Kalaupun perlu, harus ada akselerasi-akselerasi yang dikerjakan. Beliau ingin sekali menjadikan pesantren sebagai lembaga yang memiliki jati diri yang kuat, tetapi tidak ketinggalan zaman.[12]

D. Keteladan KH Moch Chaedar
KH. Moch Chaedar Zuhri adalah sosok Kiai kharismatik yang luar biasa dan penuh tanggung jawab. Berkat karya dan jasa beliau terhadap masyarakat umum tetap terkenang serta manfaatnya masih bisa dirasakan sampai saat ini. Salah satunya membaca dan mempelajari kitab-kitab klasik karangan Syekh Nawawi kemudian disampaikan kembali kepada santri dan masyarakat. Selain itu, beliau juga mempunyai cita-cita tinggi ingin mendirikan Pondok Pesantren.[13]
Pertama kali, Mama mendirikan Pondok Pesantren di Cimeong pada tahun 1942. Pada waktu itu Pondok Pesantren tersebut belum memiliki nama, bahkan santri pertamanya adalah H. Karsa (Alm) dan H. Suriya (Alm). Lambat laun setelah berdirinya Pondok Pesantren di Cimeong, Mama pindah tempat ke Kaungcaang atas permintaan dari masyarakat Kaungcaang sendiri, yaitu H. Ahyar (Alm), H. Acuk (Alm), H. Anggawi (Alm) dan Ki Jasira (Alm). Karena, pada waktu itu keadaan Kaungcaang sebelum ada Mama masyarakat sekitar masih dalam keadaan gelap gulita dan belum mengenal ibadah. Akhirnya masyarakat meminta mama untuk pindah agar di Kaungcaang ada sosok pencerah yang memberikan pengajaran dan pengembangan agama kepada masyarakat sekitar. Setelah tinggal di Kaungcaang, Mama mendirikan Pondok Pesantren menempati tanah H. Acuk (Alm). Bangunan Pondok Pesantren tersebut sangat sederhana terbuat dari bambu dan terdiri dari tiga kobong. Pada waktu itu, letaknya dekat MA (sekarang). Tempat yang strategis tidak mengurangi rasa semangat belajar para santri begitu pun Mama tak kenal lelah dalam mendidik dan membimbing para santri. Sistem pengajaran yang diberikan Mama kepada para santrinya lebih mengutamakan ilmu alat (kitab).
Setelah pendirian Pondok Pesantren, Mama beserta teman sejawatnya mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) pada tahun 1952. Pertama kali pendirian Madrasah Diniyah Awaliyah di Taman Sari letaknya dekat dengan rumah KH. Badru putera dari H. Anggowi.
Pendirian Madrasah Diniyah Awaliyah dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain :
a.       Madrasah Diniyah Awaliyah dibuka untuk masyarakat sekitar agar masyarakat bisa mengenal tulis menulis arab.
b.      Agar masyarakat sekitar dapat mengenyam pendidikan agama baik laki-laki maupun perempuan
Kemudian setelah pendirian Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Awaliyah, Mama mendirikan Madrasah Tsanawiyah pada tahun 1986 atas permintaan masyarakat setempat. Mama ingin agar masyarakat sekitar selain mengenyam pendidikan non formal juga bisa mengenyam pendidikan formalnya serta disamping mempelajari ilmu agama masyarakat juga mempelajari ilmu pengetahuan umum.
Berdirinya Madrasah Tsanawiyah Nurul Falah (1986) dan Madrasah Aliyah Nurul Falah (1988) diawali dengan silaturahmi para guru, ustadz, dan santri ke berbagai Pesantren salah satunya Pondok Pesantren Darun Najah Ciampea (Bogor) dengan tujuan studi perbandingan dalam rangka membuka dan mendirikan  pendidikan formal.
Pendirian Madrasah Tsanawiyah Nurul Falah dan Madrasah Aliyah Nurul Falah dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain:
a.       Dunia pendidikan berputar, masyarakat menginginkan tingkatan lanjut dari SD ke SLTP (Sekolah Lanjut Tingkat Pertama).
b.      Kebutuhan khusus keluarga melayani masyarakat dibutuhkan adanya setingkat lebih tinggi atau sederajat tingkatan sederhana.
c.       Banyakan permintaan dari masyarakat untuk mendirikan sekolah lanjutan tingkat pertama .[14]
Dari karya-karya Mama tersebut wajib dijadikan suri tauladan bagi kita semua, seorang Kiai yang dekat dengan keluarga, santri, masyarakat yang tidak kenal lelah berjung untuk mewujudkan masyarakat yang religius dan berpendidikan.

E. Proses merintis dan mengembangkan Pondok Pesantren Nurul Falah
1. Proses Pendirian Pondok Pesantren Nurul Falah
Pondok Pesantren Nurul Falah pertama kali didirikan di kampung Cimeong desa Sukamenak Kecamatan Boros Kabupaten Serang pada tahun 1947-1949 oleh KH Moch Chaedar sebagai menantu dari H. Azhari tokoh masyarakat Kampung Cimeong. Pondok Pesantren ini bahkan ketika didirikan belum memiliki nama, dari sisi sarana prasarana masih sangat teramat sederhana dari bentuk bangunan masih berupa gubuk terbuat dari bambu dan atapnya dari daun kirai. Ada beberapa santri KH Moch Chaedar angkatan pertama diantanya :
1.      Alm. H. Karsa
2.      Ust. Surya
3.      Ust. Ujen
4.      Ust. Muhammad
5.      Ust. Syukur
6.      H. Syamsudin
7.      Ust. Sidiq
8.      Ust. Emi
9.      Ust. H. Samun
10.  Ust. Rusul
11.  Ust. Suhari
12.  Ust. Makhdum
13.  Ust. Kiming
14.  Ust. Rusdi
15.  Ust. Rusdi
16.  Ust. Sukardi
17.  Ust. Abdul Majid
Adapun beberapa kitab yang diajarkan pada masa-masa awal berdirinya pondok pesantren diantaranya : Nahwu, Sorof, Tafsir Qur’an, Fiqih, Tauhid,  dan Tasawuf.
Pondok pesantren ini bertahan selama tiga tahun, karena pada tahun 1951 berpindah tempat ke Kampung Taman Sari atau lebih dikenal dengan nama Kampung Pasir Meong, perpindahan ini disebabkan atas permintaan tokoh masyarakat Kampung Kaungcaang dan Kampung Pasir Meong, di Kampung Taman Sari ini KH Moch Chaedar mulai mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), hanya berselang dua tahun KH Moch Chaedar kembali berpindah tempat ke Kampung Kaungcaang Desa Kaungcaang Cadasari Pandeglang dengan alasan tanah yang digunakan untuk pondok pesantren dan madrasah diniyah bukan sepenuhnya milik pribadi, selain dari itu latar belakang perpindahan ke Kampung Kaungcaang juga disebabkan permintaan tokoh masyarakat Kaungcaang pada tahun 1952.[15]
Pada masa itu keadaan pondok pesantren Nurul Falah masih gubuk yang masih memprihatinkan, bangunnya terbuat dari bambu dan kayu, atapnya terbuat dari daun kiray (hateup) bukan terbuat dari genting seperti sekarang ini.
Seiring dengan berjalannya waktu setelah menetap di Kaungcaang tahun 1952 pondok pesantren yang tadinya belum diberi nama, akhirnya diberi nama dengan nama Nurul Falah yang artinya cahaya kebahagiaan, yang merupakan cabang dari Nurul Falah Petir Serang.
Dari tahun ke tahun jumlah santri semakin banyak, bukan hanya dari daerah sekitar tapi sudah dari daerah lain, seperti : Sumatera (Lampung, Ranaw), Bogor, Bekasi, Karawang, Tangerang, Serang, Pandeglang, Rangkasbitung dan lain sebagainya.
Dengan semakin bertambahnya jumlah santri, dituntut untuk mengembangkan dan menambah pasilitas sarana prasarana pondok pesantren, dari sisi jumlah kobong (asrama) diperbanyak dan dan ditingkatkan menjadi kobong (asrama) menjadi bangunan yang permanen sampai saat ini.

2. Pendirian Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA)
Setelah pendirian pondok pesantren Mama beserta teman sejawatnya [16] mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah ( MDA)  pada tahun 1952 pertama kali pendirian Madrasah Diniyah Awaliyah di Taman Sari letaknya dekat dengan rumah Abah H. Badru putra dari Abah H. Anggowi sesepuh di Tataman, Abah H. Anggowi sangat dekat dengan Mama K.H Moch Chaedar Zuhri, Abah H. Anggowi juga memiliki pondok pesantren hanya saja sistem pengajaran yang di berikan Abah H. Anggowi pada santrinya lebih membahas Al-Qur’an fokus dengan Qiro’at. Sedangkan Mama  lebih kepada ilmu alat, meski begitu hubungan keduanya sangat dekat, sehingga setiap datang bulan Ramadhan para santri saling bandungan, saling asah, asih dan asuh. Jika pagi hari santri Abah H. Anggowi ikut pasaran di pondok Mama, setelah dzuhur giliran santri Mama  ikut pasaran ke Abah H. Anggowi .

Pendirian Madrasah Diniyah Awaliyah dilatar belakangi oleh beberapa hal, diantaranya:
-       Madrasah Diniyah Awaliyah dibuka untuk masyarakat sekitar supaya masyarakat bisa mengenal tulis menulis Bahasa Arab
-       Supaya masyarakat sekitar dapat mengenyam pendidikan agama baik laki-laki ataupun perempuan

Bahkan pada saat itu siswa MDA bukan hanya dari masyarakat Kaungcaang saja akan tetapi dari luar Kaungcaangpun banyak siswa yang sekolah di Kaungcaang, di antaranya : Siswa dari Kadu jaro, Bangkonol, Balado, dan masyarakat sekitarnya. Jika mengadakan acara ikhtifalan terkadang sampai 2 hari 2 malam ( dari jam 4 sore samapai jam 4 pagi ), karena banyaknya siswa membuat antrian panjang. Waktu itu siswa di Kaungcaang lebih dari seribu siswa saking banyaknya siswa di Kaungcaang Mama  berinisiatif untuk membagi kelompok,  ada yang pagi dan ada yang sore, kelompok pagi untuk perempuan dan sore untuk laki-laki. Adapun Para Pengajar di Yayasan Pendidikan Islam Nurul Falah adalah Bapak K.H Ibrahim, Bapak Rusdi, Bapak Ibni, Bapak Muhamad ( Alm ), dan Bapak Sayuti[17].
3. Proses Pendirian Madrasah Tsanawiyah Nurul Falah
Setelah pendirian pondok pesantren dan Madrasah Diniyah Mama beserta teman sejawatnya mendirikan Madrasah Tsanawiyah pada tahun 1987 atas permintaan masyarakat setempat akan tetapi Mama tidak langsung menanggapi. Mama pada saat itu mengadakan survei atau kunjungan ke pondok-pondok lain seperti pondok Ciampera (Bogor) dan pondok Kadaung yang dipimpin oleh K.H Basri yaitu alumni dari Nurul Falah Cigodeg alasa Mama melakukan kunjungan ke pondok-pondok sebagai studi banding dalam rangka membuka dan mendirikan pendidikan formal.
Adapun latat belakang keinginan KH Moch Chaedar mendirikan Madrasah Tsanawiyah diantaranya adalah :

1.    Seiring berputarnya waktu masyarakat menginginkan adanya peningkatan pendidikan dari SD ke SLTP
2.    Banyakan permintaan masyarakat yang membutuhkan tingkatan pendidikan pertama.

Setelah berdirinya MTs Nurul Falah Bapak Baihaqi selaku utusan KH Moch Chaedar berkeliling ikut sholat maghrib di kampung-kampung sekitar selang sekar dua hari sekali bertujuan untuk mengumumkan agar anak-anak yang sudah lulus SD melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat  Pertama (SLTP). Tidak lama kemudian hasil dari keliling ke masyarakat terdapat 47 siswa diantaranya Bapak Nazbudin dan ibu Rohmah. Oleh karena itulah Mama berkeinginan agar masyarakat sekitar bisa mengenyam pendidikan formal sedangkan pondok pesantren dan Madrasah Diniyah awaliyah itu non formal.

Di samping mempunyai pengetahuan agama KH Moch Chaedar juga menginginkan masyarakat mengetahui dan mempelajari ilmu umum, KH Moch Chaedar tidak pernah memungut biaya dari siswa bahkan tenaga pengajar tidak diberikan imbalan apapun.

Adapun Visi Misi dan Tujuan di Madrasah Tsanawiyah Nurul Falah adalah sebagai berikut :
1.      Visi : Mencetak Islam Muslim yang Cendikia dan Berakhlak Mulia yang Berguna ba.gi diri, masyarakat, bangsa dan agama.
2.      Misi
-       menata dan membina diri
-       menerapkan metode belajar, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdasarkan keimanan dan ketakwaan
-       berupaya meningkatkan mutu
-       menyelenggarakan pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi dalam bidang studi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3.      Tujuan
-     mengembangkan pendidikan dan dakwah dalam rangka ikut berperan aktif membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab, bermanfaat bagi agama, masyarakat bangsa dan Negara.
-     Sebagai media komunikasi langsung dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh keluarga besar Nurul Falah

4. Proses Pendirian Madrasah Aliyah Nurul Falah
Kebutuhan pendidikan dari masa ke masa makin meningkat, tuntutan perkembangan zaman menuntut semua pihak berperan aktif untuk mengembangkan serta meningkatkan pendidikan, begitu juga KH Moch Chaedar setelah mendirikan Madrasah Tsanawiyah lalu kemudian mendirikan Madrasah Aliyah Nurul Falah.
Proses pendirian Madrasah Aliyah dilatar belakangi oleh :
1.      Seiring berputarnya  waktu masyarakat menginginkan adanya peningkatan pendidikan dari SLTP ke SLTA
2.      Banyakan permintaan masyarakat yang membutuhkan pendidikan lebih lanjut.

Pada tanggal 17 juli 1989 Madrasah Aliyah mendapatkan surat izin dan operasional, di dirikannya Madrasah Aliyah pada tahun 1990 mengeluarkan lulusan pertama  antara lain : Bapak Hayali, Bapak Nazmudin, Ibu Munawaroh, dan Ibu Askanah  serta rekan yang lainnya.  Saat itu yang menjabat sebagai Kepala Madrasah Aliyah adalah Drs. E. Baihaqi  Aziz  pada tahun 1994-1999 lalu diganti oleh Bapak Nahrawi  pada tahun 1999-2011 dan pergantian jabatan lagi oleh Bapak Drs. Muzayan  M.Ag pada tahun 2011  sampai sekarang.

F. Gaya Kepemimpinan KH Moch Chaedar
Gaya kepemimpinan dapat diartikan sebagai arah kebutuhan individu yang mendorong prilaku dalam situasi kepemimpinan. Ada beberapa tipe atau gaya kepemimpinan yang dikenal luas dewasa ini. Meskipun tidak ada kesepakatan yang bulat tentang pembagian itu.[18] Antara lain :

1. Kepemimpinan Otoriter
Pemimpin otoriter tidak jarang memberikan ruang lingkup sempit terhadap kebebasan, kreativitas dan inisiatif bawahan. Bawahan rata-rata menerima kebijakan fatwa dari kiai dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang pengabdi. Pengaruh kiai sangat kuat sehingga usul-usul dan inisiatif pihak bawah hampir tidak ada dan kalau ada hanya sekedar merupakan suatu usul yang akhirnya masih menunggi kearifan kiai.

2. Kepemimpinan Paternalistik
Pemimpin paternalistik yaitu gaya kepemimpinan yang bersifat kebapkan.

3. Kepemimpinan Kharismatik
Kepemimpinan kharismatik diartikan sebagai kemampuan menggerakan orang lain dengan mendayagunakan atau kelebihan dalam sifat atau aspek kepribadian yang dimiliki pemimpin, sehingga menimbulkan rasa menghormati, segan dan kepatuhan.[19]
Bahkan Khatib Pahlawan Kayo mengatakan, kepemimpinan karismatik biasanya menggunakan gaya persuasif dan edukatif. Apabila dilihar dari kacamata administrasi dan manajemen, sebenarnya kepemimpinan seperti ini akan jauh lebih berhasil apabila kebetulan pemimpinnya mendapat kepercayaan pula sebagai pemimpin formal, baik dalam pemerintahan maupun persatuan dan organisasi kemasyarakatan.[20]

4. Kepemimpinan Laissez Faire
Kepemimpinan laissez faire lebih bersifat praktis. Pemimpin membiarkan kelompoknya berbuat semau sendiri untuk memajukan dan mengembangkan organisasi, pemimpin tidak berpartisipasi banyak dalam kegiatan organisasi.[21]

5. Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis yaitu menempatkan manusia sebagai faktor utama dan yang terpenting dalam kelompok. Tipe ini diwarnai dengan usaha mewujudkan dan mengembangkan hubungan manusiawi yang efektif berdasarkan prinsip saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya.

6. Pemimpin Responsif
Sosok pemimpin pesantren responsif dapat digambarkan sebagai pemimpin yang selalu berpegang kepada perinsip bahwa pesantren merupakan lembaga untuk memberikan pelayanan komunitas pesantren, senantiasa terbuka dan ikhlas untuk menampung aspirasi dan harapan masyarakat, mampu bekerjasama dengan orang lain dan lain sebagainya.

Dari keenam gaya atau tipe kepemimpinan Demokratis-kharismatik adalah kepemimpinan yang terlihat dari seorang KH Moch Chaedar, KH Moch Chaedar di mata anak-anaknya adalah sosok ayah yang sangat tegas dalam hal pendidikan, terutama dalam menuntut ilmu, KH Moch Chaedar adalah ulama yang intelek, dimana beliau tidak hanya mengarahkan putra putrinya untuk mencari ilmu untuk kepentingan hidup di akhirat saja akan tetapi juga untuk mencari ilmu untuk kepentingan dunia, karena bagi beliau tidak ada dikotomi ilmu pengetahuan, ilmu itu semuanya sama penting karena semua ilmu tujuannya hanya satu yaitu untuk mentauhidkan Allah telepas apakah ilmu dunia terlebih ilmu akhirat.

KH Moch Chaedar yang sering dikenal dengan panggilan Mama Edang adalah sosok kiai yang multitalenta di mata santrinya, beliau adalah tokoh pendidik yang sangat ahli dalam mendidik dan mengajar santri-santrinya, metode mengajar yang pariatif dan tidak membosankan santri-santrinya menjadikan KH Moch Chaedar bukan hanya dicintai namun juga menjadi idola bagi santri-santrinya.

KH Moch Chaedar bukan hanya seorang kiai bagi santri-santrinya akan tetapi juga sebagai tokoh masyarakat yang mampu memimpin dan mengayomi masyarakat sekitarnya.[22] Masyarakat mengenal KH Moch Chaedar karena akhlaknya, KH Moch Chaedar adalah sosok kiai yang sangat mengistimewakan tamu-tamunya, karakteristik itu membuat ia disukai dan dihormati.

KH Moch Chaedar bukan hanya sekedar imam dalam keluarganya, melainkan juga seorang imam bagi santri-antrinya dan juga masyarakatnya terutama masyarakat Kp. Kaungcaang Cadasari Pandeglang, yang mampu mengayomi dan mengajak masyarakatnya kepada jalan yang benar, karismatik KH Moch Chaedar terlihat jelas dari akhlaknya yang sangat sopan dan santun, ramah, tawadhu, rendah hari dan masih banyak akhlak-akhlak mulia yang lainnya yang patut dicontoh bukan hanya oleh keluarga dan santri akan tetapi oleh masyaraktnya luas.

G. Akhir Hayat KH Moch Chaedar
Pada tahun 1999, Mama mulai sakit sampai dibawa ke Rumah Sakit Umum Serang dan dirawat selama 17 (tujuh belas) hari serta di ICU selama 5 (lima) hari. Menurut dokter, Mama mengidap penyakit serangan jantung.[23]
Beberapa hari sebelum Mama menghembuskan nafas terakhir pada hari Senin, 1 Juni 2008 jam 10:00 WIB beliau memanggil Pak Baihaqi Aziz, Ibu Mujayanah, Bapak Ustadz Saju serta cucu. Beliau berpesan kepada mereka dengan menggunakan bahasa sunda : “barudak (santri) ulah ditinggalkeun”.[24]
Ketika detik-detik menjelang sakaratul maut beliau masih bisa berkomunikasi dengan baik kendati kondisinya sudah kritis ingatannya masih baik, beliau masih hafal kepada orang-orang yang ingin ditemuinya yaitu, H. Subandi dan H. Fachri (putera pertama) dan masih sempat bercanda dengan santri-santri.
Pada hari Rabu, 3 Juni 2008 M/ 29 Jumadil Awal 1929 H Kota Pandeglang kehilangan salah satu putera terbaiknya yang telah banyak memberikan kontribusinya di bidang keagamaan, beliau menghembuskan nafas terakhir pada pukul 14:10 WIB meninggalkan seorang istri, tujuh anak, tujuh menantu, dan sembilan belas cucu.[25]

  

DAFTAR PUSTAKA

M. Walid, 2010, Napak Tilas Kepemimpinan KH Ach. Muzakky Syah, (Yogyakarta : Absolute Media)

Nasaruddin, Umar,. 2006. Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spiritual KH. M. Tholhah Hasan. Jakarta: PT. Lista Fariska Putra.

Sukanto, 1999, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, (Jakarta : Pustaka, LP3ES)


[1] Doc.Bapak Drs. Muzayan, M.Ag (Putera Mama), Selasa, 29 Maret 2016. Pukul 21:33 WIB dan Bapak Drs. H. Memed Rahmatullah (Paman Mama). Minggu, 6 Maret 2016. Pikul 10:39 WIB
[2] Doc.Bapak Dimyati Azhari (Adik Ipar). Selasa, 8 Maret 2016 pukul 17:50 WIB
[3] Doc.Bapak Drs. Muzayan, M.Ag (Putera Mama). Selasa, 29 Maret 2016 pukul 21:33 WIB
[4] Rifai, Muhammad. 2010. KH. Hasyim Asy’ari Biografi Singkat 1871-1947. Jogjakarta: Garasi House of Book. Hal. 22.
[5] Doc. Bapak Drs. Muzayan, M.Ag (putra) Minggu, 29 Maret 2016 pukul 21:54 WIB
[6]Rifai, Muhammad. 2010. KH. Hasyim Asy’ari biografi singkat 1871-1947. Jogjakarta: Garasi House of Book. Hal. 23.
[7] Doc.Bapak Dimyati Azhari (Adik Ipar) Jum’at, 8 Maret 2016 pukul 17:50  dan Ibu Humaeroh (Adik Kandung) Jum’at, 12 Februari 2016 pukul 15:15 WIB
[8] Doc. Bapak Drs. Muzayan, M.Ag (Putera Mama) Minggu, 20 Maret 2016 pukul 15:42 WIB
[9] Doc. Drs. Muzayan, M.Ag (Putera Mama) Selasa, 29 Maret 2016 pukul 21:54 WIB
[10] Doc. Drs. Muzayan, M.Ag (Putera Mama) Selasa, 29 Maret 2016 pukul 21:33 WIB
[11] Doc. Ibu Mujayanah (Puteri Mama) Sabtu, 19 Maret 2016 pukul 16:28 WIB
[12] Umar, Nasaruddin. 2006. Kyai Multitalenta Sebuah Oase Spiritual KH. M. Tholhah Hasan. Jakarta: PT. Lista Fariska Putra. Hal. 81-82 dan 340-341
[13] Doc. Bapak Drs. Muzayan, M.Ag (putera mama) Selasa, 29 Maret 2016 pukul 21:33 WIB
[14] Doc. Bapak Drs. Muzayan, M.Ag, Bapak Drs. E. Baihaqi Aziz, dan Bapak Drs. H. Memed Rahmatullah
[15] Doc. Wawancara dengan Alm. Ust. Muhamad Syara’i Hari Kamis 03 Maret 2016 pukul 16.00 WIB.
1.                        Teman sejawat dalam kamus bahasa Arab Almunir artinya teman seperjuangan. 27 maret 2016
2.                        Wawancara dengan Bapak Muzayan, dan Bapak Muhamad. Rabu 12 Maret 2016
[18] M. Walid, 2010, Napak Tilas Kepemimpinan KH Ach. Muzakky Syah, (Yogyakarta : Absolute Media) hal. 18
[19] M. Walid, 2010, Napak Tilas Kepemimpinan KH Ach. Muzakky Syah, (Yogyakarta : Absolute Media) hal. 19
[20] Sukanto, 1999, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, (Jakarta : Pustaka, LP3ES), hal 20
[21] M. Walid, 2010, Napak Tilas Kepemimpinan KH Ach. Muzakky Syah, (Yogyakarta : Absolute Media) hal. 19
[22] Doc. Bapak Nanang (Masyarakat) 22 Maret 2016
[23] Doc. Ibu Mujayanah (Puteri Mama) Sabtu, 19 Maret 2016  pukul 16:28 WIB
[24] Doc. Bapak Drs. E. Baihaqi Aziz (Menantu Mama) Sabtu, 19 Maret 2016 pukul 15:49 WIB
[25] Doc. Ibu Mujayanah (Puteri Mama) Sabtu, 19 Maret 2016 pukul 16:28 WIB